visitaaponce.com

Sumber Pendanaan FoLU Net Sink 2030 dari Swasta Masih Minim

Sumber Pendanaan FoLU Net Sink 2030 dari Swasta Masih Minim
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya(ANTARA/FIKRI YUSUF)

UNTUK melaksanakan aksi mitigasi di sektor forest and land use (FoLU) guna mencapai target penyerapan karbon bersih atau net sink pada 2030 mendatang, pemerintah terus mengupayakan berbagai instrumen pendanaan.

Dalam dokumen Operasional Indonesia FoLU Net Sink 2030, pemerintah telah mengestimasi bahwa pembagian dana untuk mencapai target tersebut terbagi dua. Yakni 45% dari pemerintah dan 55% dari pihak swasta.

Namun demikian, saat ini bandingkan dengan sumber pendanaan dari pemerintah, pembiayaan dari swasta untuk aksi mitigasi sektor kehutanan masih sangat minim dan didominasi oleh kegiatan komersial dan produk kehutanan.

Baca juga: Jalan Panjang Advokasi Masyarakat Sipil Pengesahan RUU TPKS yang Berpihak pada Korban

Baca juga: Peminat Satra Ramaikan Diskusi Daring soal Sastra dan Kebudayaan Lembata

"Namun, minimnya kontribusi swasta juga dapat dikarenakan ketidaktersediaan informasi pembiayaan dari swasta akibat sistem pengumpulan data yang belum terintegrasi," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dalam dokumen Operasional Indonesia FoLU Net Sink 2030, dikutip Senin (4/4).

Seperti diketahui, dengan menggunakan standar biaya aksi mitigasi sektor FOLU yang tercantum dalam dokumen peta jalan implementasi NDC, total biaya daur hidup yang dibutuhkan untuk kegiatan mitigasi LTS-LCCP menuju net sink untuk periode 2020-2030 diproyeksikan sebesar Rp204,02 triliun atau Rp18,55 triliun per tahun.

Total kebutuhan biaya tersebut masih jauh di atas ketersediaan dana yang dihitung dari proses tagging pendanaan RPJMN untuk kegiatan mitigasi 2020-2024, yakni sebesar Rp. 19,61 triliun atau Rp3,92 triliun per tahun.

Baca juga: Berbuka Puasa dengan Kelapa Muda dan Teh untuk Jaga Kesehatan

Jadi, dalam mencapai skenario LCCP yang paling ambisius, terdapat kesenjangan dana untuk kebutuhan aksi mitigasi hingga Rp74 triliun atau Rp14,8 triliun per tahun.

Namun, Siti meyakini banyak skema potensial yang dapat digunakan untuk melibatkan pihak swasta, seperti ekuitas, utang swasta, CSR, obligasi hijau, asuransi, kredit mikro, dan lainnya.

Adapun, opsi yang dapat dilakukan adalah dengan mempertimbangkan skema jaminan yang fungsinga menanggung pembagian risiko agar dapat mendorong invesatasi swasta terkait perubahan iklim di sektor kehutanan.

Pendanaan melalui Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) juga menjadi alternatif pendanaan yang potensial, mengingat potensi dukungan BPDLH dalam upaya membangun lingkungan melalui skema small grants, investasi dan capacity building bagi masyarakat dan bagi aparat pemerintah.

"Pada saat ini, BPDLH telah selesai tahapan untuk penetapan Lembaga penyalur pendanaan," imbuh Siti.

Selain sumber pembiayaan swasta dan pemerintah, eksplorasi terhadap potensi sumber lain juga harus dilakukan, misalnya Payment for Ecosystem Services (PES) yang sudah banyak dikaji dalam berbagai studi.

Perlindungan terhadap ekosistem dengan jasa regulasi penting, yang didukung oleh kebijakan dari pemerintah pusat dan daerah, dapat dijadikan dasar penentuan pembayaran dari skema PES.

"Namun dalam mengidentifikasi sumber pendanaan lain, perlu dilakukan analisis kelayakan terkait besar potensi pendanaan dan ketersediaan dana yang akan berkaitan erat dengan potensi keberlanjutan program," ungkap dia. (H-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat