visitaaponce.com

Kearifan di balik Jamuan Masak ala Papua

Kearifan di balik Jamuan Masak ala Papua
EBET(EBET)

Unik memang menjelajahi setiap jengkal kebudayaan Nusantara, salah satunya mengenal proses memasak dan perjamuan dari setiap daerah.

ASAP yang beterbangan di udara disertai suara batu beradu menyentuh indra saat memasuki halaman tengah Sekolah Seniman Pangan Vida Bekasi, beberapa saat lalu.

Di sana, sudah dipenuhi beberapa orang yang tengah mempersiapkan jamuan masakan khas Nusantara. Rupanya asap dan suara yang dihasilkan dari batu panas yang dibakar dan beberapa dedaunan khas hutan itu yang akan digunakan sebagai medium memasak khas suku Papua.

Unik memang menjelajahi setiap jengkal kebudayaan Nusantara, salah satunya mengenal proses memasak dan perjamuan dari setiap daerah. Tak ayal, keberagaman perjamuan tersebut sangat kental dipengaruhi budaya dan interaksi sosial di dalamnya. Begitu pun dengan saudara kita yang berasal dari timur Indonesia, Papua.

Suasana jamuan ini berkesempatan dirasakan melalui pengalaman memasak bakar batu yang digelar Javara Culture, pada Minggu (9/12). Rupanya tradisi ini merupakan tradisi memasak bersama yang kerap dilakukan di Papua dengan menggunakan batu panas serta mencampurkan bahan makanan dengan dedaunan aromatik. Seluruh elemen ini ditumpuk batu-batu panas sehingga menghasilkan aroma dan rasa yang khas dari bebakaran. Demo masak ini dipimpin langsung chef Jungle, Charles Toto.

"Hari ini ada dua metode memasak yang biasa dilakukan oleh beberapa suku di Papua, di antaranya suku Dani dan suku-suku yang ada di pegunungan pada umumnya. Sementara itu, untuk suku-suku di selatan, ada metode memasak seperti pizza ala Papua yang toping-nya dari sagu dan diberikan potongan daging," ujar Charles Toto.

Metode memasak yang pertama, yaitu memasak ayam dan ikan menggunakan batu panas. Pertama-tama sudah terdapat beberapa titik yang sedemikian rupa diatur untuk memasak. Titik tersebut dijadikan semacam lubang melingkar yang lingkarannya berupa dedaunan aromatik. Di dalam lubang tersebut ditumpuk beberapa elemen, seperti tanah dan batu serta kayu-kayu yang dibakar, agar batu bisa panas. Gemercik suara bara api yang dihasilkan tampak terdengar nyaring. Suara semakin bergemeletuk dan asap yang naik ke permukaan udara menandakan batu sudah siap dijadikan tempat untuk memasak.

Setelah itu, barulah dimasukkan dedaunan, seperti daun pisang dan daun sukun, di atas bebatuan panas. Lantas dimasukkan bahan makanan seperti ubi jalar terlebih dahulu sebelum memasak ayam. Hal ini bertujuan agar ubi bisa memiliki cita rasa yang gurih. Lalu ditutup lagi dengan dedaunan seperti sebelumnya. Bagian atas dedaunan ialah lapisan kedua, dimasukkan bahan makanan utama berupa ayam atau ikan kemudian ditutup lagi dengan dedaunan dan bebatuan panas di atasnya. Terakhir kembali ditutup dengan karung goni yang bertujuan agar suhu di dalam tetap terjaga panasnya.

Meski di Papua menggunakan kayu putih untuk menutup batu-batu panas tersebut, karena bukan di Papua dan bahannya tidak ditemukan di Bekasi, harus menggunakan bahan pengganti. Proses memasak ini membutuhkan waktu sekitar 40 menit.

Selanjutnya, metode memasak pizza ala Papua yang bernama sagu sep yang biasa dimasak suku Marin Papua. Sama halnya dengan proses memasak ayam dan ikan menggunakan elemen tanah, bebatuan panas, dan dedaunan aromatik. Perbedaannya terdapat pada susunan bahan makanannya.

Bahan makanan pertama yang dimasukkan ialah percampuran sagu dengan air kelapa dan potongan horizontal dari buah kelapa. Campuran ini sebelumnya sudah diaduk rata lalu dimasukkan ke tempat memasak. Setelah itu, barulah di atasnya diberikan potongan daging. Menurut chef Chato (sapaan yang merupakan kependekan dari namanya), biasanya daging yang ditaburi di atas sagu bisa daging sapi, daging babi, ataupun daging rusa. Menu ini dimasak kurang lebih selama satu jam.

Chef Chato menjelaskan bahwa dalam tradisi masakan Papua terutama yang menggunakan metode batu panas ini memang tidak begitu banyak menggunakan rempah-rempah. Cukup untuk memberikan garam sebagai pecita rasa yang digunakan. Bahkan garam yang digunakan pun ialah hasil produksi alam sendiri. Bila biasanya kita mengetahui bahwa garam berasal dari air laut, tidak dengan garam hitam yang suku Papua produksi. Garam tersebut diproduksi dari daun nipah yang ditemukan di hutan.

"Tidak terlalu banyak menggunakan rempah. Akan tetapi, menggunakan dedaunan aromatik. Metodenya memasak di atas tanah," tambah Chef Chato.

Kalau masyarakat Papua sekarang sudah mencampur bumbu makanan menggunakan cabai dan bumbu dari luar Papua, meski tidak terlalu pedas, menurut chef Chato, pola makan masyarakat Papua saat ini dipengaruhi orang Maluku dan Sulawesi. Dahulu orang-orang Injil ke Papua untuk mengajar dan membawa makanan mereka termasuk rempah-rempah yang biasa mereka makan. Dari situ, orang Papua banyak yang mencontoh dan mengaplikasikannya ke makanan.

Kegiatan seperti demo masak ini dan aktivitas yang dilakukan Javara Culture merupakan salah satu upaya untuk memperkenalkan budaya masakan ala Papua kepada seluruh masyarakat Indonesia. Apabila terdapat kegiatan yang memperkenalkan Papua, kuliner menjadi bahan yang disisipkan. Hal ini juga menurut chef Chato menjadi semacam pesan untuk anak Papua sendiri, untuk mengingat dan membudayakan masakan khas Papua.

"Kemarin waktu saya ke Italia, ini (proses memasak) jadi perhatian. Mereka bingung melihatnya. Itu ada di sini," kisah chef Chato.

Sementara itu, proses memasak bakar batu bukan hanya sebatas proses memasak. Di dalamnya terdapat makna mendalam yang terkandung. Hal ini bisa diamati dari kebiasaan masyarakat tradisional untuk menjaga dan melestarikan budaya melalui pola makan yang sederhana karena berdampak pada penerimaan tubuh dalam mencerna makanan.

Menurutnya, saat ini banyak metode makan Papua yang bergeser, apabila kita belajar dari salah satu bahan pokok makanan, yakni sagu. Sagu memiliki kekuatan. Hampir keseluruhan elemen pada sagu memiliki manfaat. Sagu menyediakan tiga unsur utama yang menjadi kebutuhan utama manusia, yakni sandang, pangan, dan papan.

Dalam sagu itu, terdapat elemen untuk diolah menjadi pangan melalui isi sagu, lalu pada daun sagu bisa menjadi sandang untuk pakaian kalau di Papua, serta bisa diolah menjadi papan. Sementara itu, akar sagu berfungsi untuk menghasilkan sumber air bagi ekosistem kehidupan agar ekosistem bisa berlanjut. Makna filosofis tersebut disampaikan secara atraktif oleh nenek moyang. Singkatnya untuk menggabungkan segala budaya dalam satu rasa. (M-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat