visitaaponce.com

Memaknai Seni, Tubuh, dan Alam

Memaknai Seni, Tubuh, dan Alam
Cover buku Sembahyang Bhuvana(Dok. Pojok Cerpen dan Tanda Baca)

MEMAHAMI setiap hal di dunia ini tentu bukan hal yang sederhana. Itu mengapa hampir semua hal di dunia memiliki bidang kajiannya tersendiri. Tak mudah untuk bisa mengaitkan hal-hal yang ada tersebut dalam satu kajian yang komprehensif, tetapi tetap sederhana.

Kerumitan itu yang coba untuk disederhanakan oleh Saras Dewi melalui bukunya yang berjudul Sembahyang Bhuvana. Melalui tujuh esai karyanya dalam buku tersebut, ia berupaya menjawab berbagai pertanyaan yang hadir dari kegelisahan dan pemikiran kritisnya terhadap beberapa dalam kehidupan melalui pendekatan filosofis.

Sembahyang Bhuvana secara khusus membahas secara filosofis tentang tubuh, seni, dan lingkungan. Hal-hal yang sangat erat hubungannya dan selalu berdampingan dengan kehidupan setiap manusia.

Dalam kata pengantar buku tersebut, penulis mengungkapkan, Sembahyang Bhuvana merupakan hasil dari proses penelitian-penelitian yang ia lakukan setidaknya selama lima tahun terakhir. Setiap hal yang muncul pada esai di dalamnya merupakan ulasan atas temuan dalam penelitian yang ia lakukan, khususnya dalam bidang budaya dan lingkungan hidup.

“Meski ada komponen teoritis di dalam tulisan-tulisan ini, saya tidak ingin menjajarkannya begitu saja seperti data yang kering dan dingin. Melampaui itu, saya ingin bercerita, secara perlahan saya ingin menisik potongan-potongan fakta hingga penafsiran ke dalam untaian cerita itu,” halaman viii.

Esai-esai dalam Sembahyang Bhuvana awalnya merupakan tulisan yang ditulis oleh Saras Dewi untuk mengisi Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta. Setiap naskah pidato yang dihasilkan merupakan hasil diskusi yang dilakukan olehnya dengan para anggota komite DKJ.

 

 

Bakti

Judul Sembahyang Bhuvana memiliki makna yang ditafsirkan penulis sebagai bakti pada alam, bahwa segala hal yang ada di dunia ini ialah bagian dari alam. Begitu juga manusia yang merupakan bagian dari alam.

Tak mengherankan jika dalam setiap esai yang dimuat, penulis sangat kental membahas berbagai isu yang terkait dengan alam. Mulai isu kerusakan lingkungan hingga isu politis yang menjadikan alam sebagai objek eksploitasi.

Seluruhnya dibahas dengan pendekatan filosofis dengan mengacu pada beberapa tokoh ternama dalam ilmu filsafat dunia. Kemudian, penulis mengelaborasinya dengan pikiran kritisnya yang lebih relevan dengan kehidupan sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Dalam esai yang berjudul Filsafat Samudera, Alam melalui Seni, dan Tari dan Tubuh Politis, penulis menghadirkan tulisan dengan menggunakan pendekatan metode fenomenologi. Metode itu dimulai oleh Edmund Husserl dan dikembangkan oleh Martin Heidegger untuk memahami atau mempelajari pengalaman hidup manusia.

Melalui metode tersebut, penulis berupaya mengungkapkan persoalan-persoalan terkait dengan krisis lingkungan hidup, represi terhadap tubuh, dan juga distrupsi teknologis dan konsekuensinya.

Dalam esai Filsafat Samudera, penulis mencoba mengajak pembaca merenungkan makna dari kehadiran laut dalam kehidupan manusia. Ia mengungkapkan bahwa paradigma maritim kerap kali hanya berfokus pada pemanfaatan laut yang mengarah pada eksploitasi.

Padahal, lebih jauh dari itu, laut memiliki makna yang lebih kaya dari dari sekadar ladang eksploitasi untuk pemenuhan kehidupan manusia. Penulis menghadirkan pendalaman mengenai makna laut yang secara filosofis lebih dalam bagi manusia melalui studi kasus masyarakat Bali.

Bahwa seharusnya laut dimaknai dengan lebih luas seperti masyarakat Bali yang memaknai lautan dalam dua sisi, yakni sisi sekala dan niskala. Sekala adalah laut sebagai wujud yang tampak, dapat dikaji, diukur, dikategorisasikan, dan secara empiris dapat diperhatikan. Namun, dari sisi niskala, laut memiliki sisi yang subtil dan tersembunyi dari persepsi objektif manusia.

Dalam esai Alam dan Seni, penulis menyampaikan pemikiran kritisnya tentang hubungan manusia dengan alam yang kompleks. Ia menjabarkan bahwa dari sisi filsafat sekalipun tak banyak yang mampu memahami hubungan tersebut secara utuh.

Dalam pembahasan tersebut, penulis membahasnya melalui dua pendekatan. Pendekatan pertama melalui teori kritis menggunakan pemikiran Theodor Adorno, Max Horkheimer, Felix Guattari, Gilles Deleuze, dan Timothy Morton. Kedua, menggunakan pendekatan fenomenologi Maurice Merleau-Pomty dan Martin Heidegger.

Sementara itu, renungan dan pemikiran kritis penulis tentang seni dan tubuh dapat dilihat dari esai berjudul Tari dan Tubuh Politis. Penulis menjabarkan bahwa tarian ialah salah satu bentuk ekspresi tubuh seorang perempuan yang memiliki berbagai makna mendalam.

“Tubuh yang menari ialah upaya perempuan mengenali tubuhnya sendiri. Gerakan tubuhnya ialah pemberontakan terhadap bagaimana pengaturan dan pengawasan terus mengancam. Tarian ialah sebuah gugatan politis di tengah menguatnya konservatisme yang selalu menyasar pada penertiban tubuh perempuan,” halaman 19.

Dalam esai berjudul Seni dalam Lipatan Pandemi, penulis menuangkan pikiran kritisnya tentang makna berkesenian di tengah situasi pandemi yang mengisolasi. Penulis mengungkapkan bahwa kondisi wabah menjadi momen yang tak mudah bagi para seniman.

“Berkesenian adalah proses simultan internal dan eksternal seseorang, yang berurusan dengan sisi privat, refleksi, dan ekspresi diri. Namun, di sisi lain, seni adalah intensionalitas diri dengan orang lain, keterlibatan diri dan dunia,” halaman 38.

Namun, di sisi lain penulis juga menjabarkan keyakinannya bahwa semua yang terjadi di dunia memiliki hubungan sebab akibat. Pandemi juga tak seharusnya menjadi penghalang untuk seni tetap bisa terwujud. Seperti halnya yang ditulis oleh filsuf asal Italia Federico Campagna tentang kesenian Barok yang masih bisa berkembang pada saat Eropa diterpa berbagai macam masalah.

Buku ditutup dengan esai berjudul Sembahyang Bhuvana. Dalam esai tersebut, penulis mencurahkan kegelisahan dan pemikiran kritisnya tentang perkembangan teknologi di era industrialisasi yang sedemikian pesat. Kondisi yang kerap membuat manusia menjadi lupa akan hakikatnya sebagai bagian dari alam.

“Ilmu pengetahuan dan teknologi pascaindustri sedemikian pesat, manusia membusungkan dadanya dan berbangga hati terhadap mesin, gawai, dan gedung yang mereka ciptakan. Namun, kemuliaan apakah yang dapat dicapai melihat tangisan orang utan, harimau, gajah, dan badak yang terbakar bersama hutannya yang dipakai manusia untuk industrinya? Inilah kekhawatiran cendekiawan Nyaya dan Vaisesika, saat keilmuan diputuskan dari konsekuensi etisnya,” halaman 79.

Sesuai dengan latar belakang penulis yang berasal dari Bali, dalam buku ini banyak dihadirkan contoh atau studi kasus dari kehidupan masyarakat, budaya, hingga masalah sosial yang terjadi di Pulau Dewata. Mulai tradisi Bali tentang tujuh Pura Induk yang dikenal sebagai Pura Segara, aktivitas spiritual masyarakat Bali seperti Ngaben dan Nyepi, hingga perlawanan rakyat Bali terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa.

“Dalam kampanye perlindungan kawasan konservasi Teluk Benoa, warga Bali sering kali menggunakan kegiatan berkesenian untuk menunjukkan penolakannya terhadap proyek reklamasi yang mengancam Teluk Benoa. Dalam pawai budaya yang mereka selenggarakan, mereka mempertunjukkan tarian Barong dan Rangda, yang mereka interpretasikan sebagai wujud simbolisasi baik dan buruk,” halaman 23.

Meski membahas sisi filosofis dari bermacam isu, penulis tetap menulis esai-esainya dengan bahasa yang membumi. Tak akan sulit bagi pembaca untuk memahami hasil kajian dan pemikiran penulis yang dihadirkan dalam setiap esai.

Penulis juga tak sedikit menghadirkan catatan kaki berupa daftar artikel atau buku yang menjadi referensinya atau sumber informasi baginya dalam esai. Catatan kaki tersebut juga dapat menjadi sumber bacaan tentang filsafat yang lebih mendalam dan menambah referensi bagi pembaca.

Melalui buku ini, penulis membuktikan bahwa bukan tak mungkin untuk mengkaji berbagai hal dalam satu payung ilmu, filsafat Setiap tema dan isu yang disertakan sebagai contoh menguatkan eratnya keterkaitan tubuh, seni, alam, hingga seksualitas dalam kehidupan setiap manusia.

Penulis juga menutup buku ini dengan sangat epik dengan menghadirkan sebuah puisi yang berjudul Agamaku. Puisi tersebut merupakan salah satu yang diterbitkan dalam bukunya yang berjudul Kekasih Teluk.

"Agamaku tidak diciptakan tuhan 

Atau para dewata 

Ia dinyanyikan oleh lumba-lumba

Yang senyumnya mengajarkanku, 

Kebebasan. 

 …" (M-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat