visitaaponce.com

Karena Wayang Adalah Cermin Kehidupan

Karena Wayang Adalah Cermin Kehidupan
Ki Warseno Slank(MI/Widjajadi)

MUNCULNYA video penggalan ceramah keagamaan yang menyarankan jemaah untuk meninggalkan wayang menimbulkan keprihatinan dari beragam pihak. Di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Jumat (18/2), dalang senior Ki Warseno Slank beserta dalang dan pemimpin Pondok Pesantren Ora Aji, Gus Miftah, menyelenggarakan pergelaran wayang Dalang Menggugat di ponpes tersebut.

Julukan ‘slank’ didapat Ki Warseno sejak muda karena gayanya yang inovatif dengan mengolaborasikan musik Barat dengan gamelan. Namun, seiring dengan waktu, adik maestro dalang Ki Anom Suroto itu memilih kembali ke pertunjukan wayang sesuai dengan pakem. Mengapa demikian dan bagaimana upayanya untuk terus mendekatkan wayang ke generasi muda?

Berikut wawancara Media Indonesia dengan pria yang juga kandidat doktor ilmu ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret (UNS) itu di rumahnya yang asri di Makamhaji, Kartosuro, Jumat (18/2) pagi.

 

Bagaimana pergelaran wayang Dalang Menggugat ini terwujud dan apa sebenarnya tujuannya? 

Saya salut dengan Gus Miftah, yang begitu gelisah dengan gangguan isu lama yang digoreng-goreng kemudian mengajak saya untuk meredam dan sekaligus memerangi pihak yang mengganggu eksistensi wayang sebagai benteng ketahanan budaya bangsa. Mudah-mudahan, dari langkah dalang menggugat ini, (kami dapat) mengakhiri gangguan terhadap eksistensi budaya tradisi wayang dan sekaligus menjadi percepatan hilangnya pandemi covid-19. Semoga!

 

Saat muda Anda dikenal sebagai dalang yang memasukkan unsur budaya Barat, tetapi mengapa sekarang memilih kembali ke pakem?

Perjalanan saya sebagai seniman tradisi pakeliran wayang yang sudah berjalan selama 30 tahunan ini sangat dinamis. Kala muda, yakni medio 1990-an, saya memprakarsai pakeliran hura-hura dan kolaboratif yang memadukan berbagai alat musik Barat dan etnik sebagai bentuk memenuhi selera penggemar muda. Seiring dengan pendewasaan berpikir, saya harus mengubah gaya dan aktualisasi pakeliran yang hanya memuaskan dari segi tontonan itu. Akhirnya saya berketetapan mengembalikan pakeliran wayang pada proporsi sebagaimana pakemnya.

Ternyata dengan kembali ke pakem, wayang yang saya bawakan masih terus digemari masyarakat. Karena itu, saya bertekad mendedikasikan segala kemampuan bermain di atas panggung demi tontonan tradisi berkualitas yang enak dinikmati sekaligus mampu memberikan tuntunan.

Saya tidak mungkin kembali ke gaya lama, dengan umur yang semakin bertambah dan apalagi di tengah perubahan zaman, berikut teknologi yang muncul, saya mencermati ada cara pandang beda pada barisan kawula muda dalam menyikapi pertunjukan wayang. Ini yang harus saya sikapi agar pertunjukan wayang kulit tidak tergerus oleh zaman dan tetap disukai kalangan milenial sebagai ketahanan budaya Nusantara yang adiluhung.

 

Bagaimana cara agar tetap sesuai dengan pakem, tapi juga menarik bagi milenial? 

Dari banyak komunikasi dan diskusi di luar kelir (pedalangan), saya mendapatkan kesimpulan bahwa dalang harus semakin inovatif di atas panggung. Salah satunya memadatkan waktu pertunjukan, tapi tidak mengurangi pakem dan alur cerita, serta tidak jelimet dan menginspirasi. Dari yang biasa 5 jam menjadi 3 atau 2 jam, dan bahkan 1 atau setengah jam.

Selain itu, dalang dituntut paham tentang apa yang digemari kawula muda. Banyak milenial ternyata sangat suka dengan adegan dialog panakawan, yakni Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, yang dianggap lugas dan menginpirasi. Terkait dengan pertunjukan wayang dengan pemadatan waktu, itu sebenarnya sudah saya praktikkan lebih dari 10 tahun bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika dan itu lebih disukai kalangan milenial, layaknya mereka menggemari pertunjukan stand up comedy.

 

Apakah mempersingkat waktu saja sudah cukup untuk membuat pertunjukan wayang lestari? 

Pemerintah harus bantu mengaktualisasi kekayaan tradisi ke masyarakat dan bukan sekadar menetapkan Hari Wayang 7 November. Hal itu perlu saya singgung sebab Indonesia yang pernah dijajah ratusan tahun, banyak khazanah budaya yang diambil penjajah kemudian dikemas dengan cara beda dan balik ke Indonesia justru digemari.

Pemerintah dan pemda bisa menyisihkan anggaran untuk kampanye dan pelestarian budaya, atau lewat CSR dari BUMN. Bukan hanya untuk wayang. Lebih menukik lagi, agar generasi penerus menyukai wayang sebagai bentuk tradisi kearifan lokal, pemerintah bisa menerapkan muatan lokal dalam proses pendidikan di segala tingkatan. Jangan biarkan anak muda atau milenial hanya menonton sekilas dari perangkat digital karena roh dari budaya tradisi akan kurang mengakar.

Saya berikan contoh masyarakat Jepang, di tengah perkembangan teknologi yang luar biasa cepat, mereka tetap mencintai pertunjukan sumo karena tradisi itu sudah mengakar di hati warga. Begitu halnya rakyat Korea yang tidak mudah berpaling dari akar kebudayaan yang dipunyai karena mereka paham dan menanamkan sejarah di hati dan pikiran mereka.

 

Apa kerugian terbesar jika bangsa ini tidak bisa melestarikan seni wayang?

Ada istilah luhuring budaya ngangkat derajating bangsa (mulianya budaya mengangkat derajat bangsa). Saya tidak bisa membayangkan jika wayang, yang merupakan bagian kearifan lokal itu, sampai dihilangkan atau musnah.

Keberadaan budaya tradisi wayang sudah ada jauh dari masa Majapahit, bahkan telah sejak zaman Raja Balitung (907 M), sebagaimana prasasti temuan yang menceritakan seni pertunjukan wayang telah ada dan kesenian tradisi pakeliran itu terus berlanjut hingga masa Kerajaan Demak. Kemudian, semakin kuat pada era Mataram Islam, terutama masa kepemimpinan Raja Pakoe Boewono X (1893-1939) di Surakarta, yang begitu kuat menerapkan ajaran Hastabrata, sehingga rakyat begitu setia dan merasa diayomi, termasuk banyak etnik yang makin berkembang di bawah kepemimpinannya yang bijak.

Para milenial yang masih gandrung dengan kesenian pertunjukan wayang pun, ketika menyimak dialog empat tokoh panakawan yang lugas dan tegas, sering membayangkan bahwa gambaran kebijakan, kesederhanaan, ketegasan, dan kedekatan dengan rakyat itu sebenarnya melekat erat kepada pimpinan bangsa Indonesia saat ini.

Setidaknya, saya menangkap bahwa wayang adalah cermin dari kehidupan. Di sana berbicara tentang kepemimpinan, kebinekaan, dan nilai-nilai Pancasila, baik itu soal kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, keadilan, dan ketuhanan. Apa yang begini akan dimusnahkan? Karena itu, sekali lagi saya mengingatkan, jika merasa warga Indonesia, belajarlah dari lakon wayang, bukannya malah mengoyak-ngoyak, memprovokasi, dan sebagainya.

 

Apa harapan Anda terhadap komunitas dalang sendiri dan masyarakat luas dalam melestarikan wayang? 

Ya, selain mengajak komunitas dalang untuk terus berkarya dengan berbagai inovasi agar wayang tetap dicintai dan diminati generasi milenial, saya berharap, baik media arus utama maupun media sosial bisa ikut merawat dengan mengangkat pemberitaan wayang dan perkembangan pelestariannya.

Keberadaan media arus utama diyakini mampu membersamai pelestarian budaya tradisi wayang dan bahkan menjadikan corong kuat ke dunia luar. Konsep memayu hayuning bawana atas keberadaan kesenian wayang sangat baik jika menjadi langkah bersama anak bangsa. (M-1)

 

Biodata

Nama: Ki Warseno Slank

Tempat, tanggal lahir: Klaten, 18 Juni 1965

Profesi: Dalang

Pendidikan

- Kandidat doktor ilmu ekonomi, Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta

- S-2 ilmu pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

- S-1 ilmu teknik Universitas Tunas Pembangunan, Surakarta

 

Penghargaan

Juara Favorit Festival Greget Dalang 1995, Piala Presiden RI

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat