visitaaponce.com

Kasus Kehamilan Remaja Cukup Tinggi, PKBI Multifaktor dan Sistemik

Kasus Kehamilan Remaja Cukup Tinggi, PKBI: Multifaktor dan Sistemik
Seorang anak membawa poster saat aksi peringatan Hari Perempuan Internasional di Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (8/3/2020).(ANTARA/ARNAS PADDA)

FERTILISASI remaja menjadi isu yang menjadi perhatian baik di tingkat nasional maupun internasional. Pemerintah masih melihat kehamilan dan melahirkan pada usia remaja sebagai suatu permasalahan yang harus diatasi. Melahirkan pada usia remaja dapat mengarah pada rendahnya tingkat pendidikan. Pada tingkat internasional, kehamilan remaja juga menjadi permasalahan yang pelik baik di negara berkembang maupun di negara-negara maju.

Penduduk usia remaja (10-19) pada tahun 2016 mencapai 1.2 miliar dan di proyeksikan akan terus meningkat. Secara global sekitar 16 juta wanita berusia 15-19 tahun melahirkan setiap tahunnya (UNFPA, 2016) and meningkat menjadi 19 juta per tahun nya di tahun 2035.

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Bali Ni Luh Eka Purni Astuti menyebut isu pernikahan dini dan kehamilan remaja menjadi konsen pemerintah saat ini. Namun nyatanya kasus kehamilan remaja cukup tinggi akibat multifaktor dan sistemik.

Baca juga:  Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Meningkat, Pemerintah Diminta Hadir dalam Pemulihan Korban

Baca juga: Obat Modern Asli Indonesia Masuk JKN, Solusi Kemandirian Farmasi Nasional

“Saya melihat pemerintah sudah menaruh perhatian terhadap isu kehamilan remaja maupun perkawinan anak di Indonesia. Cuma question-nya, bagaimana implementasinya sekarang? dan ternyata kasus-kasus terkait kehamilan remaja masih tinggi,” kata Ni Luh dalam diskusi Rutgers WPF Indonesia dilansir, Jumat (25/2)

Adapun 2 dari 3 perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun hamil pertama kali juga usia di bawah 18 tahun. Secara global termasuk di negara berkembang, lanjut Ni Luh sekitar 12 juta remaja usia 15-19 tahun dan setidaknya 777.000 remaja usia di bawah 15 tahun melahirkan per tahun.

“Presentase remaja yang hamil pada tahun 2018 sebesar 16,67% berdasarkan indeks Pembangunan Pemuda Indonesia,” sebutnya.

Dia memamparkan bahwa perkawinan remaja juga didasari oleh tingginya angka kehamilan remaja itu sendiri.

“Tinggi sekali presentasenya, remaja yang hamil akan menikah dan sebaliknya, remaja yang dinikahkan pasti akan hamil,” tuturnya.

Permasalahan kehamilan remaja ini multifaktor dan sistemik tentunya harus diatasi dengan solusi yang sistemik. Menurutnya, dari pencegahan melalui pendidikan edukasi seks, hingga layanan profider yang tidak stimatik atau mengakomodir kebutuhan remaja tersebut.

“Memang masih banyak PR kita mengenai informasi kesehatan reproduksi yang komprehensif. Saya yakin ini bisa berhasil. Tidak tahun ini, mungkin 10 tahun ke depan,” terangnya.

Terkait pengetahuan kesehatan seksual dan reproduksi, hasil penelitian dari Kisara di 3 kabupaten meliputi Denpasar, Bangli dan Jembrana bahwa secara konsisten remaja memiliki pengetahuan yang baik mengenai purbetas dan hanya sedikit yang memahami risiko perilaku seksual.

“Menariknya hanya sedikit yang tahu proses reproduksi seperti mengelola dorongan seksual maupun kehamilan, dan bagaimana proses kehamilan,” paparnya.

Senada juga disampaikan Field Officer Power to You(th) Lombok Riki Ramdani kehamilan remaja identik dengan perkawinan anak. Dimana menikah pada usia kurang dari 19 tahun sesuai dengan UU No 16 Tahun 2019.

“Kehamilan remaja, ialah anak dengan kondisi usia di bawah 18 tahun,” sebutnya.

Proporsi perempuan usia 10-19 tahun pernah hamil 58,8 persen dan 25,2 persen sedang hamil di Indonesia sesuai dengan Riskesdas 2018. Oleh karena itu, tren kehamilan remaja membuat Indonesia berada di peringkat kedua perkawinan anak tertinggi di ASEAN.

“Ternyata kehamilan remaja itu identik adanya perkawinan anak. Mencari data kehamilan remaja lumanyan sulit tetapi kita bisa melihat Riskesdas, karena adanya informasi kunjungan kehamilan berdasakan umur,” tuturnya.

Selanjutnya, tren kehamilan remaja di wilayah Jawa Barat yakni pada tahun 2019 sebanyak 21.499 remaja usia 16-19 tahun menikah dan 56,92% pernah hamil serta 26,87% sedang hamil.

Jawa Timur sebanyak 302.684 mengajukan dispensasi perkawinan, dengan proporsi perempuan usia 10-19 tahun pernah hamil 52,33% dan 22,02% sedang hamil.

Di NTB ada 56,23% perkawinan usia 15-19 tahun di Lombok Tengah dan 53,15% di Lombok Timur pada tahun 2020. Proporsi perempuan usia 10-19 tahun pernah hamil 67,03% dan 30,80% sedang hamil.

“Memang secara gambaran ini membuat kita harus menyuarakan isu ini agar bisa ditekan,” lanjutnya.


Prihatin

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA), Bintang Puspayoga menyampaikan keprihatinannya menanggapi pemberitaan terkait 3 daerah di Indonesia dengan jumlah pelajar hamil di luar nikah terbanyak, bahkan salah satu di antaranya tercatat jumlahnya mencapai ribuan pelajar hamil di luar nikah.

Bintang mengungkapkan meningkatnya jumlah pelajar hamil di luar nikah disebabkan karena banyak faktor, mulai dari faktor ekonomi, sosial, hingga pandemi covid-19 yang sampai saat ini masih berlangsung. Tiga daerah yang ramai diberitakan itu ialah Tangerang Selatan, Jogjakarta, dan Madiun.

"Saya sangat prihatin dengan meningkatnya jumlah pelajar yang hamil di luar nikah pada 3 kota di Indonesia yang mana termasuk dalam praktik perkawinan anak," kata Bintang dalam keterangan, Kamis (17/2).

Pemerintah, lanjut Bintang, tentunya tidak tinggal diam dengan fenomena perkawinan anak yang sampai saat ini masih terjadi. Perlu memperkuat komitmen pelaksanaan kebijakan pencegahan perkawinan anak yang tentu membutuhkan keterlibatan banyak pihak mulai dari peran Kementerian/Lembaga, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, mitra pembangunan lainnya termasuk anak itu sendiri untuk mendorong pemenuhan hak anak dan perlindungan anak.

Baca jugaPos Indonesia Siap Salurkan Bantuan Sosial Sembako untuk 18.8 Juta Keluarga

Baca jugaPenggunaan Kontainer sebagai Drive Thru Swab Test Kian Marak

Bintang mengungkapkan kementeriannya bersama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinas PPPA) setempat dan stakeholder akan mengawal kasus perkawinan anak yang terjadi ini serta melakukan serangkaian penanganan mulai dari memperkuat kembali proses mainstreaming di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah melalui regulasi Perpres No.25 Tahun 2021 tentang Kebijakan Kabupaten Layak Anak (KLA) dan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak serta Desa/Kelurahan Ramah Perempuan dan Peduli Anak.

"Selain itu, kami juga akan melakukan optimalisasi pengintegrasian dalam Satuan Pendidikan Ramah Anak dan melibatkan Fasilitator Nasional serta akreditasi dan bantuan operasional," terang Bintang.

Kemen PPPA juga mendorong diterbitkannya Fatwa Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) terkait anak yang hamil di luar perkawinan untuk tidak dinikahkan. Hal ini juga sejalan dengan proses permohonan dispensasi kawin yang tidak serta merta anak yang hamil akan dikabulkan oleh Pengadilan Agama untuk dapat menikah.

Sejalan dengan hal tersebut, KemenPPPA telah diberikan amanat untuk menjalankan 5 arahan prioritas oleh Presiden Jokowi, salah satunya mencegah perkawinan anak.

KemenPPPA juga telah menjalankan program-program prioritas yang sejalan dengan arahan Presiden yang tercantum dalam Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dengan tujuan meningkatkan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing yang di antaranya memiliki target mengurangi perkawinan anak dari 10,44 % pada 2021 menjadi 8,74% pada 2024.

Komitmen ini diikuti dengan diterbitkannya Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) 2020 yang dicanangkan pemerintah pada Februari 2020 yang bertujuan untuk mengurangi perkawinan anak dari 10,44 % Tahun 2021 menjadi 6,9% pada 2030 untuk perempuan usia 20-24 yang menikah sebelum usia 18 tahun.

Telah banyak upaya dilakukan dalam menghentikan praktik perkawinan anak, salah satunya adalah lahirnya kebijakan perundang-undangan yang sangat progresif yakni Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada tanggal 16 Oktober 2019

Selain itu, Mahkamah Agung secara progresif juga telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.

"Perma tersebut saat ini menjadi aturan dasar bagi para hakim yang mengadili perkara dispensasi kawin. Dalam implementasinya, pemerintah daerah dalam hal ini Dinas PPPA sebagai pengampu yang membidangi urusan perempuan dan anak, banyak diminta oleh Pengadilan Agama untuk memberikan rekomendasi bagi pemohon dispensasi kawin,” pungkasnya. (H-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat