visitaaponce.com

Memperluas Pasar lewat Platform Digital

Memperluas Pasar lewat Platform Digital
Produk Toko Kopi Gayo.(Dok. Toko Kopi Gayo)

IWAN Aramiko, pemilik Toko Kopi Gayo, sudah merintis bisnis kopinya sejak dirinya berada di semester akhir kuliah. Saat itu para dosen di kampusnya memang mendorong para mahasiswanya untuk bisa membuka bisnis dan punya jiwa wirausaha.

Iwan pun kemudian berkaca dari latar belakangnya. Ia lahir dan besar dari wilayah penghasil kopi di Aceh Tengah, tepatnya di Takengon. Dia pun kemudian mendirikan Toko Kopi Gayo. Salah satu yang dilihat Iwan saat itu ialah kopi gayo yang memang sudah dikenal luas, kerap kali cuma tersedia untuk pasar internasional. Sementara itu, masih belum terlihat bisnis skala rumahan yang mengolah kopi gayo dengan produk kemasan yang ditujukan bagi para pembeli di dalam negeri.

“Dulu, kopi gayo arabika yang specialty itu kan kebanyakan ya buat orang di luar Aceh. Sementara itu, kami kebanyakan ya konsumsinya robusta. Awalnya memang saya tidak menjual langsung dalam bentuk kemasan. Dulu masih dalam bentuk bahan baku (green beans),” kata Iwan Aramiko bercerita mengenai titik keberangkatan bisnisnya pada medio 2012 kepada Media Indonesia melalui konferensi video, Jumat, (10/6).

Hingga kemudian bisnisnya pun berkembang dalam skala kecil. Ia membeli mesin pemanggang kopi (roaster). Modal untuk beli kala itu sekira Rp8 juta, hasil dari tabungannya dan pinjaman ke sang kakak. Dengan mesinnya itu, di fase awal ia mampu mengolah sekitar 50 kilogram biji kopi.

Kopi gayo yang sudah dipanggang itu kemudian ia kemas dalam berbagai ukuran. Di antaranya yang paling awal ialah ukuran 250 gram. Sasaran utamanya saat itu ialah toko-toko suvenir yang ada di Banda Aceh. Modal awal Iwan kala itu setidaknya kurang dari Rp20 juta.

“Sebelumnya saya belajar dulu dari salah satu NGO di Aceh yang memang punya fokus memberdayakan warga untuk belajar soal kopi, termasuk bagaimana meng­olah specialty coffee dan pengemasan. Diajari juga tentang HPP (harga pokok penjualan). Diajari bagaimana menguji citarasa kopi (cupping),” terang Iwan mengenai prosesnya belajar memproduksi kopi dengan kualitas yang terstandardisasi.


Belajar digital

Sebenarnya, sejak awal Iwan sudah merambah instrumen digital untuk bisnisnya. Kala itu, ia sempat membuat website yang mencan­tum­kan profil produk kopinya serta nomor kontak yang bisa dihubungi. Namun, seiring berjalan websitenya pun sepi. Jika mulanya banyak yang mengunjungi situs Toko Kopi Gayo, perlahan tidak ada lagi bahkan yang mengontak Iwan lewat website. Akhirnya terpaksa harus ditutup.

Di luar itu, bisnis kopinya perlahan mulai memberikan tanda baik. Dilihat dari skala produksinya yang tiap tahun meningkat. Jika awalnya cuma 50 kilogram, saat ini per bulannya setidaknya mencapai 500 kilogram kopi yang terjual.

Hal itu sebenarnya juga buah dari Iwan dalam menyeriusi ekosistem bisnis digital. Selain punya akun Instagram yang kini sudah diikuti 5,5 ribu pengikut dan juga akun Facebook, Toko Kopi Gayo juga membuka tokonya di beberapa lokapasar digital (e-commerce) seperti Tokopedia, Shopee, Lazada, dan Bukalapak.

Namun, kesadaran Iwan soal instrumen digital tidak muncul tiba-tiba. Ia sebenarnya sudah membuatkan lapak-lapak di lokapasar digital sejak 2016, berbareng­an dengan maraknya platform belanja daring tersebut. Namun, dirinya baru intensif merapikan dagangan daringnya kurun empat tahunan belakang, termasuk peng­urusan HAKI, sertifikat halal, agar produknya makin dipercaya pembeli dan mendapat rating bagus di lokapasar digital.

“Dulu ya asal daftar saja. Belum menganggap hal itu serius. Belum ada istilahnya strategi marketing, judul produknya itu bagaimana, ya asal buat saja. Belum ada ilmunya. Untuk proses ke situ, kami cari-cari referensi. Mulai belajar di Youtube, video motivasi, hingga ikut seminar,” kata lulusan D-3 ekonomi perbankan itu.

Kini impaknya pun baru dirasakan Iwan. Dengan mengandalkan platform digital, ia bisa meluaskan pasar hingga ke luar Aceh. Seperti Jakarta, Kalimantan, dan Papua. Salah satu fitur yang dimanfaatkan Iwan ialah metode fulfillment.

Dalam logistik, secara gampangnya, fulfillment merupakan gudang penyimpanan barang. Dalam praktik di ekosistem digital seperti yang diterapkan para lokapasar digital, fitur ini ialah proses transaksi ekonomi secara daring yang mencakup awal pemesanan, hingga pengi­rimannya yang dilakukan oleh pusat fulfillment. Hal ini ditempuh Iwan yang bisnisnya berada di luar pulau Jawa agar bisa menjangkau pasar yang lebih luas, dengan biaya logistik yang lebih terjangkau, serta waktu pengiriman terpangkas.

“Jadi waktu itu sempat ikut ada seminar online. Ada pemateri yang menggunakan sistem jasa fulfillment untuk sistem pengemasan barangnya yang dia jual di AS. Jadi dia dapat barang dari perajin, lalu dia kirim ke AS, dan di sana dia menggunakan jasa fulfillment. Nanti mereka yang akan bertanggung jawab untuk pengemasan dan pengiriman ke lokasi pembeli. Dari situ, menurut saya metode ini bagus buat bisnis Toko Kopi Gayo. Apa lagi saya tinggalnya jauh dari Jakarta. Saya coba cari marketplace mana saja yang punya fitur ini. Saya tanya bagaimana prosedurnya,” terang Iwan.

Gudang fulfillment Toko Kopi Gayo saat ini berada di Pancoran, Jakarta Selatan. Nantinya, pesanan-pesanan yang berasal dari Pulau Jawa akan diproses di sini. Sementara pesanan dari luar pulau Jawa, jika masuk ke sistem Toko Kopi Gayo, akan dikirim dari Takengon. 

Saat awal menggunakan fitur itu, memang belum cukup berimpak signifikan bagi bisnis Toko Kopi Gayo. Namun, kini dari sisi penjualan daringnya sudah mencapai 40% dari total keseluruhan pemasukan.

Selain dari sisi penjualan di digital, Toko Kopi Gayo memang masih mengandalkan penjualan produknya secara luring. Iwan juga masih menitipkan produk-produk kopinya ke toko-toko suvenir dan membuka kedai serta tokonya sendiri. Di samping itu, Toko Kopi Gayo juga tidak hanya berfokus pada penjualan dari sisi b2c. Iwan mengatakan saat ini dirinya juga menangani produksi untuk salah satu merek yang rerata dalam sebulannya bisa mencapai 300-600 kilogram biji kopi yang di-roasting.

“Jadi, dalam sebulan kalau ditotal sebenarnya bisa sampai 1 ton produksi biji kopi,” kata Iwan yang enggan membeberkan berapa omzetnya saat ini.
 

Tiktok

Saat ini Toko Kopi Gayo memiliki tiga karyawan produksi. Sementara untuk konten kreatif dan admin media sosial serta lokapasar digital, semua masih dipegang Iwan. Ia baru mengandalkan tenaga keahlian lepasan jika itu berurusan dengan iklan di platform digital, seperti iklan Facebook. Dalam sebulan rerata biasanya biaya yang dikeluarkan hingga Rp5 juta.

Ia kini juga memanfaatkan platform Tiktok untuk berjualan produknya, tetapi belum menggunakan akun Toko Kopi Gayo. Mereka bekerja sama dengan konten kreator sebagai afiliator. Biasanya 30% dari hasil penjualan akan masuk ke kantong si konten kreator yang mengiklankan dan menjualkan produk Toko Kopi Gayo. (M-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat