visitaaponce.com

Mendobrak Tabu Isu Seksualitas

Mendobrak Tabu Isu Seksualitas
Cover buku Memori Tubuh Kami.(Dok. AE Books)

"Konservatisme di Indonesia membuat edukasi seks yang komprehensif jadi barang tabu. Perempuan muda yang merasakan dampaknya."

 

DUA kalimat singkat di halaman pembuka buku berjudul Memori Tubuh Kami tersebut secara lugas menyiratkan permasalahan terkait edukasi seks yang masih jauh dari sukses di Indonesia. Isu yang setiap tahun semakin kencang disuarakan banyak kelompok masyarakat, tetapi belum juga memiliki pencapaian menggembirakan dengan melihat maraknya kasus-kasus kekerasan seksual, terutama oleh maupun terhadap anak di bawah umur, belakangan ini. Atau, fenomena meningkatnya pernikahan remaja di salah satu wilayah Tanah Air lantaran kehamilan di luar pernikahan.

Perkara edukasi seksual yang seolah jalan di tempat tersebut menjadi premis utama dari buku yang ditulis oleh Fadiyah Alaidrus ini. Fadiyah, selanjutnya disebut penulis, merupakan seorang jurnalis dan editor lepas yang banyak menulis tentang isu-isu terkait gender, kekerasan seksual, dan terkait hak asasi manusia lainnya. Isu yang pada banyak kesempatan disebutnya berseliweran di kehidupan masyarakat Indonesia. Sayangnya, tak banyak yang memiliki keberanian dan keinginan untuk menyelesaikannya secara menyeluruh.

Memori Tubuh Kami merupakan bagian dari seri gender yang diterbitkan oleh EA Books. Sebelum buku ini, setidaknya ada 13 buku seri gender yang telah diterbitkan oleh EA Books.

Di buku ini, penulis mengumpulkan sebanyak 10 tulisan. Seluruhnya merupakan hasil liputan terkait isu diskriminasi gender dan seksualitas terhadap anak, terutama anak perempuan, di berbagai daerah Indonesia.

Tak sekadar memuat hasil pendataan atau informasi dari regulator, Fadiyah juga menggali lebih dalam informasi dari narasumber yang pernah menjadi korban diskriminasi dan eksploitasi seksual di usia anak. Mereka yang masih berjuang melanjutkan hidup pascatragedi yang mengubah hidupnya terjadi bertahun-tahun silam. Untuk melindungi privasi narasumber, penulis menyamarkan identitas asli para narasumbernya.

Membuka buku, penulis menghadirkan tulisannya terkait rendahnya edukasi seksual di Indonesia. Edukasi seks masih saja dianggap tabu oleh sebagaian besar kelompok masyarakat. Bahkan oleh para pengajar dan institusi pendidikan formal sekalipun.

Akibatnya, banyak anak dan remaja yang tak memiliki pegangan dan arah yang tepat ketika hasrat seksual mereka mulai hadir. Ada kekosongan yang akhirnya mereka isi dengan muatan informasi yang tak utuh, tak jarang menyimpang.

Rendahnya edukasi seksual itu menelurkan berbagai masalah terkait diskriminasi gender dan eksploitasi seksual pada anak. Masalah yang menyisakan trauma panjang dan mengubah hidup banyak anak dan perempuan di Indonesia.

Di tulisan itu, penulis menghadirkan kisah narasumber bernama Gloria dan Riri. Gloria adalah seorang perempuan muda yang pernah melakukan aborsi secara mandiri menggunakan pil peluruh kandungan. Kala itu usianya masih 17 tahun. Ia dihamili oleh pacarnya yang telah berusia 24 tahun. Adapun Riri terpaksa harus melanjutkan kehamilannya dan menikah akibat paksaan orangtua.

Kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) itu terjadi karena ketidaktahuan Gloria dan Riri tentang risiko melakukan hubungan seksual, khususnya di usia anak dan di luar pernikahan. Mereka dimanipulasi oleh para lelaki yang saat itu sudah berusia dewasa, sementara mereka masih seorang remaja polos dan minim edukasi tentang seks.

Ketika beranjak dewasa, mereka baru menyadari apa yang mereka lalui merupakan konsekuensi dari minimnya pengetahuan tentang seks. Ironisnya, hal itu ternyata banyak terjadi di kalangan remaja. Gloria dan Riri hanya bagian kecil di antara ratusan ribu remaja perempuan yang mengalaminya dari tahun ke tahun.

‘Kisah Gloria dan Riri merupakan bagian fenomena yang masih menggunung di Indonesia. Angka KTD meningkat hingga sekitar 420 ribu (17,5%) saat memasuki pandemi covid-19. Berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), KTD yang ditemukan pada kategori usia 15–19 tahun mencapai 16%’ (halaman 11).

Kisah lain terkait KTD juga dihadirkan lewat pengalaman narasumber bernama Laras, seorang siswi SMA yang mengalami siksaan batin akibat perundungan dan diskriminasi dari banyak orang di sekitarnya. Sebagai anak di bawah umur, ia tak mendapatkan perlakuan dan pendampingan layaknya seorang korban ketika mengalami KTD.

Ia justru dikucilkan dan disalahkan atas apa yang terjadi padanya. Padahal, sama halnya dengan Gloria dan Riri, pangkal permasalahan yang terjadi pada Laras ialah akibat minimnya edukasi tentang seks. Mereka adalah korban dari keadaan yang tak menguntungkan di masyarakat konservatif.

‘Saat edukasi seksual tidak dihadirkan dengan baik oleh sekolah atau orangtua, apalagi malah ditabukan, beberapa remaja memilih mempelajarinya secara autodidak dari sumber alternatif yang lebih mudah diakses di internet: pornografi’ (halaman 16).

MI/Duta

 

Melawan stigma HIV

Pada artikel keenam dan ketujuh yang dimuat di buku ini, penulis menghadirkan isu tentang status HIV positif pada ibu dan anak-anaknya. Tentang bagaimana mereka tak hanya harus berjuang bertahan hidup dan mengupayakan pertumbuhan optimal anak-anaknya yang berstatus HIV positif, tetapi juga mengenai perjuangan mereka melawan stigma dan diskriminasi yang tak berkesudahan.

Seperti diketahui, berbagai data terkait HIV dan AIDS di Indonesia mengungkapkan ibu rumah tangga sebagai salah satu kelompok masyarakat dengan kasus HIV positif tertinggi. Mayoritas dari mereka merupakan korban keegoisan para suami yang kerap melakukan aktivitas seksual berisiko tanpa sepengetahuan pasangan resmi mereka.

Tragisnya dalam kondisi tersebut, anak-anak sering menjadi yang paling dirugikan. Mereka harus menerima takdir terlahir sebagai pengidap HIV positif karena terlahir dari ibu yang juga HIV positif.

Di dua tulisan tersebut, penulis menghadirkan kisah beberapa ibu dalam membesarkan anak berstatus HIV positif. Khususnya perjuangan mereka menjaga kesehatan mental sang anak yang harus rutin meminum obat. Serta yang paling berat dari semuanya, upaya mereka secara bertahap memberi informasi tentang kondisi HIV positif kepada anak-anaknya yang beranjak remaja.

“Takut nanti malah balik menghujat atau memaki kami, 'kenapa aku seperti ini?’," ujar Melanie, ibu dengan anak positif HIV (halaman 78).

Penulis juga menghadirkan hasil liputannya tentang potensi kriminalisasi hingga sulitnya anak korban perkosaan untuk bisa melakukan aborsi. Padahal, izin melakukan aborsi bagi korban perkosaan telah dijamin undang-undang.

Salah satu contohnya terjadi pada Melati, seorang anak berusia 12 tahun asal Jombang. Ia mengandung anak hasil perkosaan yang dilakukan seorang lelaki berusia 56 tahun. Dengan berbagai pertimbangan seperti kesehatan mental dan risiko kesehatan akibat kehamilan usia anak, keluarga mengajukan izin aborsi kepada kepolisian daerah. Namun, permohonan tersebut ditolak tanpa disertai alasan jelas.

‘Kekosongan sistem pelayanan aborsi yang aman dan legal telah membawa Melati ke dunia yang sangat asing. Ia terpaksa menjalani kehamilannya yang kini berusia hampir tujuh bulan. Ia memahami janinnya adalah hasil pemerkosaan. Jiwanya terguncang’ (halaman 74).

Sebagai penutup, penulis menghadirkan artikel tentang perjuangan hidup para perempuan pekerja migran. Hingga saat ini, perempuan pekerja migran merupakan salah satu kelompok paling rentan mendapatkan kekerasan dan ketidakadilan, serta minim perlindungan.

Tidak sedikit perempuan pekerja migran yang terjebak dalam situasi tak menguntungkan. Mereka menjadi korban kekerasan, pemerkosaan, hingga dijebak untuk melakukan aksi kriminal. Mereka terpaksa harus menjalani proses hukum di luar negeri. Beberapa perempuan pekerja migran Indonesia bahkan harus menjalani hukuman berat hingga hukuman mati.

‘70% dari 649 pekerja migran Indonesia yang menghadapi hukuman mati di negara lain adalah perempuan. Sekitar 67% dari semua kasus melibatkan perempuan yang terjebak sindikat narkotika, khususnya yang dianggap sebagai kurir’ (halaman 142).

Lewat seluruh tulisan dan laporan jurnalistiknya, penulis menyuguhkan pemaparan objektif dan faktual tentang kondisi terkait diskriminasi gender dan seksualitas pada anak di Tanah Air. Ia membedah masalah-masalah yang terus terjadi tapi tetap masih terdengar tabu untuk dibahas di banyak kalangan.

Penulis mengajak pembaca untuk bisa menilai siapa saja yang sebenarnya bertanggung jawab atas berbagai masalah tersebut. Tentunya bukan dengan opini yang disajikan secara pincang, tetapi melalui hasil liputan yang menghadirkan berbagai sudut pandang, dengan tetap berpihak kepada korban.

Meski berwujud laporan jurnalistik, artikel yang disajikan tidak kaku, justru sangat mendalam dan menyentuh. Hal itu karena cara penulis menggali informasi personal dari kisah hidup para narasumber. Mereka yang mayoritas merupakan penyintas kasus-kasus diskriminasi, manipulasi, dan kekerasan seksual.

Buku ini dapat menjadi teman bagi banyak orang yang masih berjuang melanjutkan hidup setelah mengalami peristiwa traumatis di masa lalu. Melalui buku ini mereka akan menemukan fakta bahwa mereka tak sendiri. Ada banyak orang dengan kisah serupa yang sedang sama-sama berjuang menjalani kehidupan tanpa dihantui trauma. (M-2)

 

BIOBUKU

Judul : Memori Tubuh Kami

Penulis : Fadiyah Alaidrus

Penerbit : AE Books

Tahun : Cetakan pertama, Januari 2023

Tebal : viii + 166 halaman

ISBN : 978-623-5280-08-0

 

 

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat