Melankolis, Malas Gerak Tanda Bipolar
![Melankolis, Malas Gerak Tanda Bipolar](https://disk.mediaindonesia.com/thumbs/800x467/news/2018/04/4d5d9548c02700c0eec5330e5efd3df9.jpg)
SEJAK masih sekolah taman kanak-kanak (TK) Hanah Halfikih sudah sering berhalusinasi. Ia juga kerap mengalami dua suasana hati, yakni depresi dan gembira yang tidak terkendali.
Keadaan itu membuat dia berontak dan akhirnya sering berada di luar rumah. Namun, saat berada di luar rumah pun ia tetap merasa tersiksa, bahkan pada puncaknya ia ingin bunuh diri.
Seiring dengan berjalannya waktu, tepatnya saat duduk di SMA, dokter pun memvonis perempuan yang akrab disebut Hanah Madness itu menderita gangguan bipolar. Sejak itu, Hanah yang kini menekuni dunia visual artistik menjalani terapi dan sejumlah pengobatan. Bahkan sampai saat ini ia tidak berhenti menjalani terapi.
Baca juga: Ini 5 Sumber Makanan yang Bisa Meredakan Depresi
“Makin parahnya lagi, keluarga di rumah tidak cukup punya pemahaman apa itu gangguan bipolar,” kata Hanah dalam testimoninya pada seminar peringatan Hari Bipolar Sedunia, di Jakarta beberapa waktu lalu.
Ia mengaku masih mendapatkan banyak stigma atau anggapan negatif dari masyarakat bahwa ia orang gila. “Seharusnya, orang terdekat kita merangkul orang dengan bipolar (ODB), bukan malah mengecap gila. Dari situ kami bisa diarahkan untuk sesuatu hidup yang normal,” lanjut Hanah yang memilih penyaluran bakat positif melalui seni dan bermeditasi.
Dari proses menekuni seni itu, Hanah kemudian mendapat banyak apresiasi dari dalam maupun luar negeri. “Apresiasi itu sangat membantu saya untuk perlahan-lahan sembuh. Termasuk orang terdekat yang sangat bisa memahami saya. Intinya beri kami lingkungan yang positif saja pasti akan lebih baik,” pungkas Hanah.
Baca juga: Ini Tanda-tanda Dini Gangguan Mental OCD
Peran keluarga penting
Di acara terpisah Kepala Instalasi dan Rehabilitasi Psikososial RS Marzoeki Mahdi, Lahargo Kembaren, mengatakan kehadiran keluarga dan warga sekitar untuk mengetahui ciri dan gejala ODB sangat penting. ODB umumnya tidak mengetahui dirinya mengalami gangguan tersebut.
“Perubahan suasana hati di bipolar sangat signifikan atau ekstrem sekali. Mereka bisa tiba-tiba berubah tanpa tahu bagaimana atau seperti apa keadaannya. Bahkan kadang tanpa ada pemicunya. Jadi, harus orang sekitar yang punya awareness,” tambahnya, dalam seminar di Kemendikbud, Jakarta, Sabtu (7/4).
Jadi, lanjut Lahargo, bila ada anggota keluarga yang sudah memiliki gejala melankolis, enggan bergerak, hingga perubahan suasana hati yang ekstrem dalam jangka waktu lama, ia harus segera mendapatkan penanganan.
Baca juga: Bisa Beri Perhatian Positif untuk Orang Lain, Satu Tanda Sehat Mental
“Bila tidak, berbagai kendala dapat dialami ODB. Mulai dalam bekerja, bersosialisasi, hingga potensi bunuh diri.”
Dikatakan Lahargo, meski lebih banyak diderita pada usia remaja hingga usia peralihan menuju dewasa, bipolar sebenarnya dapat diderita semua usia, mulai anak-anak hingga lansia. ODB berisiko untuk melakukan bunuh diri meningkat sampai 15 kali lipat pada mereka yang tidak mengalaminya.
Gangguan Bipolar, sambungnya, bersifat seumur hidup. Namun, terapi obat yang tepat serta dukungan orang-orang terdekat dapat membantu ODB mendapatkan kembali kendali mood mereka.
Di tempat yang sama, pembicara lain dalam diskusi, Manajer Indonesian Institute Yossa Nainggolan, mengatakan stigma pada orang dengan bipolar (ODB) hingga sekarang masih tinggi di Indonesia.
“ODB merupakan penyandang disabilitas, ada di undang-undang (UU No 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas). Sampai sekarang masih banyak warga yang anggap ODB adalah orang gila, sakit, tidak mampu bekerja dan mengenyam pendidikan normal.”
Baca juga: Brrrr... Ini Alasan Mandi Air Dingin Sangat Dianjurkan
Stigma tersebut, lanjut Yossa, sangat keliru. ODB tetap dapat bekerja, sekolah, dan berkarya bila mereka mendapatkan penanganan yang tepat.
Menurut data WHO pada 2017, terdapat 60 juta penderita gangguan bipolar di seluruh dunia. Di Indonesia, belum ada data pasti karena banyak ODB tidak menyadari kondisi mereka dan tidak didukung dengan lingkungan yang memahami bipolar.
Namun, pada 2017 RS Cipto Mangunkusumo Jakarta memperkirakan jumlah ODB berkisar 1%-3,5% dari populasi orang dewasa. Sebanyak 15% di antaranya berakhir dengan bunuh diri.
Dikatakan Yossa, dukungan terhadap pasien dengan gangguan bipolar juga masih minim. Hanya 30% dari 9.000 puskemas di seluruh Indonesia yang memiliki program layanan kesehatan jiwa. (Ths/X-7)
Terkini Lainnya
Peran keluarga penting
Ini yang Harus Dilakukan sebelum Suntik KB
UNRWA Buka Kembali Pusat Kesehatan di Khan Younis
6 Hewan yang Mampu Deteksi Penyakit di Tubuh Manusia
9 Manfaat Buah Pisang bagi Kesehatan Tubuh
Jarang Dibahas, Kesadaran Kesehatan Mental bagi Kaum Pria Penting untuk Ditingkatkan
Udara Buruk Jakarta Picu Depresi Anak-Remaja di Masa Mendatang
Polusi Udara Bisa Picu Depresi dan Rusak Kesehatan Mental
Banyak Dipengaruhi Gawai, Ajak Anak dan Remaja Berinteraksi Langsung Jaga Kesehatan Mentalnya
Tingginya Angka Bunuh Diri pada Pria: Mengapa Kesehatan Mental Pria Sering Diabaikan?
Studi HCC: 7 dari 10 Ibu di Indonesia Alami Mom Shaming
Setelah Menang Presiden, Pezeshkian Kini Menghadapi Jalan Terjal
Grand Sheikh Al Azhar: Historis dan Misi Perdamaian Dunia
Kiprah Politik Perempuan dalam Pusaran Badai
Program Dokter Asing: Kebutuhan atau Kebingungan?
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap