visitaaponce.com

Peneliti Temukan Teknologi Implan Otak untuk Bantu Orang Bisu Bicara

Peneliti Temukan Teknologi Implan Otak untuk Bantu Orang Bisu Bicara
Ilustrasi AI(Freepik)

KECERDASAN buatan atau Artificial Intelligence (AI) telah diadaptasi di banyak sektor, termasuk bidang kesehatan. Terbaru, implan otak berbasis AI yang memungkinkan pasien tuna wicara atau bisu bisa mendapatkan kembali kemampuan bicaranya.

Implan otak berhasil mengembalikan kemampuan berbicara seorang yang lumpuh dan bisu. Prosedur ini menanamkan empat kotak kecil berisi 64 elektroda mikro yang dibuat dari silikon dan dapat mentransmisikan gambar di otak. 

Tindakan ini baru saja dilakukan oleh ahli bedah dan ilmu saraf serta para peneliti dari departemen ilmu saraf Universitas Stanford pada bulan Maret tahun lalu kepada seorang pria lansia bernama Pat Bennett. 

Pria berusia 68 tahun itu adalah seorang eksekutif senior sumber daya manusia yang telah satu dekade menderita amyotrophic lateral sclerosis, yang juga dikenal sebagai penyakit Lou Gehrig, sebuah gangguan saraf akibat adanya kerusakan saraf yang mengirimkan data dari otak dan sumsum tulang belakang ke seluruh tubuh.

Penyakit ini bersifat neurodegeneratif dan menyerang neuron yang mengendalikan gerakan sehingga secara progresif mematikan gerakan hingga menyebabkan kelumpuhan. 

Pada awalnya, Pat mengalami kesulitan dalam mengucapkan kata-kata, lalu akhirnya kehilangan seluruh kemampuan untuk berbicara secara penuh. Namun, saat ini, kesulitan tersebut dapat diatasi dengan teknologi implan. 

Penelitian yang dipublikasikan di Jurnal Nature pada Rabu (23/8) itu menjelaskan metode implan dapat menembus 1,5 milimeter ke dalam korteks serebral. Alat tersebut juga dapat merekam sinyal listrik yang dihasilkan oleh area otak terkait dengan produksi bahasa. 

Sinyal yang dihasilkan dikirim ke luar tengkorak melalui seikat kabel dan diproses oleh sebuah algoritma sehingga perkataan yang diucapkan pasien bisa ditafsirkan. 

Selama empat bulan, implan tersebut menyesuaikan proses “belajar” dari otak manusia untuk menafsirkan makna sinyal dengan mengasosiasikannya pada fonem atau unit suara yang membedakan satu kata dengan kata lainnya. Selanjutnya, implan akan memprosesnya dengan bantuan model bahasa. 

“Adanya studi baru ini memungkinkan kita untuk membayangkan sebuah masa depan, di mana kita dapat memulihkan dan menafsirkan kembali percakapan secara lancar dengan seseorang yang mengalami kelumpuhan dan bisu,” kata Frank Willett, profesor Stanford dan salah satu penulis studi, seperti dilansir dari CNN pada Kamis (24/8).

Melalui penggunaan mesin antarmuka otak-komputer (BCI), Pat Bennett dapat berbicara melalui layar dengan kecepatan lebih dari 60 kata per menit. Proses itu kurang dari 150 hingga 200 kata per menit untuk percakapan standar, tetapi masih lebih dari tiga kali lebih cepat daripada angka sebelumnya yang dibantu oleh mesin dari tahun 2021.

Baca juga: Aktris Bisu Tuli Marlee Matlin Masuk Dewan Gubernur Academy

Selain itu, tingkat kesalahan untuk kosakata sebanyak 50 kata telah turun menjadi di bawah 10% dari sebelumnya 20%. Selanjutnya, tes kedua dijalankan oleh ketua bedah neurologis di University of California San Francisco, Edward Chang dan timnya menggunakan perangkat yang bertumpu pada strip tipis 253 elektroda yang ditempatkan pada bahan kortikal.

Percobaan tersebut terbukti memiliki akurasi dengan sistem tim Stanford dalam memperoleh rata-rata 78 kata per menit, atau lima kali lebih cepat dari sebelumnya.

“Ini merupakan lompatan besar bagi pasien, yang lumpuh sejak menderita pendarahan batang otak. Sebelumnya, dia hanya mampu berkomunikasi dengan maksimal 14 kata per menit, melalui teknik yang mengandalkan penafsiran gerakan kepala,” ujar Chang. 

Akan tetapi, lanjut Chang, pada kedua tes ini, tingkat kesalahan meningkat menjadi sekitar 25% ketika pasien menggunakan kosakata yang mencapai ribuan kata.

Keistimewaan dari sistem ini didasarkan pada analisis sinyal yang dipancarkan tidak hanya di area otak yang secara langsung terkait dengan bahasa, tetapi juga secara lebih luas di korteks sensorimotor. Hal itu mencakup area sensorik dan motorik utama otak dan mengaktifkan otot-otot wajah dan mulut untuk menghasilkan suara.

“Sekitar lima sampai enam tahun yang lalu kami benar-benar mulai memahami pola listrik yang memunculkan gerakan bibir, rahang, dan lidah untuk memungkinkan kami menghasilkan suara spesifik dari setiap konsonan dan vokal serta kata-kata,” kata Chang.

Antarmuka otak-mesin yang dijalankan tidak hanya menghasilkan bahasa dalam bentuk teks, tetapi juga melalui suara sintetis dan avatar yang mereproduksi ekspresi wajah pasien ketika mereka berbicara.

“Bicara bukan hanya tentang mengomunikasikan kata-kata saja, tetapi juga siapa kita, suara dan ekspresi pun merupakan bagian dari identitas kita,” ungkap Chang.

“Tim peneliti sedang berusaha untuk membuat versi nirkabel dari perangkat yang akan memiliki implikasi mendalam bagi kemandirian dan interaksi sosial pasien,” ujar David Moses, salah satu penulis studi dan asisten profesor bedah saraf di University of San Francisco.(M-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat