Australia Abaikan Hak Suku Aborigin
![Australia Abaikan Hak Suku Aborigin](https://disk.mediaindonesia.com/thumbs/800x467/news/2023/10/821c4d2bff718dbc321082d277e2689f.jpg)
PARA pemimpin masyarakat adat Australia menyerukan aksi berkabung selama satu pekan. Itu setelah hasil referendum menunjukkan mayoritas masyarakat negara itu menolak hak-hak masyarakat adat atau bangsa pertama (First Peoples) dalam konstitusi.
Lebih dari 60% warga Australia memilih tidak dalam referendum yang digelar pada Sabtu (14/10), yang merupakan referendum pertama di Australia selama hampir seperempat abad. Referendum itu menanyakan kepada pemilih apakah setuju mengubah konstitusi negara untuk mengakui hak suku Aborigin dan masyarakat Kepulauan Selat Torres melalui pembentukan badan penasihat masyarakat adat, suara untuk parlemen.
Badan penasihat itu bisa memberi masukan kepada parlemen Australia mengenai berbagai isu terkait komunitas masyarakat adat. Namun hasil referendum itu menandai kemunduran besar upaya rekonsiliasi dengan komunitas masyarakat adat di negara itu.
Baca juga: PSSI Tepis Indonesia Ditinggalkan Australia untuk Piala Dunia 2034
Ditambah lagi, hasil itu merusak citra Australia di dunia tentang bagaimana negara itu memperlakukan bangsa asli. Istilah itu merujuk kepada kelompok masyarakat yang nenek-moyangnya sudah ada di Benua Amerika atau Australia jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa.
Tidak seperti bangsa-bangsa lain dengan sejarah yang sama, seperti Kanada dan Selandia Baru, Australia belum secara resmi mengakui atau mencapai kesepakatan dengan Bangsa Pertama.
Baca juga: Indonesia Raih 6 Emas di Western Australia Parabadminton International 2023
Masyarakat suku Aborigin dan Kepulauan Selat Torres menyumbang 3,8% dari total jumlah penduduk Australia yang mencapai 26 juta jiwa dan telah menghuni negara itu selama 60 ribu tahun. Namun, komunitas itu tidak tercantum di dalam konstitusi Australia dan berdasarkan sebagian besar ukuran sosial-ekonomi.
“Ini adalah ironi yang pahit. Orang-orang yang baru menghuni benua ini selama 235 tahun menolak mengakui mereka yang sudah tinggal di tanah ini selama 60 ribu tahun dan lebih lama adalah di luar nalar,” kata para pemimpin Bangsa Pertama Australia dalam pernyataannya yang di rilis ke media sosial.
Para pemimpin Bangsa Pertama Australia mengatakan mereka akan mengibarkan bendera Aborigin dan Kepulauan Selat Torres setengah tiang untuk pekan ini dan menyerukan lainnya untuk melakukan hal yang sama.
Jade Ritchie, yang berkampanye mendukung hak masyarakat adat mengatakan seluruh orang Aborigin dan masyarakat adat harus berduka karena hilang kesempatan.
“Kita pernah punya kesempatan untuk melakukan perubahan nyata. Kesenjangan ini, ketidakberuntungan ini, pencabutan hak seluruh bagian masyarakat kita. Kita membicarakan hal ini sepanjang waktu dan pemerintah demi pemerintah mencoba untuk mengatasi masalah ini dan di sinilah kita dengan proposal yang sangat moderat dan adil serta cara praktis ke depan, tetapi itu tidak diterima," keluhnya.
Meski mayoritas warga Aborigin Australia mendukung referendum, sebagian menentangnya karena dipandang sebagai indikasi yang tidak akan membawa perubahan berarti. Warren Mundine, seorang warga Masyarakat Adat, yang mendukung penolakan referendum mengatakan kepada stasiun televisi ABC pada Minggu (15/10), bahwa dia bersyukur referendum itu gagal.
Kampanye dari oposisi kerap menakut-nakuti tentang peran dan keefektifan dewan the Voice dan mendorong orang-orang untuk memilih tidak jika mereka tidak yakin.
Perdebatan juga disertai dengan disinformasi yang menunjukkan seolah-olah Voice akan berujung pada perampasan lahan, menciptakan sistem apartheid seperti di Afrika Selatan atau bahwa bagian dari plot Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Perdana Menteri Anthony Albanese mempertaruhkan modal politik yang signifikan pada referendum hak suara masyarakat adat atau the Voice. Namun para pengkritiknya mengatakan ini adalah kesalahan terbesarnya sejak ia berkuasa pada Mei tahun lalu.
Pemimpin Oposisi Peter Dutton mengatakan referendum itu adalah pemungutan suara yang tidak dibutuhkan oleh Australia dan hanya mengakibatkan perpecahan.
Salah satu alasan terbesar kegagalan referendum itu adalah tidak adanya dukungan bipartisan. Terlebih, para pepimpin partai konservatif besar mengkampanyekan suara penolakan atau tidak.
Belum pernah ada referendum di Australia yang berhasil diloloskan tanpa dukungan bipartisan. Aktivis dan cendekiawan Aborigin, Marcia Langton, mengatakan kerja selama puluhan tahun untuk membangun rasa percaya di kalangan warga Australia telah gagal.
"Rekonsiliasi sudah mati," kata Langton kepada sebuah stasiun TV masyarakat adat. (Z-10)
Terkini Lainnya
Pemimpin Aborigin Australia Kritik Kejatuhan Referendum Hak-Hak Pribumi
Bandul Politik di Portugal Diprediksi Bergerak ke Kanan
Kudeta, Konflik, dan Krisis jadi Isu Utama KTT Afrika
Besok, Mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Hirup Udara Bebas
Kemenlu Selesaikan Lebih dari 200 Ribu Kasus WNI Selama 2014-2023
Lima Arah Kebijakan Luar Negeri Ganjar-Mahfud
Universitas Pancasila Kembangkan Dialog Pembumian Pancasila
Setelah Menang Presiden, Pezeshkian Kini Menghadapi Jalan Terjal
Grand Sheikh Al Azhar: Historis dan Misi Perdamaian Dunia
Kiprah Politik Perempuan dalam Pusaran Badai
Program Dokter Asing: Kebutuhan atau Kebingungan?
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap