visitaaponce.com

Setelah 17 Bulan, BI Akhirnya Naikkan Suku Bunga Acuan

Setelah 17 Bulan, BI Akhirnya Naikkan Suku Bunga Acuan
Potret logo Bank Indonesia yang terpasang di pagar.(MI/Susanto)

SETELAH 17 bulan berturut-turut menahan tingkat suku bunga acuan di level 3,5%, Bank Indonesia (BI) menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin menjadi 3,75%. Itu merupakan hasil yang disepakati dalam Rapat Dewan Gubernur BI pada 22-23 Agustus 2022.

"Keputusan kenaikan suku bunga sebagai langkah pre-emptive dan forward looking. Untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi, akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi dan inflasi volatile food," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Selasa (23/8).

Penaikan suku bunga juga dilakukan untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah. Hal itu sejalan dengan nilai fundamentalnya, dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global. Apalagi, di tengah pertumbuhan ekonomi domestik yang semakin kuat.

Baca juga: Presiden Dorong Pengusaha Masuk Industri Hilir Pertambangan

Lebih lanjut, Perry menekankan bahwa berbagai respons dan kebijakan untuk memperkuat pemulihan akan terus dilakukan melalui bauran kebijakan Bank Sentral. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Juli 2022 tercatat sebesar 4,94% (yoy), lebih tinggi dibandingkan inflasi pada bulan sebelumnya sebesar 4,35% (yoy).

Kemudian, inflasi kelompok pangan bergejolak (volatile foods) tercatat sangat tinggi mencapai 11,47% (yoy), terutama dipengaruhi oleh kenaikan harga pangan global dan terganggunya pasokan. Sedangkan, inflasi kelompok harga diatur pemerintah (administered prices) juga meningkat menjadi 6,51% (yoy), yang sejalan kenaikan angkutan udara dan harga BBM nonsubsidi. 

Baca juga: Sri Mulyani: Dana Desa Beri Dampak pada Kemajuan Desa

Sementara itu, inflasi inti masih relatif rendah sebesar 2,86% (yoy), didukung oleh konsistensi kebijakan BI dalam menjaga ekspektasi inflasi. "Ke depan, tekanan inflasi IHK diprakirakan meningkat. Didorong oleh masih tingginya harga energi dan pangan global, serta kesenjangan pasokan," pungkasnya.

"Inflasi inti dan ekspektasi inflasi diprakirakan berisiko meningkat, akibat kenaikan harga BBM nonsubsidi dan inflasi volatile food. Serta, semakin menguatnya tekanan inflasi dari sisi permintaan," tambah Perry.

Berbagai perkembangan tersebut diprakirakan mendorong inflasi pada 2022 dan 2023, yang berisiko melebihi batas atas sasaran 3% plus minus 1%. Oleh karena itu, diperlukan sinergi kebijakan yang lebih kuat antara pemerintah pusat dan daerah, beserta Bank Sentral untuk sejumlah langkah pengendalian.(OL-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat