visitaaponce.com

Dua Jenderal Berseteru, Rakyat Sudan jadi Korban

Dua Jenderal Berseteru, Rakyat Sudan jadi Korban
Jenderal Abdel Fattah al-Burhan (lkiri) dan seterunya Mohamed Hamdan Dagalo.(Ashraf Shazly, AFP)

DUA gajah berseteru, pelanduk mati di tengah-tengah. Peribahasa itu kiranya tepat untuk menggambarkan nasib rakyat Sudan akhir-akhir ini. Sedikitnya, lebih dari 100 warga tewas menyusul ketegangan yang meningkat antara dua jenderal paling kuat di negara itu. Dua kubu yang masing-masing didukung oleh kekuatan tangguh itu telah berubah menjadi konflik terbuka dalam beberapa hari terakhir. 

Banyak warga sipil terjebak dalam baku tembak. “Ketika kekacauan melanda wilayah Khartoum, pada akhir pekan kemarin, peluru menghujani rumah-rumah,” kata analis kebijakan Hamid Khalafallah, yang rumahnya juga ditembaki.

“Apa pun yang terjadi, kita jangan pernah membiarkan perebutan kekuasaan antara (tentara) dan RSF (milisi yang dianggap pemberontak) ini berubah menjadi perang saudara,” cuitnya. "Ini bukan pertarungan kami, dan kami hanyalah korban."

Pada Senin malam, penduduk Khartoum dan kota-kota di seluruh Sudan masih bersembunyi di tengah bentrokan sengit antara tentara pemerintah dan seterunya yang bersaing untuk menguasai negara itu.  Jumlah korban dari warga sipil mendekati 100 namun petugas medis memperingatkan bahwa jumlah korban sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi. .

Konflik ini merupakan perebutan kekuasaan antara Jenderal Abdel-Fattah al-Burhan, panglima militer dan Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, lebih dikenal sebagai "Hemedti", yang memimpin Rapid Support Forces (RSF) , sebuah kelompok paramiliter yang memiliki banyak pengikut.

Kedua jenderal tersebut pernah bersekutu dan bersekongkol pada 18 bulan lalu untuk menggagalkan transisi Sudan menuju demokrasi. Sejak pertempuran dimulai pada Sabtu lalu, mereka kekeuh melanjutkan perang meskipun tekanan diplomatik meningkat. Mereka juga menolak gencatan senjata.

Burhan memerintahkan RSF untuk dibubarkan dan mencapnya sebagai kelompok pemberontak. Sebaliknya, Hemedti menyebut panglima militer itu sebagai seorang Islam radikal yang membantai warga sipil melalui serangan udara.

Sudan, negara kaya sumber daya alam telah lama dirusak oleh pemerintahan yang korup. Itu terjadi hanya empat tahun setelah pemberontakan yang menggulingkan diktator lama Omar al-Bashir.

Sudan juga memiliki sejarah panjang kudeta militer. Perebutan kekuasaan yang telah meletus menjadi perang terbuka adalah warisan dari kebijakan pecah belah Bashir, kata Alan Boswell, direktur Tanduk Afrika di International Crisis Group.

“Pada hari-hari terakhir rezim Bashir, dia membiarkan pasukan keamanan faksi yang sangat terfragmentasi muncul, namun sebagian agar tidak ada dari mereka yang cukup kuat untuk menggulingkannya,” jelas Boswell.

“Pertanyaannya selama ini adalah apakah para aktor bersenjata ini dapat menahan diri dari perseteruan sehingga negara menjadi stabil,” tambahnya. "Sayangnya, ketakutan terburuk tampaknya telah terjadi."

Sekutu jadi musuh

Kekacauan yang melanda Sudan berasal dari permusuhan pribadi antara dua jenderal paling kuat di negara itu dan persaingan struktural yang membuat militer harus berhadapan dengan milisi RSF.

Pada Oktober 2021, Burhan dan Hemedti sebenanya pernah bersekongkol bersama-sama mengatur kudeta, membalikkan transisi rapuh pemerintahan sipil yang telah dimulai setelah penggulingan Bashir dua tahun sebelumnya.

Burhan, seorang prajurit karier dari Sudan utara yang naik pangkat di bawah pemerintahan tiga dekade Bashir, mengambil posisi puncak. Sedangkan Hemedti, berasal dari suku Arab Rizeigat penggembala unta di Darfur, menjadi orang nomor dua. ‘Persahabatan’ mereka ditentukan oleh kepentingan dan musuh bersama: gerakan protes sipil prodemokrasi yang harus ditumpas dengan kekerasan.

"Mereka adalah sekutu ketika mereka menentang warga sipil yang ingin menjalankan pemerintahan, tetapi sejak kudeta di mana mereka berdua ambil bagian, mereka menjadi semakin berselisih karena masing-masing pihak berebut posisi," kata Cameron Hudson, seorang rekan senior dan analis Afrika. di Pusat Kajian Strategis dan Internasional di Washington, DC.

Dalam beberapa bulan terakhir, negosiasi telah dilakukan untuk membawa negara itu kembali ke jalur demokrasi. Di bawah tekanan internasional, Burhan dan Hemedti pada Desember lalu menyepakati perjanjian kerangka kerja dengan partai politik dan kelompok pro-demokrasi. Namun kesepakatan itu tidak jelas mengenai poin-poin penting yang dipersengketakan, termasuk bagaimana RSF akan diintegrasikan ke dalam angkatan bersenjata dan siapa yang akan memegang pucuk kendali. Itulah yang menurut Kholood Khair, pendiri wadah pemikir Confluence Advisory yang berbasis di Khartoum, menjadi pemicu konlik terbuka.

“Pergeseran kekuasaan itulah yang menyebabkan pembicaraan tentang reformasi sektor keamanan dan keinginan RSF diintegrasikan ke dalam tentara berakhir menjadi konflik bersenjata,” ujanya. (AFP/France24/M-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat