visitaaponce.com

Inflasi Melandai, BI Disarankan Menahan Suku Bunga Acuan pada Level 5,75

Inflasi Melandai, BI Disarankan Menahan Suku Bunga Acuan pada Level 5,75%
Bank Indonesia.(MI/SUSANTO)

LEMBAGA Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM FEB UI) merekomendasikan Bank Indonesia untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan pada level 5,75%, pada pertemuan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia yang berlangsung 15-16 Februari 2023.

Alasannya dari sisi inflasi, walau masih berada di atas target BI, tetapi sudah melalui titik puncaknya dan secara konsisten menunjukkan tren penurunan yang mengarah ke level 4%.

Baca juga: IHSG Ditutup Melemah Ikuti Koreksi Bursa Kawasan dan Global

"Mempertimbangkan berbagai faktor, kami melihat BI perlu menahan suku bunga acuan di 5,75% untuk menjaga stabilitas harga dan nilai tukar sembari melanjutkan kebijakan makroprudensial tanpa mengganggu momentum pemulihan ekonomi yang terjadi saat ini," kata Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky, Rabu (15/2).

Memasuki 2023, inflasi umum masih berada di atas target Bank Indonesia (BI) sebesar 4%, selama delapan bulan berturut-turut.

Tekanan inflasi yang cukup besar di tahun lalu yang muncul dari tingginya harga komoditas, depresiasi Rupiah yang meningkatkan biaya impor, rantai pasok global yang terdisrupsi, dan naiknya permintaan seiring pemulihan dari pandemi Covid-19, telah dihadang oleh usaha pengetatan moneter secara konsisten oleh BI sejak Agustus lalu.

"Hasilnya, inflasi umum mampu turun ke 5,28% (yoy) di Januari 2023 dari 5,51% (yoy) di akhir 2022," kata Riefky.

Sejak pertengahan Januari lalu, Indonesia juga mengalami aliran arus modal masuk yang cukup deras, terhitung mencapai USD 1,95 miliar di minggu kedua Februari.

Beberapa faktor berperan dalam mendorong arus modal masuk ke Indonesia. Dari sisi eksternal, perlambatan kenaikan suku bunga oleh berbagai bank sentral, terutama the Fed, telah membatasi tingkat imbal hasil yang didapatkan investor.

Implikasinya, investor mengalihkan portofolio mereka ke aset yang lebih berisiko, termasuk instrumen finansial di negara berkembang seperti Indonesia.

Dari sisi domestik, prospek yang lebih baik terhadap kondisi ekonomi Indonesia saat ini dan masa mendatang menyusul rilis data PDB yang tumbuh di atas ekspektasi menjadi faktor penarik terhadap arus modal ke pasar keuangan domestik.

Imbasnya, imbal hasil surat utang pemerintah Indonesia tenor 10 tahun menurun dari 6,91% di pertengahan Januari ke 6,73% di tengah Februari.

Di sisi lain, imbal hasil untuk tenor 1 tahun meningkat dari 5,55% ke 5,74% pada periode yang sama; membuat yield curve yang semakin landai dan mengindikasikan bahwa investor memandang kondisi ekonomi Indonesia saat ini sudah mencapai kondisi full recovery atau pulih.

Arus modal masuk secara masif terjadi sejak pertengahan Januari, yang saat itu nilai tukar Rupiah berada di kisaran Rp 15.500, menguat hingga mencapai level Rp 14.875 di awal Februari.

Namun, dampak apresiasi akibat arus modal masuk diikuti oleh dorongan depresiasi akibat penurunan performa net ekspor seiring turunnya harga energi secara signifikan.

Secara keseluruhan, rupiah mengalami sedikit depresiasi ke tingkat Rp 15.090 di pertengahan Februari dibandingkan bulan sebelumnya.

Terlepas dari teknanan depresiasi tersebut, Rupiah telah mencatatkan performa yang cukup solid selama tahun 2023. Secara year-to-date, mata uang Rupiah telah terapresiasi hingga 2,3% (ytd), dan tercatat memiliki performa terbaik di antara mata uang negara berkembang peers lainnya, bersamaan dengan Baht Thailand.

Cadangan devisa Indonesia tercatat sebesar USD139,4 miliar di Januari 2023, meningkat sekitar USD2,17 miliar dari USD137,23 di bulan sebelumnya dan menyentuh level tertingginya dalam 11 bulan terakhir.

Lonjakan cadangan devisa didorong oleh penerbitan global bonds dan penerimaan pajak dan jasa. Jumlah cadangan devisa saat ini setara dengan 6,1 bulan impor atau 6 bulan impor ditambah pembayaran utang luar negeri pemerintah, jauh di atas standar kecukupan setara tiga bulan impor.

Besarnya cadangan devisa Indonesia dapat memberikan tambahan ruang kebijakan yang dapat diambil BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah di masa mendatang. Perkembangan terkini menunjukkan bahwa kondisi finansial dan moneter Indonesia sudah jauh lebih baik ketimbang beberapa bulan sebelumnya.

Dari eksternal, keseragaman dari langkah yang diambil oleh berbagai bank sentral dalam pengetatan moneter telah berakhir memasuki tahun 2023. Kini tingkat agresivitas kenaikan tingkat suku bunga oleh berbagai bank sentral utama dunia berbeda satu sama lain.

Walau perkembangan terkini menunjukkan beberapa bank sentral masih menaikkan tingkat suku bunga acuan, sebagian sudah menurunkan agresivitas mereka dengan menaikkan suku bunga secara lebih perlahan.

Awal bulan ini, the Fed memperlambat pengetatan moneter dengan ‘hanya’ menaikkan Fed Funds Rate (FFR) sebesar 25bps ke 4,50% - 4,75% setelah sebelumnya empat kali menaikkan suku bunganya dengan besaran 75bps dan satu kali sebesar 50bps sejak pertengahan 2022.

Namun, konsensus memperkirakan bahwa the Fed masih akan melanjutkan kenaikan suku bunga acuan seiring kondisi pasar tenaga kerja AS yang masih cukup ketat, meski inflasi sudah mulai menurun sebagai imbas dari penurunan signifikan harga energi.

European Central Bank (ECB) juga menurunkan agresivitas pengetatan moneter dengan intensitas yang masih cukup agresif menaikkan suku bunga sebesar 50bps untuk kedua kalinya ke 2,5%. Ini dilakukan sebagai antisipasi terhadap tingkat inflasi yang masih cukup tinggi di tengah jatuhnya harga energi. Langkah itu menyusul dua kenaikan suku bunga sebesar 75bps yang telah diambil sebelumnya.

Bank of England (BoE) belum menurunkan tingkat agresivitas pengetatan moneter dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50bps di Februari 2023 ke 4%, mencapai titik tertinggi sejak tahun 2008. (OL-6)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Astri Novaria

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat