visitaaponce.com

Good Planning, Good Execution, Good Luck

Good Planning, Good Execution, Good Luck
()

NEVER change a winning team. Itulah hukum besi yang berlaku dalam sepak bola. Pelatih harus berani mempertahankan tim yang terbukti memberikan kemenangan selama mungkin. Kebersamaan itulah yang akan membuat rasa saling pengertian di antara pemain semakin kuat dan akhirnya berdampak pada keberhasilan kesebelasan.

Pelatih Inggris Gareth Southgate memahami betul prinsip itu. Meski dikritik pelatih kawakan Roy Hodgson, yaitu terlalu banyak pemain yang minim pengalaman di kesebelasan Inggris sekarang ini, Southgate bergeming. Ia mengatakan, kalau pemain-pemain muda tidak diberi kesempatan, kapan mereka akan mendapatkan pengalaman dan menjadi pemain yang matang.

Southgate tidak terlalu peduli dengan berbagai kritik. Ia lebih suka memilih membangun pengertian di dalam tim. Ia menjelaskan kepada pemain, seperti Gary Cahill, untuk rela menyerahkan tempatnya kepada John Stones meski di Chelsea Cahill lebih banyak tampil jika dibandingkan dengan Stones di Manchester City. Southgate berbicara empat mata dengan Jamie Vardy dan Danny Welbeck untuk mau menerima keputusannya lebih mengutamakan duet Harry Kane dan Raheem Sterling sebagai ujung tombak kembar.

Hasilnya, Southgate mampu membangun sikap saling mengerti dan saling memahami di dalam tim. Orang seperti Cahill mau memberikan dukungan kepada Stones untuk lebih tenang menjadi pilar di belakang atau Wellbeck yang memijiti Sterling ketika istirahat.

Dengan tim pemenang yang ia pertahankan, Inggris turun dengan rasa percaya diri saat menghadapi Kroasia di semifinal. Apalagi, baru 4 menit pertandingan berjalan, Kieran Trippier mampu memanfaatkan tendangan bebas di dekat kotak penalti untuk menjebol gawang Kroasia. Inggris pun melayang untuk membayangkan tampil di pertandingan final menghadapi Prancis.

Southgate sudah tepat menyusun perencanaan, good planning. Apalagi, para pemain menjalankan taktik dan strategi dengan baik, good execution. Terutama di 45 menit pertama, Inggris mendikte permainan. Para pemain Kroasia dipaksa berbuat kesalahan sendiri dan akhirnya banyak melakukan pelanggaran, termasuk yang dilakukan kapten Kroasia, Luka Modric, yang menyebabkan gawangnya kebobolan.

Satu yang tidak dimiliki Inggris ialah keberuntungan. Mereka tidak mempunyai good luck. Dua kali Jesse Lingard berada dalam posisi untuk mencetak gol, tetapi sekali tendangannya melenceng, sekali lagi masih mengenai kaki pemain Kroasia. Kane yang biasanya sering mendapatkan keberuntungan kali ini dijauhi dewi fortuna.

Justru Kroasia mendapatkan tiga syarat untuk meraih kemenangan. Pelatih Zlatko Dalic benar ketika memerintahkan anak asuhnya untuk berani menekan. Meski dengan tenaga yang tinggal seadanya, Kroasia terus menekan di babak kedua. Para pemain Kroasia menjalankan perintah dengan baik untuk melakukan serangan dengan bola-bola silang dari sayap. Hasilnya 22 menit menjelang bubaran, Ivan Perisic mampu mencuri bola yang hendak disundul Kyle Walker dengan kakinya dan membuat kiper Jordan Pickford tidak berdaya.

Di saat semua sudah menduga pertandingan akan kembali diselesaikan dengan adu penalti, keberuntungan mendatangi Kroasia. Mario Mandzukic bisa menyelinap tanpa diketahui Stones untuk memanfaatkan bola muntah dan memastikan langkah Kroasia untuk kali pertama tampil di pertandingan puncak Piala Dunia.

Kroasia menjadi satu-satunya tim yang harus bermain 3 x 120 menit dalam 10 hari. Artinya mereka harus tampil 36 menit setiap hari dalam pertandingan yang menguras tenaga besar. Tidak mengherankan jika saat menghadapi Inggris, Modric pun kehabisan tenaga. Kontrol bola pun tidak mampu lagi ia lakukan. Itulah yang membuat Dalic tidak punya pilihan menarik Modric keluar setelah Kroasia unggul.

Kroasia sangat membutuhkan lagi keberuntungan apabila ingin mengangkat trofi Piala Dunia. Waktu tiga hari tidak cukup untuk bisa memulihkan kondisi fisik pemain. Apalagi, lawan yang harus mereka hadapi ialah Prancis yang begitu matang. Tim yang diasuh Didier Deschamps sekarang sudah mulai terbangun sejak Piala Eropa dua tahun lalu.

Prancis merupakan tim yang paling matang dan solid di Piala Dunia 2018. Perjalanannya ke final dilalui dengan mulus. Tim yang mereka singkirkan ialah tim-tim terbaik dunia, mulai juara dunia dua kali Argentina di perdelapan final, juara dunia dua kali Uruguay di perempat final, serta terakhir di semifinal tim terbaik Eropa, Belgia.

Bagi Prancis, keberhasilan kali ini bukan hanya akan menjadi siklus 20 tahunan juara mereka, melainkan juga merupakan hadiah istimewa bagi Hari Kemerdekaan mereka. Prancis selalu merayakan Hari Bastille pada 14 Juli. Apabila Hugo Lloris dan kawan-kawan mampu merebut juara, pesta besar akan berlanjut hingga 15 Juli.

Semangat lagu kebangsaan La Marseilles sudah terasa sejak semifinal. Seperti ajakan lagu kebangsaan, rakyat Prancis siap menyingsingkan lengan baju untuk melawan 'tirani'. Ribuan orang sudah berkumpul di Champs Elysees untuk menyambut kemenangan.
Piala Dunia selalu diisi sejarah besar. Kali ini dunia sepak bola sedang menunggu apakah Kroasia akan menjadi negara pertama Eropa Timur yang akan mengangkat piala ataukah kita akan melihat Pele baru yang akan tampil? Kylian Mbappe seakan menjadi jelmaan Pele dan pembuktiannya kita tunggu, Minggu (15/7). (R-1)

 

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat