visitaaponce.com

PII Pemerintah Harus Protes Pembangunan Pulau Pangkalan Militer Tiongkok

PII : Pemerintah Harus Protes Pembangunan Pulau Pangkalan Militer Tiongkok
Peta yang menunjukkan klaim yang disengketakan di Laut Cina Selatan oleh beberapa negara, termasuk Indonesia.(dok.afp)

KENDATI status kedaulatan Laut China Selatan belum jelas dan masih menjadi sengketa beberapa negara termasuk Indonesia, China secara terang-terangan membangun pangkalan militer dan mengklaim wilayah tersebut bagian dari wilayah mereka.

Seorang jurnalis foto Filipina, Ezra Acayan, membagikan penampakan pangkalan tentara Tiongkok yang telah berdiri di laut sengketa tersebut melalui media sosial pribadinya.

Dalam akun Twitternya @Ezra Acayan, jurnalis ini membuat cuitan terkait suasana terbaru di Laut China Selatan, yang kini terlihat terdapat pulau-pulau buatan China. Pemberitaan ini sebelumnya telah dimuat oleh Radio Free Asia (RFA) yang merujuk laporan televisi China, CGTN.

Dalam laporannya, CGTN menyebut sebuah kapal rumah sakit Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) bernama Youhao, baru menyelesaikan perjalanan 18 harinya dari kawasan tersebut, dengan misi memberikan layanan medis kepada lebih dari 5.000 orang tentara.

Dari foto-foto yang diambil lalu diunggahnya, terlihat jelas lapangan terbang, gedung, fasilitas rekreasi, dan struktur lainnya terlihat di pulau buatan bernama Kepulauan Spratly yang dibangun oleh China di Laut China Selatan.

Mengetahui hal ini, Dewan Pimpinan Pusat Pelajar Islam Indonesia (DPP PII) meminta pemerintah Indonesia dan pemerintah negara-negara Asia Tenggara lainnya untuk mengajukan nota protes keras kepada China, atas tindakannya membangun pulau buatan dan pangkalan militer sepihak, di Laut China Selatan.

Wakil Bendahara Umum Dewan Pimpinan Pusat Pelajar Islam Indonesia (PII), Furqan Raka menyebut langkah China jelas merupakan ancaman terhadap kedaulatan negara-negara Asia Tenggara khususnya Indonesia.

“Perlu diingt kembali, Beijing mengklaim hampir 90% kepemilikan Laut China Selatan yang tentunya membuat Tiongkok harus berhadapan dengan sejumlah negara termasuk Asia Tenggara, seperti Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, Vietnam termasuk Indonesia di Laut Natura Utara,” kata Furqan Raka kepada wartawan, Jum’at, (18/11/2022).

“Apalagi, pembangunan pangkalan militer di pulau buatan China, dekat dengan Palawan Filiphina yang jaraknya hanya 1.295 kilometer dari Indonesia,” ungkap Furqan Raka.

Beberapa analis China menggambarkan pangkalan ini memiliki 20 pos terdepan di Kepulauan Paracel, di mana Pulau Woody adalah yang terbesar, dan tujuh di Kepulauan Spratly sebagai ‘kapal induk yang tidak dapat tenggelam’.

PLA telah memasang sensor berteknologi tinggi di Cuarteron, Fiery Cross, Gaven, Hughes, Johnson, Mischief, dan Subi Reefs. Beijing juga memasang alt citra satelit dan udara dari fasilitas ini, termasuk infrastruktur penunjang militer seperti landasan pacu, tempat berlabuh, hanggar, barak, radar, senjata angkatan laut, dan pertahanan udara.

Selain sistem peperangan langsung dan elektronik berbasis darat bergerak, PLA mendirikan sejumlah fasilitas intelijen sinyal tetap yang mencakup situs pencari arah frekuensi tinggi [Mischief Reef] dan kemungkinan situs untuk memantau komunikasi satelit asing [Fiery Cross Reef].

“Lucunya, China pernah mengklaim bahwa fasilitas di Kepulauan Spratly dibangun bukan untuk kepentingan mereka semata namun bagi negara-negara lainnya. Namun ketika ada pesawat atau kapal mendekat khususnya dalam keadaan darurat, Tiongkok jelas melarangnya,” jelas Furqan Raka.

Akan tetapi, nafsu membangun ‘kerajaan militer kecil’ di Laut China, memiliki konsekuensi besar yang harus ditanggung Beijing, setelah banyak peneliti dan ahli geomorfologis, yang mempertanyakan fisibiliti studies pulau buatan Tiongkok.

Profesor Collin Koh, Rekan Peneliti di S. Rajaratnam School of International Studies Singapura, yang menyebut pulau-pulau buatan ini dibangun dengan tergesa-gesa.

“Penilaian dampak lingkungan dan studi kelayakan struktural yang sepatutnya wajib hukumnya, disingkirkan untuk mempercepat proyek, sehingga secara  geomorfologis, pulau buatan ini tidak stabil,” kata Furqan Raka.

Dari hasil riset, kajian dan penelitian terhadap kondisi alam Laut Cina Selatan, penetrasi difusi klorida dalam beton biasa sekitar 1-2 kali lipat lebih besar daripada daerah pendinginan sedang seperti Eropa.

Kondisi alam ini membuat Beijing terkunci dalam pertempuran abadi melawan korosi laut di Laut Cina Selatan, ditambah lagi temperatur tinggi, kelembapan ekstrem, kabut garam tinggi, dan radiasi matahari secara signifikan mempercepat laju korosi.

“Belum lagi minimnya sumber air tawar disana, seolah mengisyaratkan alam semesta tidak me ridhoi pulau buatan dan berdirinya pangkalan militer di Laut China Selatan,” pungkas Furqan Raka. (OL-13)

Baca Juga: Waspadai Ancaman, PM Jepang Tambah Anggaran Pertahanan

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat