visitaaponce.com

Bung Tomo, Romantisme Jenderal Kancil dari Tanah Arek

Bung Tomo, Romantisme Jenderal Kancil dari Tanah Arek
Zainal C Airlangga,(Dok pribadi)

“Andai tak ada takbir, saya tidak tahu dengan cara apa membakar semangat para pemuda untuk melawan penjajah!” (Bung Tomo).

NAMANYA Sutomo, orang menyebutnya Bung Tomo. Setiap kali Indonesia memperingati peristiwa 10 November yang kemudian dikenal dengan Hari Pahlawan, setiap kali pula Bung Tomo disebut. Tokoh berperawakan kecil yang oleh Bung Karno dijuluki Jenderal Kancil ini, adalah sang penyulut api perlawanan arek-arek Surabaya dalam upaya mengusir tentara Inggris (Sekutu) yang didomplengi Belanda dalam pertempuran Battle of Surabaya yang bersejarah itu.

Sejarawan sekaligus mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto dalam buku Pertempuran Surabaya (1986) menyebut, pertempuran Surabaya merupakan pertempuran paling menegangkan dengan semangat patriotisme tinggi bangsa Indonesia. Senada, Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia menulis pertempuran Surabaya adalah perang paling sengit pada masa revolusi. Pihak Sekutu sendiri memandang pertempuran itu laksana inferno (neraka) yang amat merepotkan.

Saat itu, kekuatan perlawanan rakyat Surabaya memperlihatkan kegigihan dalam menyerang Sekutu selama tiga minggu. Sebanyak 6.000–16.000 pejuang Republik gugur dan 200 ribu warga sipil mengungsi. Di pihak lawan setidaknya 2.000 orang terbunuh. Bahkan komandan pasukan Inggris, Brigjen AWS Mallaby pun tewas dalam pertempuran tersebut.
 
Pertempuran Surabaya meletus bermula saat pasukan Ingris atas nama Sekutu sebagai pemenang Perang Dunia II datang ke Indonesia untuk melucuti tentara Jepang dan membebaskan orang-orang Eropa yang menjadi tawanan perang. Di antara tawanan-tawanan ini terdapat orang-orang Belanda juga. Sebelum tentara Sekutu datang, orang-orang Indonesia sudah mengambil senjata-senjata dari tentara Jepang. Hal ini yang tak disukai Sekutu yang hendak melucuti senjata Jepang. Mereka mendarat di Jakarta pada 15 September 1945 dan melakuan pendaratan berikutnya ke daerah-daerah di Indonesia.

Sebelumnya, pada 24 Agustus 1945, telah terwujud kesepakatan Civil Affair Agreement antara Inggris dan Belanda. Kesepakatan tersebut berisi kemauan Inggris untuk membantu Belanda mengembalikan kekuasaan di Indonesia usai Jepang menyerah. Dengan demikian, Inggris mengikutsertakan aparat sipil Belanda bernama Netherlands Indies Civil Administration (NICA) dalam pendaratan di Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan kemarahan dan resistensi rakyat Indonesia sehingga terjadi pertempuran melawan Sekutu (Inggris) di berbagai tempat, utamanya di Surabaya.

Melalui corong Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia, Bung Tomo menggelorakan perlawanan rakyat dengan mengabaikan ultimatum pimpinan tentara Inggris, Mayor Jenderal Mansergh (pengganti Brigadir Jenderal Mallaby), untuk menyerah. “Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati! … Percayalah saudara-saudara. Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!” pekik Bung Tomo pada salah satu penggalan pidatonya, menjawab ultimatum tersebut.

Pidato Bung Tomo semakin menggila setelah terbitnya Resolusi Jihad yang dimotori oleh KH Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama) dan ulama-ulama di Jawa Timur. Pekik takbir yang mengiringi pidato Bung Tomo, merupakan saran dari KH Hasyim Asyari saat Bung Tomo sowan ke kediamannya di Tebuireng. Bagi Kiai Hasyim, hanya ada dua penggerak massa yang berpengaruh dengan suara menggelegar dan memikat, yaitu Bung Karno dan Bung Tomo.

Memang, Bung Tomo bukan satu-satunya pemimpin dalam palagan 10 November 1945 di Surabaya. Nama lain ada Jenderal Mayor R Mohammad Mangunprodjo, Kolonel Sungkono, Kolonel Djonosewojo, hingga Kolonel Moestopo. Namun, sosok Bung Tomo begitu legendaris. Selain sebagai salah satu pemimpin laskar rakyat yang pemberani, orasi-orasinya mampu menjaga moral arek-arek Suroboyo. Tujuan semua ucapannya sama: memantik keberanian melawan tentara asing yang di atas kertas jauh lebih kuat.

Sejarawan Rusdhy Husein menyebut, orasi Bung Tomo setiap hari pada pukul setengah enam sore selalu ditunggu. Orang menyemut di sekitar tiang-tiang pengeras suara yang tersebar di berbagai sudut Surabaya. Suara Bung Tomo di Radio Pemberontakan itu bahkan terdengar hingga ke Yogyakarta.

Romantisme di tengah pertempuran

Selain pejuang yang piawai berorasi, Bung Tomo juga lihai dalam menulis. Kelihaiannya itu ia tunjukkan pula ketika menulis surat cinta kepada calon istrinya, Sulistina, gadis anggota palang merah yang bertugas merawat pasukan Republik yang gugur dan terluka. Kisah itu tertuang dalam buku Bung Tomo Suamiku, yang ditulis oleh Sulistina.

Bung Tomo sebagai sosok yang terkenal berpenampilan rapi dan tampan ini, pada zamannya memang menjadi salah satu idola rakyat, termasuk sejumlah perempuan yang berebut perhatian darinya. Namun Sulistina sangat berbeda dengan para gadis itu. Gadis cantik itu cuek saja ketika Bung Tomo datang. Ia tidak sadar, Bung Tomo telah jatuh cinta kepadanya sejak padangan pertama.

"Ah kamu kok sombong temen nang aku, enggak delok aku belas, padahal liane delok aku (Ah kamu kok sombong sekali kepadaku, tidak lihat sama sekali, padahal yang lainnya melihat aku)," kenang Sulistina, menirukan perkataan bergaya suroboyoan dari Bung Tomo yang naksir berat kepadanya, seperti diceritakan Hany Akasah dalam Bung Tomo yang Heroik dan Romantis.

Perjuangan Bung Tomo menaklukkan calon istrinya tak berhenti sampai di situ. Ia lalu menuliskan surat; "Kalau ada musuh yang siap menembak, dan yang akan ditembak masih pikir-pikir dulu, itu kelamaan. Aku dikenal sebagai seorang pemimpin yang baik dan aku adalah seorang pandu yang suci dalam perkataan dan perbuatan. Pasti aku tidak akan mengecewakanmu."

Menurut Sulis, saat itu tidak banyak lelaki yang berani mendekatinya. Namun, pria kelahiran tanah Arek (Surabaya), itulah yang berani mendekatinya. "Bahkan ia berani menyatakan cintanya kepada saya. Dari sana saya menyadari bahwa di balik sosok Mas Tomo yang keras, juga memiliki sisi romantis."

Mereka kemudian memulai kisah cintanya pada Januari 1946. Namun karena kota Surabaya masih dikuasai tentara Sekutu, mereka pun bertemu secara sembunyi-sembunyi. Bung Tomo yang dikenal sebagai pemimpin pasukan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), saat itu merupakan salah satu tokoh yang diincar oleh tentara sekutu. Bahkan, karena masih diburu Belanda, usai menikah Bung Tomo harus pindah ke Yogyakarta.

Berseberangan

Bung Tomo lahir di Kampung Blauran, Surabaya, 3 Oktober 1920. Ayahnya adalah Kartawan Tjiptowidjojo dari keluarga kelas menengah. Ia pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan sementara ibunya pernah menjadi distributor lokal perusahaan mesih jahit. Masa kecilnya dihabiskan di kota kelahirannya. Setelah mengikuti jenjang pendidikan dasar, ia masuk pendidikan sekolah pertama di MULO. Pada usia 12 tahun, ia sempat keluar dari sekolahnya dan bekerja kecil-kecilan. Namun, setelah itu, ia melanjutkan sekolahnya di HBS lewat korespondensi, tapi tak pernah lulus secara resmi.

Setelah itu, Sutomo bergabung dengan Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Di sini, ia seolah mendapatkan pendidikan pengganti pendidikan formal. Ia mendapatkan kesadaran nasionalisme dan perjuangan dari kegiatan kepanduan ini. Bahkan ia menjadi anggota pandu terbaik se-Hindia Belanda dan mulai dikenal oleh banyak orang.

Selain aktif di kepanduan, Bung Tomo juga terlibat dalam dunia tulis menulis. Dia mengawali kariernya sebagai wartawan pada usia 17 tahun. Media tempatnya bekerja antara lain harian Soeara Oemoem, harian berbahasa Jawa Ekspres, mingguan Pembela Rakyat, dan majalah Poestaka Timoer. Bung Tomo pernah menjabat wakil pemimpin redaksi kantor berita pendudukan Jepang, Domei, dan pemimpin redaksi kantor berita Antara di Surabaya pada 1945.

Melalui Antara, ia menyebarkan berita proklamasi Kemedekaan Indonesia dan menggugah masyarakat untuk tetap mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih dari bangsa-bangsa asing yang ingin kembali menjajah Republik. Dia memberitakannya dalam bahasa Jawa agar tidak terkena sensor oleh penjajah Jepang.

Setelah kemerdekaan, Bung Tomo menjadi Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata (veteran) sekaligus Menteri Sosial Ad Interim (1955–1956) di era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Bung Tomo juga tercatat sebagai anggota DPR pada 1956-1959 mewakili Partai Rakyat Indonesia yang ia dirikan.

Tak hanya dikenal patriot, Bung Tomo rupanya juga sosok pahlawan yang religius. Kendati demikian, Bung Tomo adalah salah satu tokoh laki-laki di Indonesia yang paling keras menolak poligami. Dalam biografinya, Bung Tomo (2019) yang ditulis Abdul Waid, dia menilai poligami sebagai upaya laki-laki mengumbar nafsu, namun bisa merusak keutuhan keluarga. Ia bahkan pernah mengeritik Presiden Soekarno yang mengawini banyak wanita.

Pada saat Soekarno menerapkan demokrasi terpimpin, Bung Tomo berpendapat bahwa konsepsi ini terlalu dipaksakan dan belum apa-apa sudah harus diterima oleh masyarakat Indonesia. Ia juga mengritik Bung Karno dan para jenderal yang dilihatnya mengalami dekadensi moral karena melemahkan nilai keutuhan keluarga dengan beristeri lebih dari satu, dan terjebak dalam 'main perempuan'.

Setelah Soekarno jatuh dan digantikan oleh Soeharto, sikap kritis beliau tidaklah luntur. Kepada Presiden Soeharto, kritik Bung Tomo adalah seputar ‘cukongisme’ sebagai realisasi nepotisme melalui peran ekonomi yang berlebihan dari pengusaha non-pribumi. Selain itu, Bung Tomo juga mengritik keras peran asisten pribadi (aspri) yang dianggapnya sering menabrak batasan.

Semua kritik dan gugatan Bug Tomo kepada pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru itu tercatat dalam buku Bung Tomo Menggugat setebal 246 halaman yang diterbitkan pada 2008. Akibat sikap kritisnya itu, pada 11 April 1978 ia ditahan oleh pemerintah. Setahun kemudian ia dibebaskan.

Perjalanan hidup Bung Tomo akhirnya terhenti di usia 61 tahun. Dia wafat di Padang Arafah, Arab Saudi, pada 7 Oktober 1981 saat melakukan ibadah haji. Jenazahnya dibawa pulang ke Indonesia lalu dimakamkan di pemakaman umum di Jalan Ngagel, Surabaya.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat