visitaaponce.com

Ritual Menyambut Tamu Masyarakat Tengger

Ritual Menyambut Tamu Masyarakat Tengger
(Ritual Menyambut Tamu Masyarakat Tengger)

KEDATANGAN para peserta workshop jurnalisme arkeologi untuk memotret kebudayaan Tengger Desa Ngadas, Bromo, dan sebagai tamu dalam tradisi adat masyarakat Tengger di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang (Jatim), beberapa waktu lalu, diawali dengan ritual adat masoken di ujung jalan utama masuk desa.

Ritual ini diawali ucapan hong ulun basuki langgeng yang merupakan salam sapa masyarakat Tengger yang artinya semoga tetap dalam perlindungan atau keselamatan dari yang kuasa, sedangkan jawabannya langgeng basuki.

Ritual masoken dipimpin Romo Dukun Sutomo. Sesajen telah disiapkan berupa nasi tumpeng, pisang, jadah, nasi kuning, ayam ingkung, pisang ayu, dan jenang sengkolo. Pria berusia 63 tahun itu lalu membakar kemenyan dan merapalkan mantra dengan maksud agar para tamu diberi keselamatan dan yang diharapkan dapat terlaksana dengan baik.

Seusai merapalkan mantra suci, romo dukun memercikkan air suci dari prasen kepada seluruh tamu yang datang. Tradisi itu sudah berlangsung berabad-abad karena di prasen yang berada di Ngadas tertulis angka pembuatannya, yakni 1269 dalam aksara kuno. Seusai diperciki air suci, sesajen disantap bersama-sama.

Sangat sulit untuk menjadi dukun di Tengger karena ia terlebih dahulu wajib melakukan mulunen atau peresmian dan diuji kemampuannya menghafal seluruh mantra sebagai tradisi lisan di hadapan seluruh calon dukun. Pengukuhan dilakukan menjelang acara Kasada. Romo Dukun Sutomo, atau lebih akrab disapa Romo Tomo, ialah keturunan ketiga dari keluarganya yang menjadi dukun. Dukun ialah pendeta di atas pemangku atau romo yang disucikan sebagai pelaksana adat.

Mantra-mantra suci untuk penyebutannya pun harus disertai sesajen atau bebanten. Sementara itu, penganut agama Hindu di Ngadas mengawali acara keagamaan dengan menembangkan kidung di antaranya: 'Kukuse dupa kumelun/ngeningken tyas Sang Apekik/kawengku sagung jajahan/nanging sanget angkibi/Sang Resi Kaneka Putra/kang anjog saking wiyadi/Aneng ndonya ayo padha/tumindak netepi dharma/tepa slira mring sasama/kaudia saben dina/lan manembah mring Hyang Suksma/mangka sumbere kang ana/muga tansah ngayomana/kehing dosa ingapura/'.

Menurut Kades Mujianto Mugi Raharjo, 51, Ngadas merupakan salah satu di antara 36 desa suku Tengger yang tersebar dalam empat wilayah kabupaten/kota. Karena terletak di wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Ngadas merupakan kantong (enclave) dengan udara relatif dingin karena berada di ketinggian 1.800 mdpl dengan luas area sekitar 395 ha dan berbukit-bukit. Nama Ngadas sendiri diambil dari tanaman adas (Foeniculum vulgare) yang banyak tumbuh liar.

Menurut Mujianto, penduduk Desa Ngadas sebanyak 554 KK dengan 1.756 jiwa itu memiliki tiga keyakinan agama, yakni Buddha Jawa Sanyata, Islam, dan Hindu. “Ada tiga masjid, satu pura, dan satu wihara di desa ini untuk warga menjalankan ibadah masing-masing. Namun, masyarakatnya tetap taat dan tunduk pada adat Tengger,” jelasnya.

Kartono, 50, pemuka masyarakat Ngadas, menambahkan, Ngadas ialah satu-satunya desa suku Tengger yang berada di Malang.

Keberadaan desa itu dimulai pada 1774. Ketika itu, terdapat seorang tokoh bernama Mbah Sedhek beserta tujuh pengikutnya yang membuka desa. Masyarakat Tengger yang mendiami Ngadas merupakan keturunan Mbah Sedhek beserta tujuh pengikutnya. Ngadas hanya didiami suku Tengger dan tidak ada warga yang berstatus sebagai pendatang. Hal itu diperkuat dengan aturan tak tertulis yang berlaku di Desa Ngadas bahwa tanah yang dimiliki suku Tengger tidak boleh diperjualbelikan.

 

Kain sarung

Di desa itu banyak dijumpai warga yang memakai sarung yang diikatkan ke badan. Sarung tersebut merupakan ciri khas suku Tengger Ngadas yang berfungsi untuk mengusir hawa dingin serta agar tidak nyasar sebagaimana pepatah yang berlaku di Ngadas ora nyasar ora ndhelurung. Udara dingin yang menyelimuti desa menjadikan rumah-rumah di Ngadas dilengkapi dengan perapen/perapian berupa wajan yang dipergunakan membakar arang untuk menghangatkan badan. Bahkan di beberapa rumah, perapian sudah menggunakan tungku gas elpiji. Di sudut-sudut jalan juga tampak balok-balok kayu yang disiapkan dan dimanfaatkan sebagai perapian.

Warga Ngadas 40%-nya beragama Buddha Jawa Sanyata dan memiliki Sanggar Pasembahan Wihara Paramitta. Menurut pemuka agama setempat, agama itu memiliki ajaran luhur kudu welas asih marang sepada-pada ning urip, ojo teksio marang sepada-pada ning urip, atau harus saling mengasihi sesama makhluk hidup dan jangan semena-mena terhadap makhluk hidup.

Dalam menjalankan ibadah, umat Buddha Jawa Sanyata kental dengan nuansa Jawa. Seorang pendeta merapal ayat-ayat Adam Makna (kitab Buddha Jawa Sanyata yang ditulis dalam huruf Hanacaraka) menggunakan irama lantunan macapat seraya bersujud kepada triumvirat Sang Hyang Wenang ing Jagad, Ki Semar, dan Sang Buddha.

Masyarakat Desa Ngadas masih menyelenggarakan bermacam tradisi, seperti tradisi sayan (undang), gantenan dan genten cecelukan (bergantian membantu dan gantian mengundang makan), tradisi nyelawat (salawatan) atau nglayat apabila ada musibah kematian. Juga upacara-upacara adat seperti entas-entas, karo, unan-unan, dan Yadya Kasada. Di perkampungan itu banyak kesenian atau atraksi rakyat yang masih terjaga, yakni kuda lumping, bantengan, dan kuda kencak.

Ada yang sangat unik pada tradisi warga Ngadas yang berbeda dengan di Bali dalam kaitannya dengan upacara kematian, yakni upacara entas-entas. Bagi warga Ngadas, pelaksanaan upacara itu secara khusus untuk menyucikan roh atau adma bagi orang yang sudah meninggal dunia. Ritual adat itu dilaksanakan pada hari ke-1.000 atau minimal pada hari ke-44 setelah keluarga ada yang meninggal. Istilah entas-entas berasal dari bahasa Jawa, yaitu entas yang berarti mengangkat.

Untuk melakukan upacara entas-entas dipersiapkan kain putih, bebek, cepel, cobek, beras, dan kulak. Selain itu dibuat sebuah boneka yang diberi nama Petra, sebagai tempat kembalinya roh atau adma. Pembuatan boneka itu menggunakan bahan dedaunan dan bunga, kemudian nantinya akan disucikan pemuka adat. Tiap benda yang digunakan sebagai sarana upacara tersebut mempunyai makna tersendiri bagi warga Ngadas.

Ada beberapa tahapan prosesi dilakukan, yaitu mengisi kulak atau bumbung yang terbuat dari bambu dengan beras. Lantas semua keluarga berkumpul di bawah kain putih panjang yang dibentangkan romo dukun untuk melakukan prosesi entas-entas. Inti upacara itu bagi warga Ngadas ialah mengembalikan manusia kepada unsur alaminya, berupa tanah, kayu, air, dan api. Setelah itu semua Petra dibawa ke tempat pembakaran untuk disempurnakan.

 

Asal mula 

Dikisahkan ada beberapa asal mula suku Tengger. Ada yang menyebutkan bahwa istilah Tengger berarti pegunungan yang menjadi tempat tinggal mereka. Ada pula yang berpandangan bahwa Tengger adalah istilah yang berasal dari kalimat Tenggering budi luhur yang menggambarkan watak suku Tengger.

Dalam cerita lisan dikisahkan bahwa Tengger merupakan gabungan dari nama Roro Anteng dan Joko Seger sebagai nama leluhur mereka. Roro Anteng ialah putri raja Majapahit dan Joko Seger merupakan putra seorang brahmana.

Setiap bulan ke-12 (Kasada) hari-14 dalam penanggalan Tengger, diadakan upacara sesembahan atau sesajen untuk Sang Hyang Widhi dan para leluhur (Dewa Kusuma), yang diyakini berasal dari kisah Roro Anteng dan Joko Seger. Meskipun demikian, sebenarnya cerita Roro Anteng dan Joko Seger yang asli dibacakan tiap acara Kasada oleh kepala dukun Tengger tidak menyebutkan mengenai raja Majapahit atau putra brahmana.

Pernikahan Roro Anteng dan Joko Seger yang sudah lama dan tidak dikaruniai seorang anak membuat Joko Seger mulai putus asa dan mengucap janji. Joko Seger akan memberikan salah satu anaknya sebagai sesajen kawah Gunung Bromo apabila telah dikaruniani 25 anak. Kawah Gunung Bromo langsung bergemuruh setelah ikrar diucapkan sebagai tanda janji telah didengar. Roro Anteng pun hamil setiap tahun tak lama setelah Joko Seger mengucapkan janji tersebut. Akhirnya mereka dikaruniai 25 anak lalu janji Joko Seger ditagih dewa.

Pasangan Roro Anteng dan Joko Seger menyanggupinya, tetapi naluri orangtua tetaplah tidak tega bila kehilangan putra-putri mereka. Pasangan Roro Anteng dan Joko Seger ingkar janji yang menyebabkan dewa marah. Terjadilah malapetaka, keadaan menjadi gelap gulita. Kawah Gunung Bromo menyemburkan api. Raden Kusuma, anak bungsu, lenyap dari pandangan, terjilat oleh api, masuk ke kawah Bromo dan bersamaan dengan hilangnya Kusuma terdengarlah suara gaib, "Saudara-saudaraku yang kucintai, aku telah dikorbankan orangtua kita dan Sang Hyang Widhi menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan tenteram, sembahlah Sang Hyang Widhi. Aku ingatkan agar kalian setiap Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesajen kepada Sang Hyang Widhi di kawah Gunung Bromo."

Kebiasaan itu diikuti secara turun-temurun oleh masyarakat Tengger dan setiap tahun diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo. (M-3)

 

Tentang penulis

Bambang Widiatmoko ialah anggota Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) dan peserta workshop Jurnalisme Arkeologi 2023.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat