visitaaponce.com

Pelajaran Cinta Kasih dari Sunan Giri

Pelajaran Cinta Kasih dari Sunan Giri
Cover buku Saga dari Samudra.(Dok. Gramedia Pustaka Utama)

NYAI Ageng Pinatih begitu senang saat menerima seorang bayi yang ditemukan pekerjanya saat sedang mengarungi lautan. Hidupnya pun berubah. Curahan kasih sayang seorang ibu mengalir deras pada bayi yang dinamainya Jaka Samudra. Nyai Ageng Pinatih menyiapkan ibu susu hingga pakaian paling apik untuk Jaka kecil.

Limpahan kasih sayang tak pernah absen dari keseharian Jaka Samudra. Karena itu, ia pun tumbuh menjadi anak laki-laki yang begitu menghormati perempuan dan tak menyukai kekerasan. Hal itu pertama kali tampak ketika Jaka menegur Wajendra, anak dari salah satu saudagar besar di Gresik Aryo Rekso, lantaran menyakiti pekerjanya yang seorang perempuan. 

"Jangan menyakiti perempuan!" teriak Jaka pada Wajendra.

Wajendra tak acuh. Ia justru merundung Jaka dengan menyebut sebagai anak pungut dan ibunya merupakan perempuan yang menyedihkan. Pun, Jaka disebut tak jelas asal-usulnya. Hal itu lantas membuat keduanya berkelahi yang berujung pada erangan 

Wajendra yang jatuh ke tanah sembari memegangi punggungnya.

"Jaga bicaramu, Wajendra! Tak ada yang boleh menghina ibuku.”

Nukilan singkat novel berjudul Saga dari Samudra ini diambil dari bab-bab awal. Peran perempuan memang sudah tajam dikisahkan sejak bagian awal oleh sang penulis, Ratih Kumala. Bahkan, di bagian pembuka, Ratih mempertanyakan makna dari durhaka, apakah berkaitan dengan anak yang tak hormat pada ibu (dan bapak) atau justru ketika seorang ibu membuang anak meski dengan alasan menyelamatkannya dari kematian.

Kendati disebut ber’genre’ cerita laga –dengan kovernya yang memperlihatkan dua lelaki tengah bertarung—fiksi terbaru dari (penulis) ‘Gadis Kretek’ itu rupanya tak semenyeramkan sinetron kolosal yang biasa sering ditayangkan televisi.

Laga tak melulu soal perkelahian atau pertumpahan darah, meskipun memang ada di beberapa bagian yang mengisahkan hal itu. Misalnya, ketika Nyai Ageng Pinatih pulang dari pelabuhan dengan membawa bayi mungil Jaka Samudra yang kemudian dihadang kelompok Lowo Ireng suruhan Aryo Rekso. Perkelahian tak bisa dihindarkan hingga menyebabkan banyak orang tewas.

Perkelahian lain terjadi ketika Aryo Rekso berhasil menyekap Nyai Ageng Pinatih yang baru saja pulang dari Kotagede. Mengetahui hal itu, Jaka Samudra yang belakangan berganti nama menjadi Raden Paku, lalu dikenal luas sebagai Sunan Giri, itu pun datang bersama Sunan Ampel dan Mahdum Ibrahim untuk menyelamatkan.

Namun, selepas membaca novel yang mudah dihabiskan dalam waktu satu hari ini, makna laga dapat diartikan sebagai sebuah aksi atau gerakan. Mulai aksi Sunan Giri mencari tahu asal-usul dirinya, aksinya bersedekah pada suatu desa yang kerap menjadi tempatnya berniaga hingga aksi syiar Islam yang dengan beragam permainan anak, seperti jamuran, jelungan, dan cublak-cublak suweng. Permainan itu kelak akan dikenal sebagai permainan tradisional Jawa yang bisa dimainkan siapa pun dengan agama apa pun.

MI/Duta

 

Penuh pesan hangat

Ratih mengaku menulis cerita laga menjadi tantangan tersendiri. Ia ingin menghadirkan nuansa perempuan dalam kisah yang biasanya lekat dengan laki-laki dan adu kekuatan. Ratih bisa dibilang berhasil. Bukan hanya selipan tentang kasih ibu yang begitu utuh dan tak lekang waktu, pesan hangat tentang berbagai hal pun memenuhi buku setebal 193 halaman ini.

Pencarian fakta atas apa yang dibicarakan Wajendra tentang anak pungut mengantarkan Jaka Samudra pada ucapan Mahdum perihal makna ibu. Beragam pesan itu sungguh sederhana, apa adanya dan kerap didengar di keseharian. Namun, begitu membacanya, hati menjadi haru.

"Kau pikir, yang dipanggil ibu cuma yang melahirkanmu? Kau dibesarkan olehnya, diperlakukan dengan baik, kau tak kekurangan apa pun. Bahkan, kau dikirim ke mari pun dengan pengawalan Paman Taksa. Semua itu karena perhatian ibumu, kan?"

Di bagian lain, ada kisah kebaikan yang meluluhkan perilaku buruk. Kala itu, Taksa menjadi salah satu anggota Lowo Ireng yang menyerang Nyai Ageng Pinatih dan Jaka Samudra bayi. Ia pun menjadi korban selamat dalam perkelahian antara Lowo Ireng dan pengawal Nyai Ageng. Taksa kemudian dirawat Nyai Ageng dan Sunan Ampel hingga pulih. Taksa pun memohon ampun dan siap untuk menerima hukuman apa pun baik dari Sunan Ampel maupun Nyai Ageng. Tak disangka, ia justru dijadikan pengawal bagi sang bayi Jaka Samudra. Mendapati kebaikan Sunan Ampel dan Nyai Ageng, Taksa pun berubah menjadi seorang pria baik dan setia pada tuan dan Tuhan-nya.

Selanjutnya, kala Raden Paku meminta izin kepada Nyai Ageng untuk pergi menemui ayahnya, sang ibu berpesan agar ia tak lupa untuk pulang ke Gresik. Pernyataan itu lantas dijawab Raden Paku dengan mengutip salah satu hadis HR Bukhari Muslim tentang ucapan Rasulullah bahwa seseorang harus berbakti kepada ibu, ibu, ibu, kemudian ayah.
"Jadi Ibu, aku akan selalu pulang ke sini sebab engkaulah ibuku dan kepadamulah aku harus berbakti.”
 

Toleransi antarumat beragama

Pertemuan dengan ayah kandungnya membawa Raden Paku terus melanjutkan perjalanan sembari mencari lahan untuk mendirikan padepokan. Syaratnya, tanah di lahan tersebut harus sama dengan bekal tanah yang diberi sang ayah, yakni tanah dari Mekah.

Raden Paku dan pengikutnya pun sampai di Desa Giri, yang ternyata sudah didiami kaum kapitayan. Mereka melakukan sembahyang kepada Sang Hyang Taya dan menaruh makanan hingga minuman di bawah sebuah pohon beringin besar. Rupanya tanah di sekitar pohon beringin itu sama dengan tanah yang dibawa Raden Paku.

Mengetahui hal itu, santri-santri pun bersorak girang dan berspekulasi pohon tersebut akan segera ditebang dengan bumbu pernyataan kafir pada mereka yang memberi sesajen di pohon tersebut. Namun, rupanya tak begitu, Raden Paku bahkan enggan menebang pohon yang dikeramatkan kaum kapitayan.

"Bagaimanapun beda cara kita dan mereka memandang pohon beringin itu, manusia tak punya hak untuk mencabut hidup makhluk lain dengan semena-mena.”

Kisah diakhiri dengan proses musyawarah setelah sebelumnya kembali diwarnai pertumpahan darah lantaran para pengikut yang terbakar emosinya. Raden Paku yang lantas berjuluk ‘Sunan Giri’ hidup berdampingan dengan pandita kapitayan, Ki Waru. Mereka saling menghormati, terlebih di saat hendak beribadah.

Di bagian paling akhir, Ratih lantas mengingatkan pembaca kembali bagaimana Jaka Samudra ditemukan. Bayi yang ternyata belakangan terungkap sebagai berdarah biru karena merupakan anak seorang putri raja.

Di sini, Ratih juga tidak memberi penghakiman. Ia justru mengajak pembaca untuk berpikir. Apakah Dewi Sekardadu, sang ibu, yang melarung Jaka Samudra ke laut, atau justru patih kerajaan yang melakukannya, dan Dewi Sekardadu menjadi penyelamat.

Ada salah satu kemungkinan yang diberikan Ratih, apakah tidak mungkin jika Dewi Sekardadu lah yang menahan laju kapal sehingga peti bayi Jaka Samudra ditemukan dan nasib kemudian membawanya ke pelukan Nyai Ageng Pinatih? Bukankah kekuatan semacam itu hanya dimiliki seorang ibu? (M-2)

 

Judul: Saga dari Samudra

Penulis: Ratih Kumala

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun: Mei 2023

Hal: 193

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat