visitaaponce.com

Isi Perjanjian Bongaya, VOC, dan Kesultanan Makassar Gowa

Isi Perjanjian Bongaya, VOC, dan Kesultanan Makassar (Gowa)
Seniman alat musik tradisional kecapi Sinrili membacakan kisah tentang perjanjian Bongaya.(Antara/Dewi Fajriani.)

SEBELUM Indonesia merdeka selama kurang lebih 350 tahun, sangat banyak kerajaan di sebagian wilayah yang lakukan perlawanan buat mengusir sekian banyak tentara penjajah. Perjanjian Bongaya adalah perjanjian yang berisi pembagian kekuasaan wilayah Sulawesi Selatan antara Kerajaan Gowa-Tallo dengan VOC.

Setelah Perjanjian Bongaya diterapkan, Kerajaan Gowa-Tallo sadar kalau kebanyakan isi perjanjian merugikan pihaknya. Karena tidak terima atas perjanjian yang tidak adil ini, Kerajaan Gowa-Tallo terus melakukan perlawanan melalui perang.

Lalu apa yang dimaksudkan dengan Perjanjian Bongaya? Apa latar belakang dan isi perjanjiannya? 

Pengertian Perjanjian Bongaya

Perjanjian Bongaya ialah perjanjian perdamaian yang mengakhiri konflik antara VOC dan Kesultanan Makassar (Gowa). Perjanjian tersebut kemudian ditandatangani pada 18 November 1667 di Bungaya antara kesultanan Gowa yang di wakili oleh Sultan Hasanudin dan pihak VOC. 

Dilansir dari situr resmi Kemeneterian Pendidikan dan Kebudayaan, Kerajaan Gowa menjadi pusat perekonomian para pedagang, baik domestik maupun pedagang asing. Dengan lokasi yang strategis dan potensi alam yang melimpah, Kerajaan Gowa adalah salah satu kekuatan maritim yang dominan.

Latar belakang Perjanjian Bongaya

Latar belakang perjanjian Bongaya yakni terdapatnya peperangan yang diprakarasi perlawanan Kerajaan Gowa terhadap Belanda. Puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin. Kerajaan Gowa tidak sanggup melawan pasukan Belanda dengan senjata serta pasukan yang banyak. Dalam mempersiapkan pasukan serta strategi perang, Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangi perjanjian di wilayah Bongaya bertepatan pada 18 November 1667.

Kedua belah pihak setelah itu masing-masing mengirimkan perwakilannya. Sultan Hasanuddin dari pihak Kerajaan Gowa sebaliknya Cornelis Speelman dari pihak Belanda. Pihak Belanda dibantu oleh sekutunya ialah Aru Palaka. Perjanjian ini disebut Perjanjian Bongaya merujuk pada tempat penandatanganan isi perjanjian. Hasil dari perjanjian Bongaya bersifat sepihak sebab sangat menguntungkan pihak VOC serta merugikan pihak Kerajaan Gowa.

Dalam buku Awal Mula Muslim di Bali (2019) karya Bagenda Ali, latar belakang Perjanjian Bongaya karena perang besar-besaran yang terjadi antara Kerajaan Gowa melawan VOC. Perlawanan Kerajaan Gowa menghadapi Belanda mencapai puncak masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, putra Sultan Muhammad Said dan cucu Sultan Alaudin pada 1653-1669 Masehi. 

Selain menghadapi Belanda, Sultan Hasanuddin juga menghadapi perlawanan Aru Palakka dari Soppeng-Bone pada 1660. Akhirnya Kerajaan Gowa tidak mampu lagi menghadapi pasukan Belanda yang dilengkapi dengan persenjataan canggih dan tambahan pasukan dari Batavia. Dalam upaya keras mempersiapkan pasukan dan strategi, Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian di daerah Bongaya.

Isi Perjanjian Bongaya

Dalam perihal ini secara universal terdapat beberapa poin utama dari isi perjanjian Bongaya tersebut antara lain:

1. Seluruh pejabat dan rakyat kompeni berkebangsaan Eropa yang baru-baru ini atau pada masa lalu melarikan diri dan masih tinggal di sekitar Makassar harus segera dikirim kepada Laksamana (Cornelis Speelman).

2. Seluruh alat-alat, meriam, uang, dan barang-barang yang masih tersisa, yang diambil dari kapal Walvisch di Selayar dan Leeuwin di Don Duango, harus diserahkan kepada kompeni.

3. Mereka yang terbukti bersalah atas pembunuhan orang Belanda di berbagai tempat harus diadili segera oleh perwakilan Belanda dan mendapat hukuman setimpal.

4. Raja dan bangsawan Makassar harus membayar ganti rugi dan seluruh utang pada kompeni, paling lambat musim berikut.

5. Seluruh orang Portugis dan Inggris harus diusir dari wilayah Makassar dan tidak boleh lagi diterima tinggal di sini atau melakukan perdagangan. Tidak ada orang Eropa yang boleh masuk atau melakukan perdagangan di Makassar.

6. Hanya kompeni yang boleh bebas berdagang di Makassar. Orang India atau Moor (Muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, atau Siam tidak boleh memasarkan kain dan barang-barang dari Tiongkok karena hanya kompeni yang boleh melakukannya. Semua yang melanggar akan dihukum dan barangnya akan disita oleh kompeni.

7. Kompeni harus dibebaskan dari bea dan pajak impor maupun ekspor.

8. Pemerintah dan rakyat Makassar tidak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali, pantai Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan, dan harus meminta surat izin dari Komandan Belanda di sini (Makassar). Mereka yang berlayar tanpa surat izin akan dianggap musuh dan diperlakukan sebagaimana musuh. Tidak boleh ada kapal yang dikirim ke Bima, Solor, Timor, dan lainnya semua wilayah di timur Tanjung Lasso, di utara atau timur Kalimantan atau pulau-pulau di sekitarnya. Mereka yang melanggar harus menebusnya dengan nyawa dan harta.

9. Seluruh benteng di sepanjang pantai Makassar harus dihancurkan, yaitu Barombong, Pa'nakkukang, Garassi, Mariso, Boro'boso. Hanya Sombaopu yang boleh tetap berdiri untuk ditempati raja.

10. Benteng Ujung Pandang harus diserahkan kepada kompeni dalam keadaan baik bersama dengan desa dan tanah yang menjadi wilayahnya.

11. Koin Belanda seperti yang digunakan di Batavia harus diberlakukan di Makassar.

12. Raja dan para bangsawan harus mengirim ke Batavia uang senilai 1.000 budak pria dan wanita, dengan perhitungan 2½ tael atau 40 mas emas Makassar per orang. Setengahnya harus sudah terkirim pada Juni dan sisanya paling lambat pada musim berikut.

13. Raja dan bangsawan Makassar tidak boleh lagi mencampuri urusan Bima dan wilayahnya.

14. Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu harus diserahkan kepada kompeni untuk dihukum.

15. Mereka yang diambil dari Sultan Butung pada penyerangan terakhir Makassar harus dikembalikan. Bagi mereka yang telah meninggal atau tidak dapat dikembalikan, harus dibayar dengan kompensasi.

16. Bagi Sultan Ternate, semua orang yang telah diambil dari Kepulauan Sula harus dikembalikan bersama dengan meriam dan senapan. Gowa harus melepaskan seluruh keinginannya menguasai kepulauan Selayar dan Pansiano (Muna), seluruh pantai timur Sulawesi dari Manado ke Pansiano, Banggai, dan Kepulauan Gapi, dan tempat lain di pantai yang sama, dan negeri-negeri Mandar dan Manado, yang dulunya milik raja Ternate.

17. Gowa harus menanggalkan seluruh kekuasaannya atas negeri-negeri Bugis dan Luwu. Raja tua Soppeng (La Ténribali) dan seluruh tanah serta rakyatnya harus dibebaskan. Begitu pula penguasa Bugis lain yang masih ditawan di wilayah-wilayah Makassar, serta wanita dan anak-anak yang masih ditahan penguasa Gowa.

18. Raja Layo, Bangkala, dan seluruh Turatea serta Bajing dan tanah-tanah mereka harus dilepaskan.

19. Seluruh negeri yang ditaklukkan oleh Kompeni dan sekutunya, dari Bulo-Bulo hingga Turatea, dan dari Turatea hingga Bungaya, harus tetap menjadi tanah milik kompeni sebagai hak penaklukan.

20. Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar harus ditinggalkan oleh pemerintah Gowa dan tidak lagi membantu mereka dengan tenaga manusia, senjata, dan lainnya.

21. Seluruh laki-laki Bugis dan Turatea yang menikahi perempuan Makassar dapat terus bersama istri mereka. Untuk selanjutnya, jika ada orang Makassar yang berharap tinggal dengan orang Bugis atau Turatea atau sebaliknya, orang Bugis atau Turatea berharap tinggal dengan orang Makassar, boleh melakukannya dengan seizin penguasa atau raja yang berwenang.

22. Pemerintah Gowa harus menutup negerinya bagi semua bangsa (kecuali Belanda). Mereka juga harus membantu Kompeni melawan musuhnya di dalam dan sekitar Makassar.

23. Persahabatan dan persekutuan harus terjalin antara para raja dan bangsawan Makassar dengan Ternate, Tidore, Bacan, Butung, Bugis (Bone), Soppeng, Luwu, Turatea, Layo, Bajing, Bima, dan penguasa-penguasa lain yang pada masa depan ingin turut dalam persekutuan ini.

24. Dalam setiap sengketa di antara para sekutu, Kapten Belanda (yaitu, presiden atau gubernur Fort Rotterdam) harus diminta untuk menengahi. Jika salah satu pihak tidak mengacuhkan mediasi ini, seluruh sekutu akan mengambil tindakan yang setimpal.

25. Ketika perjanjian damai ini ditandatangani, disumpah, dan dibubuhi cap, para raja dan bangsawan Makassar harus mengirim dua penguasa pentingnya bersama Laksamana ke Batavia untuk menyerahkan perjanjian ini kepada Gubernur-Jenderal dan Dewan Hindia. Jika perjanjian ini disetujui, Gubernur-Jenderal dapat menahan dua pangeran penting sebagai sandera selama yang dia inginkan.

26. Lebih jauh tentang Pasal 6, orang Inggris, dan seluruh barang-barangnya yang ada di Makassar harus dibawa ke Batavia.

27. Lebih jauh tentang Pasal 15, jika Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu tidak ditemukan hidup atau mati dalam sepuluh hari, maka putra dari kedua penguasa harus ditahan.

28. Pemerintah Gowa harus membayar ganti rugi sebesar 250.000 rijksdaalders dalam lima musim berturut-turut, baik dalam bentuk meriam, barang, emas, perak, ataupun permata.

29. Raja Makassar dan para bangsawannya, Laksamana sebagai wakil kompeni, serta seluruh raja dan bangsawan yang termasuk dalam persekutuan ini harus bersumpah, menandatangani, dan membubuhi cap untuk perjanjian ini atas nama Tuhan yang Suci pada Jumat, 18 November 1667. (OL-14)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat