visitaaponce.com

Sensivitas di Dunia Penerbitan, Sensor atau Evolusi

Sensivitas di Dunia Penerbitan, Sensor atau Evolusi?
ilustrasi: Protes menentang gerakan Drag Story Hour yang dianggap menyebarkan paham LGBT pada anak-anak(KENA BETANCUR / AFP)

Di dunia penerbitan luar negeri, barat khususnya, biasanya ada seorang editor yang bertugas menyeleksi/mengedit kata-kata sensitif yang dianggap tidak atau kurang sesuai usia pembacanya, terutama untuk buku anak-anak. Mereka, para editor ini, disebut sebagai pembaca sensivitas atau pembaca kepekaan. Peran mereka lebih tepatnya sebagai korektor.

Di tengah munculnya gerakan sosial seperti gerakan #MeToo untuk melawan perundungan seksual dan gerakan Black Lives Matter untuk melawan rasialisme, peran editor/pembaca semacam itu kini juga makin menonjol dalam penerbitan fiksi kontemporer.

Namun, profesi tersebut kini semakin disorot karena dituding telah menyensor kebebasan.  “Pihak penerbit melakukan pekerjaan yang sangat bagus dengan mencoba merusak buku kami, dan merusak kesenangan kami sebagai pembaca," kata penulis buku "We Need To Talk About Kevin," Lionel Shriver. Penulis asal AS itu mengeluh di saluran Inggris ultra-konservatif GB News, bulan lalu .

Baru-baru ini, buku-buku karya penulis anak-anak Roald Dahl dan Ian Fleming, penulis novel James Bond, diterbitkan ulang agar lebih disesuaikan dengan kepekaan saat ini. Dalam buku-buku Dahl, misalnya, beberapa karakter tidak lagi diidentifikasikan sebagai "gemuk" atau "gila". Buku-buku Fleming juga diterbitkan ulang dengan referensi rasial -- termasuk kata-N (negro) -- dihapus.

Hal ini menuai tudingan adanya upaya penyensoran secara berlebihan, terutama mereka yang takut karya sastra yang ‘disanitasi’  ini dapat menutupi masa lalu dan juga masa kini.

"Orang-orang mengatakan itu, tetapi saya merasa mereka tidak memahami prosesnya," kata Patrice Williams Marks, pembaca sensitivitas/korektor yang berbasis di Los Angeles, kepada AFP.

"Jika Anda menulis tentang orang atau komunitas yang tidak Anda kenal, dan Anda ingin itu terlihat asli atau natural... maka Anda sebaiknya menemui seseorang yang merupakan pembaca sensitif /korektor yang merupakan bagian dari komunitas itu dan meminta pendapat mereka," jelasnya.

"Saya selalu memberi tahu mereka bahwa mereka tidak harus menerima perubahan yang saya sarankan," kata Lola Isabel Gonzalez, pembaca sensitivitas lainnya, yang juga tinggal di Los Angeles.

Sensor modern

Jadi, siapakah para pembaca kepekaan ini? Sebagian besar mereka adalah editor lepas. Mereka seringkali dibayar per kata atau jumlah halaman, dan dengan klausul kerahasiaan yang ketat, tentu saja oleh penulis atau penerbit yang peduli dengan keakuratan naskah mereka.

Atau, seperti yang dituduhkan oleh para kritikus, kehadiran mereka (para editor/korektor ini) untuk menghindari kemungkinan buku itu dibatalkan/ditarik dari peredaran karena kecerobohan, di tengah kencangnya gempuran media sosial.

Para korektor ini sering membuat daftar bidang keahlian mereka, seperti :"anak imigran", "biseksual", "autis", "berhijab", "tuli", "keahlian dalam budaya Cina daratan dan Hong Kong" , dan seterusnya.

"Ada alasan bagus untuk mengatur bacaan anak-anak: itu mendasar dan mendidik," tulis penulis Inggris Kate Clanchy tahun lalu. Memoar Clanchy pernah menjadi kontroversi karena dituduh rasis dan tidak peka.

Bagi Shriver, yang telah lama mengeluh tentang pembaca seperti itu mengatakan mereka tidak lebih dari ‘polisi kepekaan’. "Ini menghambat spontanitas dan kreativitas," tulisnya di surat kabar The Guardian pada 2017.

Di Prancis, negara yang sangat menentang jenis revisionisme ini, penulis esai Raphael Enthoven pada tahun 2020 mencela "sensor modern" ini sebagai "pelopor Wabah Identitas".

Tetapi banyak penulis lain mendukung, seperti Adele Holmes dari Amerika, yang menyewa salah satu pembaca/korektor semacam ini untuk buku pertamanya, Winter's Reckoning. " Untuk karakter wanita kulit hitam yang digambarkan memiliki rambut "halus", pembaca/editor semacam ini menyarankan untuk menggunakan kata "coil", agar lebih realistis. Holmes merasa bahwa peran korektor sangat membantunya.

Mengenai kritik yang menganggap itu sebagai sensor, dia berpendapat bahwa itu berasal dari orang-orang yang merasa "terancam" oleh minoritas, di dunia penerbitan yang telah lama didominasi oleh orang kulit putih.

Sementara itu, Marks menyebutkan minat baru pada profesi semacam ini makin diminati setelah kasus pembunuhan George Floyd pada tahun 2020, seorang pria Afrika-Amerika, oleh seorang petugas polisi kulit putih di Minneapolis. Pembunuhan itu memicu protes dan gerakan sosial terhadap rasisme modern di Amerika Serikat dan di seluruh dunia. “Sejak itu, penulis menjadi lebih sadar akan lensa yang mereka lihat," kata Marks.

Gonzalez juga melihat peningkatan kepedulian ini sebagai refleksi dari evolusi sosial. "Saya tidak berpikir saya bisa melakukannya secara profesional pada dekade lalu," katanya tentang pekerjaannya. Menurut dia Generasi Z kini menantang narasi sosial yang sudah mapan. Menurut Gonzalez, generasi yang lebih muda itu memahami pentingnya kepekaan membaca, yang berbeda dengan generasi tua sebelum mereka. (M-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat