visitaaponce.com

Sukidi Polarisasi Ancam Keutuhan Nasional

Sukidi: Polarisasi Ancam Keutuhan Nasional
Sukidi.(DOK Pribadi.)

KEPRIHATINAN nasional tentang polarisasi masyarakat menjelang Pemilu 2024 menuntut kita untuk menjalin dan memperkuat kembali spirit dan ikatan persatuan sesama anak bangsa. Demikian diungkapkan Pemikir Kebinekaan, Sukidi, dalam Lecture Series 3 yang diselenggarakan Pusat Studi Kebangsaan Indonesia, Universitas Prasetiya Mulya, Selasa (28/6).

Doktor dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, itu menambahkan prasangka negatif yang merebak sehari-hari menjadi faktor pendukung merenggangnya kohesi sosial dan pudarnya spirit kebinekaan di masyarakat. Dalam Kuliah Umum bertajuk Menegakkan Persatuan dalam Kebinekaan itu, Sukidi menegaskan pentingnya menegakkan spirit persatuan di tengah keterbelahan sosial dan polarisasi yang mengancam keutuhan nasional.

Apalagi, "Indonesia adalah milik semua," ujar Sukidi dengan menyitir Bung Karno, sehingga menuntut kita untuk berpartisipasi aktif dalam mengisi perjalanan bangsa Indonesia ke depan sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa. Kader Muhammadiyah itu menyampaikan fakta sebagian masyarakat masih menganggap etnis Tionghoa sebagai ancaman, sehingga sebagian dari mereka belum dapat berdiri setara dengan warga negara lain. "Begitu juga dengan penganut agama minoritas," ujar Sukidi, "Yang sangat susah untuk mendirikan gereja di Bekasi hingga membutuhkan waktu hampir 20 tahun," ungkapnya.

Ironinya, warga Muhammadiyah yang organisasinya berdiri sebelum Republik Indonesia diproklamirkan pun mendapatkan halangan ketika mendirikan masjid. "Bahkan perumahan untuk para pekerjanya pun dibakar sehingga masjid susah untuk didirikan," tuturnya.

Sukidi menegaskan, agama seharusnya menjadi sumber belas kasih (compassion), bukan faktor yang dapat memecah belah. Iman yang benar selalu paralel dengan persatuan dan kecintaan kepada Tanah Air karena Pancasila yang disepakati bersama selaras dengan nilai-nilai utama agama. "Ini harus terus digelorakan agar semua agama, etnis, dan suku bersama-sama membangun Indonesia," tegasnya.

Bagi Sukidi, fakta-fakta menyesakkan hati di atas terjadi karena prasangka negatif yang diakibatkan oleh terkikisnya spirit kesatuan, memudarnya sikap toleran, dan terkoyaknya kesadaran kebinekaan. Dalam situasi ini, sangat penting bagi masyarakat untuk merefleksikan kembali warisan para pendiri bangsa mengenai pentingnya menghargai perbedaan dan perlunya hidup secara berdampingan di tengah kebinekaan.

Dengan spirit kebinekaan, setiap warga dituntut saling mengenal, berpartisipasi aktif, dan bergotong royong untuk menyelesaikan berbagai persoalan kebangsaan, terutama menghilangkan rasa curiga, menepis prasangka, dan sikap benci terhadap yang lain. "Keterlibatan setiap warga negara ini sangat penting dalam menegakkan kebinekaan sekaligus juga yang oleh Bung Karno disebut, untuk mengikis egoisme bernegara," pungkasnya.

Pada forum yang sama, Kepala Pusat Studi Kebangsaan Indonesia, Hassan Wirajuda, mengungkapkan bahwa kebinekaan bangsa Indonesia merupakan rahmat Tuhan yang telah ditegaskan dalam Konstitusi. Hassan menambahkan, selain peradaban yang hidup dan berkembang di Nusantara, Indonesia sejak lama menjadi titik pertemuan berbagai peradaban, agama, dan budaya dari India, Tiongkok, Arab, dan Barat. "Fakta itu memperkaya Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa, karena semua peradaban hidup berdampingan secara damai," tegasnya.

Kesadaran kebinekaan terekam dengan begitu baik ketika para pendiri bangsa berunding untuk merumuskan dasar negara Indonesia. "Meski mayoritas warga beragama Islam," Menteri Luar Negeri periode 2001-2009 itu mengungkapkan, "Justru yang paling gigih untuk menghapus tujuh kata adalah kelompok Islam, seperti diwalilkan oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Wachid Hasjim." Fakta itu menunjukkan komitmen luhur para pendiri bangsa yang mengedepankan persatuan, konsensus bersama, dan penghargaan terhadap para pendiri bangsa dari kawasan Indonesia timur yang berbeda latar belakang agama dan budaya.

Hassan mengungkapkan, keragaman suku, budaya, ras, dan agama di Indonesia dahulu tidak menjadi persoalan besar karena kesadaran kebinekaan yang begitu tinggi dari para pendiri bangsa sehingga membuat semua elemen bangsa hendak bersatu. "Kita dipersatukan oleh tumpah darah Indonesia," kata Hassan mengutip perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo yang disitir Bung Karno dalam pidatonya pada 1 Juni. "Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!" Karena itu, kesamaan latar belakang sejarah dan tempat kita dilahirkan menjadi alasan kuat bagi masyarakat Indonesia untuk bersatu.

Itulah spirit dan warisan para pendiri bangsa yang mesti diingat kembali dan dikembangkan. Kebinekaan yang menjadi fakta bangsa Indonesia harus diikat oleh semangat persatuan. Dengan demikian kebinekaan tidak berakhir pada keterbelahan yang berujung kepada merebaknya kebencian terhadap satuu sama lain. (RO/OL-14)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat