visitaaponce.com

Menikmati Warisan Da Vinci

Menikmati Warisan Da Vinci
Menikmati Warisan Da Vinci(ANTARA/APRILLIO AKBAR)

LUKISAN Mona Lisa dengan senyum khasnya terpampang di sayap kanan ruang pameran Museum Bank Mandiri, Kota Tua, Jakarta. Senyum itu seolah menyambut kedatangan para pengunjung pameran bertajuk Leonardo Opera Omnia tersebut. Lukisan itu, yang aslinya berjudul La Gioconda o Monna Lisa, merupakan salah satu mahakarya seniman asal Italia, Leonardo da Vinci.

Pada kesempatan ini, Kedutaan Besar Italia dan Institut Kebudayaan Italia di Jakarta sengaja membawa karya-karya Leonardo untuk memperingati 500 tahun kematian seniman asal Vinci, Florence, Italia, tersebut. Duta Besar Italia untuk Indonesia, Vittorio Sandalli, menjelaskan bahwa pameran ini juga menandai hubungan bilateral antara Indonesia dan Italia.

“Hubungan kita saat ini sedang berada pada tahap yang amat menarik, yang ditandai dengan berbagai kegiatan, misalnya, mulai dari pameran tahun lalu di Museum Nasional. Selain itu, juga ada kunjungan dari Direktur Hubungan Asia-Pasifik dari Italia ke Indonesia, termasuk Menteri Pertanian Indonesia yang juga datang ke Italia,” tuturnya, saat membuka pameran Leonardo Opera Omnia, Rabu (5/2).

Khusus untuk pameran kali ini, lanjut Vittorio, ada realitas menarik yang dibawa Italia. Ada kolaborasi antara seni dan teknologi maupun seni dan ilmu pengetahuan yang terlihat dari karya-karya Leonardo. “Lalu kenapa judul yang dipilih ialah Leonardo Opera Omnia? Karena pada saat ini Leonardo sedang menjadi pusat perhatian para hadirin,” imbuhnya.

Direktur Institut Kebudayaan Italia di Jakarta, Maria Battaglia, menambahkan bahwa karya Leonardo yang ditampilkan pada kesempatan ini sebenarnya merupakan karya yang tersebar di seluruh dunia. Ada yang dari Milan, London, maupun Paris. Karena itulah, sungguh sangat tidak mungkin untuk menampilkan karya-karya aslinya. Karya yang ditampilkan pada kesempatan ini merupakan reproduksi yang dikemas dengan format high definition digital imaging dengan skala 1:1.

“Tak hanya mengadakan pameran, pada bulan ini, Institut Kebudayaan Italia juga hendak mengadakan seminar soal restorasi,” katanya.

Menyoal restorasi, konsultan Rai Com Project Matteo Ive yang pada kesempatan ini turut hadir di pembukaan pameran, menceritakan bagaimana ia mereproduksi karya-karya Leonardo yang dibawa ke Museum Bank Mandiri. Menurutnya, selama ini tim yang bekerja dengannya memiliki tantangan tersendiri dalam memersuasi sejumlah museum agar mau mengeluarkan karya-karya Leonardo.

Salah satu contoh, katanya, lukisan Mona Lisa selama ini berada di salah satu museum, di Paris. Maka itu, ketika akhirnya tim mendapat izin untuk mereproduksinya, beberapa tahapan yang perlu ditempuh juga harus sangat teliti, apalagi ketika harus melepas lapisan pelindung lukisannya. Adapun lapisan pelindung­nya sendiri terdiri atas beberapa kaca, yang terdapat pada pigura dan bagian dalamnya.

Meski begitu, lanjut Matteo, tantangan belum usai ketika tim sudah melalui proses reproduksi. Pada saat menampilkan di Museum Bank Mandiri, tim berusaha memberikan kualitas terbaik. Oleh karena itu, dalam pameran ini lukisan Leonardo dikemas dengan teknik backlight agar terlihat lebih asli. Selain itu, katanya, tinta yang digunakan untuk reproduksi juga terbuat dari bahan air sehingga ramah lingkungan.

“Tetapi, kenapa hanya 17 karya Leonardo yang dipamerkan saat ini? Setelah dikonfirmasi, ternyata hanya 17 lukisan yang dibuat ­Leonardo sepanjang hidupnya. Ke-17 itulah yang juga dipamerkan di sini,” ­imbuh Matteo.

Selain Mona Lisa, salah satu lukisan Leonardo yang cukup mencolok pada kesempatan ini ialah Il Cenacolo (The Last Supper). Lukisan ini sebenarnya mural yang dibuat Leonardo di dinding berukuran 460x880 cm. Ia terpampang di tembok Gereja Santa Maria delle Grazie, Milan, Italia, dan selesai digarap pada 1498.

Keberadaan lukisan ini selama dipamerkan di Museum Bank Mandiri rupanya menjadi keuntungan tersendiri bagi para pencinta karya-karya Leonardo. Itu karena, kata Metteo, lukisan asli yang ada di Milan tidak boleh disaksikan secara sembarangan. Wisatawan yang hadir biasanya harus mengajukan permohonan kunjungan terlebih dahulu, kurang-lebih 7 bulan sebelumnya.

Kenapa demikian? Karena menurut pengelola, dengan adanya perubahan iklim, hawa tubuh manusia ternyata juga memengaruhi kualitas lukisan. Bisa saja kelembapannya berubah. Oleh karena itu, dalam sehari karya ini hanya diperbolehkan dilihat kurang-lebih 1.000 orang.

Ahli restorasi dari Italia Michaela Anselmini, yang saat ini lebih sering berinteraksi dengan The Last Supper menjelaskan, karya dari Leonardo itu juga memiliki berbagai kisah unik. Katanya, pada saat terjadi Perang Dunia ke-2, area lukisan ini juga sempat terkena bom. Meski demikian, ketika dinding lainnya roboh, lukisan atau dinding lukisan ini tetap kukuh berdiri.

Edukasi

Perupa sekaligus kurator dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Rizki A Zaelani, menjelaskan bahwa pameran ini dapat dimaknai sebagai ruang edukasi, terlebih untuk hal yang berkenaan dengan bagaimana cara mengembangkan kreativitas.

Leonardo di matanya ialah salah satu tokoh besar masa Renaissance. Masa Renaissance sendiri, katanya, ialah sebuah zaman yang mendo­rong lahirnya gagasan modern, yang membuat seluruh umat manusia pada kondisi di zaman ini.

Manusia sebagai subjek, lanjut Rizki, juga dilahirkan pada masa tersebut. Sebelumnya manusia hanya dilihat sebagai model, tetapi pada masa kini manusia dilihat sebagai individu. “Pameran ini memberikan arti penting. Meskipun tidak secara langsung berhubungan dengan Indonesia, tetapi berhubungan dengan kemanusiaan secara luas,” tuturnya.

Hadirnya karya yang didatangkan dari berbagai pelosok negeri, menurutnya, juga menandai bahwa gagasan tentang kemanusian dari da Vinci tampaknya telah dimiliki secara bersama-sama. Tak hanya itu, menurut Rizki, zaman Renaissance juga turut melahirkan sebuah teknik yang disebut perspektif.

Perspektif itu pula yang kemudian berkembang atau yang pada masa kini bisa lihat dari adanya foto. “­Zaman dulu kan tidak ada foto. Nah dari situ manusia jadi tampak lebih realistis, selain juga menjadi pertanda bahwa manusia ialah titik tolak dari sebuah gambar,” imbuhnya.  

Rizki juga menjelaskan bahwa teknik digital backlight yang dite­rapkan kali ini cukup menarik. Selain dibuat dengan resolusi tinggi, tujuannya ialah agar penonton bisa mendapatkan pengalaman seban­ding dengan asli. Teknik ini juga berhubungan dengan tata cahaya sebab jika cahaya itu datang dari hadapan lukisan, gambarnya akan mengilat.

Nuansa menikmati lukisan asli dan reproduksi, menurut Rizki, terletak pada tekstur. Bagian yang hilang dalam lukisan reproduksi ini bisa diamati dan ditemukan dalam jarak dekat. “Karena kanvas kan ­sebenarnya juga punya tekstur. Nah, seperti Last Supper, itu kan ­sebenarnya juga tembok, tetapi di sini tidak. Ukuran bisa dibuat sama, tetapi teksturnya tidak. Meski ­begitu, seperti yang saya bilang tadi, apa yang kita lihat ini dapat dimaknai sebagai edukasi,” tuturnya. (M-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat