visitaaponce.com

Susanti, Penyintas yang Menciptakan Teknologi Deteksi Dini Kanker Kelas Dunia

Susanti, Penyintas yang Menciptakan Teknologi Deteksi Dini Kanker Kelas Dunia
Peneliti Susanti diapit Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dan Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jebul Suroso(MI/LILIK DARMAWAN)

PEREMPUAN berusia 39 tahun itu tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya
tatkala mendapatkan informasi dirinya terpilih sebagai finalis Early Career Entrepreneur of the Year, Cancer Research Horizon Entrepreneur and  Innovation Award 2022.

Cancer Research Horizon merupakan bagian dari Cancer Research United
Kingdom (UK) yang bergerak pada riset-riset terkemuka kanker terbesar di dunia.

"Saya terpilih menjadi finalis Early Career Entrepreneur of the Year,
Cancer Research Horizon Entrepreneur and Innovation Award 2022. Dari
undangan yang saya peroleh, acara tersebut bakal digelar di Royal
Society London pada 6 Desember mendatang. Selain saya, ada para profesor peneliti yang telah lama malang melintang di dunia riset kanker," jelas doktor lulusan The University of Nottingham, Inggris, yang kini mengajar di Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Banyumas, Jawa Tengah.

Susanti pantas bangga. Royal Society merupakan wadah para ilmuwan berkumpul. "Penghargaan ini kalau di dalam musik  barangkali setara
dengan Grammy.  Sangat membanggakan buat saya," ungkapnya saat berbincang dengan Media Indonesia pada Minggu (27/11).

Susanti juga mengenyam predikat sebagai postdoctoral Research Fellow in Medical Oncology, School of Medicine, The University of Nottingham pada Februari 2020 hingga November 2022.

Dia tidak pernah menyangka jika ikhtiarnya telah membuat dirinya melangkah jauh ke depan terutama dalam riset bidang kanker.


Kanker usus besar


Kebahagiaan itu seperti bumi dan langit jika dibandingkan dengan kondisi sewindu silam. Sebab, pada 2014, nasibnya berada di titik nadir. Itu terjadi ketika Susanti divonis kanker usus besar stadium tiga.

Susanti begitu terguncang mendengar dirinya terkena kanker usus dan
telah masuk stadium tiga. "Saya begitu shock saat  mendengarnya.
Apalagi, waktu itu saya sudah siap berangkat ke Australia untuk studi
S3. Memang, ada beberapa gejala yang saya rasakan. Di antaranya maag,
perut kembung, mules, susah BAB dan berat badan saya turun drastis," katanya.

Awalnya dia tidak terlalu peduli. Mungkin karena kesibukan, sehingga berdampak pada kesehatannya. Tetapi, lantaran mau ke Australia, suaminya meminta dia untuk memeriksakan diri.

"Dokter curiga, berat badan turun drastis dan saya sudah pucat. Benar saja, dokter menyatakan jika saya mengidap kanker usus besar stadium tiga. Mendengar itu,  bagai kena vonis kematian. Sepertinya, saya akan segera meninggal," tuturnya.

Susanti mengalami guncangan, justru karena sangat tahu soal kanker.
Pasalnya, sewaktu belajar S2 di The John Curtin School of Medical
Research, Australian National University (ANU), Australia pada
2009-2011, dia mendalami Biomedik khususnya permasalahan kanker.

"Pengetahuan mengenai kanker membuat saya mengerti bagaimana
keberhasilannya jika masuk stadium dua, tiga atau empat. Namun, itu
sudah jadi kenyataan, maka saya harus mengikuti saran dokter," jelasnya.

Di sisi lain, secara mental dan religi ada ustaz yang mendampingi. Ia
masih ingat saran dari ustaznya.

"Bahwa kita tidak boleh mendekatkan atau menjauhkan kematian. Manusia hanya berikhtiar. Saya mulai belajar menerima, mengikuti apa saran dokter," sambung Susanti.

Waktu serasa lamban, selama pengobatan dan terapi, dirinya tidak bisa
berbuat apa-apa. Bahkan, setiap hari, harus berbaring di tempat tidur dan sofa.

"Pengobatan dan terapi berlangsung sekitar dua tahun. Waktu-waktu yang
menyita energi. Beruntung bagi saya masih diberi kesempatan untuk
menjalani kehidupan. Saya harus tawakal dan banyak berdoa. Alhamdulillah, keluarga juga mendukung penuh. Pada akhir-akhir terapi,
saya tidak lupa untuk tetap membimbing mahasiswa tingkat akhir. Itu juga menjadi penyemangat saya," ujarnya.

Ikhtiarnya tidak mengkhianati hasil. Setelah berjuang selama dua tahun,
Susanti dinyatakan remisi kanker. Artinya, dokter sudah tidak lagi
menemukan adanya sel-sel kanker.

"Benar-benar merupakan mujizat Allah. Setelah dinyatakan remisi, saya
kembali mengejar impian. Di antaranya melanjutkan studi S3. Memang
awalnya mau di Australia, tetapi tidak memungkinkan. Kemudian, saya
beralih ke Inggris. Alhamdulillah, ada dua universitas yang menerima
yakni Oxford dan Nottingham. Tetapi Oxford harus secepatnya dan secara
waktu tidak memungkinkan. Hingga pilihannya jatuh pada Nottingham. Saya
juga beruntung, beasiswa dari Islamic Development Bank masih tetap
disediakan," jelasnya.


Deteksi Dini Kanker


Sebagai seorang penyintas kanker, Susanti berusaha untuk semakin
mendalami. Maka ketika menjadi mahasiswa doktoral di Nottingham, dia memilih bidang kajian onkologi, khususnya molecular pathology.

"Yang diteliti adalah fenomena kanker, khususnya usus besar. Di
Indonesia penderita kanker usus besar banyak yang berusia muda, sedangkan di UK penderitanya sudah berusia lanjut. Ini menarik, sehingga diperlukan pemeriksaan genetik. Apakah ada faktor keturunan atau tidak," ungkapnya.

Fenomena ini yang menginspirasi Susanti untuk menciptakan teknologi
pemeriksaan genetik untuk para pasien kanker, khususnya usus besar di
Indonesia. "Saya mencoba merancang teknologi dan murah, mudah, simpel
dan tepat guna. Tujuannya, agar bisa terjangkau oleh warga biasa jika ingin memeriksakan diri," ujarnya.

Adanya teknologi tersebut berguna sebagai pendeteksi dini sebelum jauh
lebih parah. Dengan diagnostik molekuler, pasien kanker usus bisa
terbantu mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kondisinya. Bila menderita kanker usus karena faktor genetik, anggota keluarga lain dapat segera mendapatkan deteksi dini untuk pencegahan.

Susanti bersama tim peneliti Nottingham for Clinical Research and
Training (NICCRAT) menghasilkan kit tes diagnostik molekuler untuk
mendeteksi kanker usus dengan biaya murah.

"Kemudian, saya bersama kolega mambangun start up PathGen Diagnostik
Teknologi. Saya juga tidak menduga jika PathGen masuk start up inkubasi
LIPI (sekarang BRIN) yang  mewakili Indonesia di ajang inovasi sosial
startup dari Extreme Tech Challenge di California, Amerika
Serikat," ujarnya.

Pengembangan PathGen diagnostik bekerja sama dengan berbagai pihak
seperti BioFarma, RS Dharmais, RSCM serta sejumlah perguruan tinggi, seperti Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, FK Universitas Gadjah Mada, FK Universitas Riau, Universitas Muhammadiyah Purwokerto dan BRIN.

"Ini adalah proyek gotong royong yang juga disokong Kedubes RI di
Inggris. Teknologi ini juga telah mendapat persetujuan badan regulasi
internasional seperti FDA (Food Drug Administration)," jelasnya.


Lebih murah

 

Teknologi deteksi itu dinamakan BioColoMelt-Dx dan telah diluncurkan
pada Juli 2022 lalu. Produk tersebut memeroleh izin edar dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) pada 1 Juli 2022 dengan No Kemenkes RI AKD20306220065 dan merupakan produk pertama diagnostic molekuler kanker yang diproduksi di Indonesia.

Cara kerja BioColoMelt-Dx untuk deteksi kanker usus besar dimulai dari
pengambilan sampel menyasar jaringan dengan menggunakan pemeriksaan
jenis polymerase chain reaction (PCR). PCR adalah pemeriksaan
laboratorium untuk mendeteksi keberadaan material genetik dari sel,
bakteri atau virus.

"BioColoMelt-Dx didasarkan pada metode deteksi perubahan atau mutasi gen berbasis PCR dengan High Resolution Melting Analysis (HRMA), sehingga  sangat mudah dikerjakan di laboratorium dengan sumber daya terbatas dan biaya terjangkau," kata penerima penghargaan Karya Anak Bangsa untuk  kategori Inventor di Bidang Farmasi dan Alat Kesehatan Tahun 2022  yang diserahkan berbarengan dengan Hari Kesehatan Nasional 3 November lalu.

BioColoMelt-Dx bisa dipakai  untuk menapis pasien kanker usus besar yang kemungkinan mempunyai kelainan genetik turunan berupa Lynch Syndrome. Khususnya pada pasien muda di bawah 50 tahun.

"Keluarga sedarah dari pasien dengan Lynch Syndrome kemungkinan tinggi
juga mempunyai kelainan genetik yang sama membuat mereka menjadi
berisiko tinggi mengidap beberapa jenis kanker termasuk kanker usus besar. keluarga dari pasien yang terduga mempunya Lynch Syndrome
dapat menjalani pengawasan yang lebih awal dalam rangka deteksi dini
sehingga timbulnya kanker dapat dicegah atau ditangani saat masih di
stadium rendah," paparnya.

Susanti mengatakan jika menggunakan kit impor, untuk satu macam gen
saja, harganya bisa sampai Rp5 juta. Namun, untuk BioColoMelt-Dx dengan
6 macam gen berkisar antara Rp2 juta hingga Rp3 juta. Memang jauh lebih
murah, namun hasilnya tidak perlu diragukan dan telah diakui dunia.

Susanti yang sudah menerima beragam penghargaan nasional dan internasional itu memberikan inspirasi bagi para  pengidap kanker. Bahwa menderita kanker bukanlah vonis kematian.

Susanti membuktikan bahwa seorang penyintas tidak menjadikannya patah arang, namun malah berprestasi. Inovasinya  memberikan asa bagi sesama, khususnya penderita kanker. (N-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Sugeng

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat