visitaaponce.com

Menyelam dalam Mata Hitam

Menyelam dalam Mata Hitam
Jeihan Sukmantoro kala memandu jurnalis dalam tur pameran Jeihan, Hari-Hari di Cicadas, di Museum MACAN(MI/Galih Agus Saputra)

SEBAGAI simbol kebudayaan dewasa ini, mata kerap dirujuk para ikonograf kala menyu­sun sebuah lambang, baik untuk merepresentasikan sebuah kedigdayaan maupun lambang keselamatan. Salah satu contohnya ada ‘mata horus’, yang dalam mitologi Mesir dipercaya sebagai bentuk kekuatan kerajaan karena mendapat perlindungan dari para dewa.

Dalam ritus pun mata kerap digunakan untuk memperteguh dogma religius, seperti dalam kitab Hammurabi yang mengenal prinsip lex talionis. Prinsip itu bunyinya, ‘mata ganti mata’ atau yang kemudian menjadi landasan dari asas keadilan.

Sebegitu pentingnya mata, baik sebagai simbol kebudayaan maupun keagamaan, sebenarnya tidak terlalu mengheran­kan. Itu karena dalam disiplin ilmu kesehatan, mata diyakini sebagai salah satu organ vital manusia hingga kemudian menjadi salah satu bagian dari pancaindra.

Bahkan, dalam kesusastraan, dewasa ini juga ada sebuah frasa populer yang mengatakan ‘dari mata, turun ke hati’. Frasa itu sesungguhnya terdengar lembut, tetapi kalau dicermati kembali, bukankah kata-kata yang saling bertaut itu terasa amat dekat dengan unsur psikologi? ‘Mata’ kemudian menjadi hal yang amat kompleks kali ini.

Namun, yang tak kalah meng­herankan ialah laku perupa kondang Indonesia, Jeihan ­Sukmantoro, dalam karya lukisnya. Alih-alih memberi pencerahan, ia malah tampak sengaja meningkatkan derajat kompleksitas mata itu sendiri. Bahkan boleh dibilang, ‘mata’ Jeihan ini lebih kompleks dari yang sudah ada sebelumnya. Beberapa orang menyebut ‘mata’ buatan Jeihan itu ialah metafora visual yang sarat akan sifat futurologis. Ada juga yang mengatakan bahwa Jeihan sengaja mengeksplorasi ‘mata’ untuk menunjukkan sebuah sikap yang menolak tunduk pada belaian realitas.

Memang sungguh terasa mengasyikkan kala menyelami segala dimensi yang ada pada lukisan Jeihan. Semua lukisan mulanya tampak mistis karena setiap karakter memiliki mata berwarna hitam.

Namun, sebentar saja memandang, mata itu kemudian terasa seakan memancarkan harapan. Harapan yang dimaksud tentu menyoal peradaban. Meskipun terdengar paradoks, tetapi kata Jeihan, puncak dari peradaban manusia itu ialah ‘ketidaktahuan’. Manusia butuh waktu yang tidak sebentar untuk mencapai ‘ketidaktahuan’ itu, yakni gejalanya dapat dilihat dari sebuah kejadian yang tampak berlawananan.

“Pahlawan kok gugur. Maju kok mundur. Pintar kok bodoh. Tahu kok bohong. Kaya kok miskin. Hidup kok mati. Apa artinya semua ini? Memang ‘­ketidaktahuan’ nanti akhirnya menjadi puncak dari ­peradaban,” tukasnya, saat memberikan tur dalam ­pameran lukisan Jeihan: Hari-Hari di Cicadas, di Museum MACAN, Kebon Jeruk, Jakarta, Jumat (5/4).


Kehidupan pribadi

Pameran Jeihan: Hari-Hari di Cicadas diinisiasi Yayasan ­Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN). Yayasan itu mencoba memberikan akses publik terhadap seni modern dan kontemporer yang terus berkembang di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Sementara itu, pada ­gelaran kali ini, Museum ­MACAN menampilkan 30 lukisan Jeihan yang dibuat pada 1963-1981, di Cicadas, Bandung, Jawa Barat.

Karya yang dipamerkan siang itu, pada umumnya menggambarkan kehidupan pribadi Jeihan sebagai seorang perupa, termasuk anggota keluarga dan orang-orang yang hidup di sekitar tempat tinggalnya.

Semua lukisan manusia yang dibuat Jehian memiliki mata berwarna hitam, yang tampaknya juga sebagai bentuk ­responsnya atas pergolakan sosial dan politik pada awal 1960-an.

Selain berfungsi sebagai ­observasi intim atas ­lingkungan sekitar, lukisan itu turut dibuat Jeihan untuk merefleksikan kondisi masyarakat yang sedang melalui sebuah peru­bahan besar. Kala melalui proses ­perubahan, kata Jeihan, manusia harus dapat memilih hal yang efisien sekaligus dapat menjaga pikirannya agar tetap positif.

“Sebab pikiran itu energi. Energi adalah partikel yang memiliki wujud. Pikiran itu wujudnya seperi udara. Kalau Anda himpun bisa jadi gas, jadi uap, jadi air, hingga kemudian mengkristal menjadi es. Maka setiap kita membayangkan hal itu pasti nanti jadi suatu kebenaran, dari imajinasi, halusinasi, hingga jadi kristalisasi. Pikiran selalu menjadi kenyataan, contohnya, saya miskin membayangkan kaya, akhirnya benar-benar jadi kaya,” katanya.

Selanjutnya, pembacaan Jeihan atas perubahan lantas tertuju pada laku para pemimpin bangsa Republik Indonesia yang merdeka sejak 1945. Menurut Jeihan, Presiden Soekarno ialah bapak revolusi 1945 dan penggali Pancasila, Presiden Soeharto ialah bapak pembangunan, Presiden BJ Habibie ialah bapak reformasi, dan ­Presiden Megawati ­Soekarnoputri ialah ibu demokrasi, serta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ialah bapak harmonisasi.

Keenam sosok presiden itu disebut Jeihan sebagai peletak dasar NKRI. Tidak hanya itu, Jeihan pun punya penilaiannya sendiri atas Presiden Republik Indonesia selanjutnya. “Insya Allah, Presiden ke-7 RI H Joko Widodo dan selanjutnya ke-8 RI jadi tokoh besar ‘penghadir’ Ratu Adil zaman platinum. Adil makmur tenteram sentosa dan berdaulat. Gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kertoraharjo. (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia),” tulis Jihan, di bawah lukisan Presiden Joko Widodo.

Selain melukis, dewasa ini Jeihan juga dikenal sebagai seorang seniman yang tergabung dalam lingkaran pujangga ­Cicadas. Ia banyak ­bereksperimen dengan puisi konkret, yang tidak terpaku pada tata bahasa karena lebih mengedepankan tipografi dan komposisi visual. Dalam gerak­an sastra, pada 1971, Jeihan dan kawan-kawannya bahkan pernah mencetuskan istilah puisi mbeling. (M-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat