visitaaponce.com

G-20, Pemuda dan Transformasi Digital

G-20, Pemuda dan Transformasi Digital
Budy Sugandi dan Biondi Sanda Sima.(Dok.Pribadi)

HIJAUNYA tanaman, birunya laut, dan cerahnya langit, menjadi objek pemandangan kami sepanjang perjalanan dari Zainuddin Abdul Madjid International Airport menuju lokasi Pre-summit Y20 Indonesia 2022 di kawasan Senggigi, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada 2022, NTB menjadi magnet dunia. Perhelatan berskala internasional berupa Moto-GP di Mandalika, Pre-summit Y20, dan MXGP dilaksanakan di provinsi yang indah ini.

Presidensi G-20 Indonesia 2022 mengangkat tema besar Recover together, recover stronger. Youth20 (Y20) sebagai salah satu engagement group dari G-20 membahas empat isu prioritas, yaitu Ketenagakerjaan Pemuda (Youth Employment), Transformasi Digital (Digital Transformation), Planet yang Berkelanjutan dan Layak Huni (Sustainable and Livable Planet), dan Keberagaman dan Inklusi (Diversity and Inclusion).

Y20 melakukan serangkaian kegiatan, mulai Kick-Off pada Februari 2022 hingga Summit pada Juli 2022 berupa Pre-summit yang diselenggarakan di Palembang, Lombok, Balikpapan, dan Manokwari. Untuk Summit atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) sebagai puncak kegiatan akan diadakan di Jakarta dan Bandung pada Juli 2022.

Rangkaian kegiatan ini sengaja kami buat dengan tujuan agar para delegasi dan peserta bisa melihat secara langsung kondisi dan keberagaman Indonesia, baik yang ada di wilayah barat, timur, maupun tengah. Selain itu, kegiatan ini juga melibatkan pemuda lokal, agar rekomendasi kebijakan juga memperhatikan suara pemuda dari berbagai wilayah, yang sering kali tidak diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan. Padahal, pemuda di berbagai daerah dan pelosok Indonesia relatif lebih dekat dengan masalah yang sedang dirundingkan dan akan merasakan dampak langsung dari hasil kebijakan yang diambil. Apalagi, dengan isu transformasi digital, anak muda menjadi pelaku utamanya.

Pre-summit ke-2 yang baru dilaksanakan di Lombok, 23-24 April 2022 membahas terkait salah satu isu prioritas Transformasi Digital, dengan dua subtema, yaitu peran pemuda dalam tata kelola digital dan kesadaran keuangan digital. Acara diawali dengan sambutan dari Zainudin Amali (Menpora RI), Johnny G Plate (Menkominfo RI), Erick Thohir (Menteri BUMN RI), dan Zulkieflimansyah (Gubernur NTB).

Pada saat pelaksanaan Pre-summit, gedung aula terisi penuh oleh delegasi Y20 yang mewakili negaranya, pembicara, diplomat, observer, representatif pemuda dari NTB, hingga tamu undangan. Untuk mengakomodasi pembicara dan peserta yang tidak bisa hadir langsung, acara berlangsung secara hibrida.

Transformasi digital sangat akrab dengan kehidupan kita sehari-sehari. Terutama, ketika masa pandemi covid-19 dan pascapandemi. Setidaknya hampir setiap orang memiliki smartphone. Mulai bangun tidur hingga tidur lagi, jemari tangan sangat senang berselancar di layar berbentuk persegi itu.

Berdasarkan riset Bain, Google, and Temasec (2021) dalam e-Conomy SEA 2021, di Asia Tenggara, 30% pengguna digital saat ini baru bergabung selama pandemi covid-19. Sebanyak 90% di antaranya menyatakan keinginan untuk terus menggunakan platform digital, bahkan setelah pandemi mereda. Dunia digital juga terus bertransformasi sangat cepat, dengan kemunculan artificial intelligence (AI), machine learning, internet of things (IoT), non-fungible token (NFT), blockchain, crypto, hingga metaverse.

Penggunaannya bermacam-macam. Ada yang memanfaatkannya untuk mencari informasi baru, berkomunikasi, bisnis, media belajar, hingga ada yang sekadar hiburan. Tentu tidak ada yang salah dengan itu semua selama kita mampu menggunakannya secara positif dan bijaksana. Kami teringat dengan apa yang disampaikan Gubernur NTB Zulkieflimansyah, bahwa dunia digital itu ibarat pisau bermata dua, jika digunakan dengan baik dia akan menyelamatkan, tetapi jika salah menggunakan bisa merusak. Ungkapan ini sederhana, tetapi bermakna dalam terutama bagi generasi muda yang sangat akrab dengan dunia digital. Di sinilah pentingnya peran pemerintah, orangtua, guru, hingga lingkungan dalam memberikan edukasi sehingga transformasi digital mampu menghadirkan masyarakat yang cerdas dan beradab.

Di dalam negeri, McKinsey&Co merilis bahwa kebutuhan tenaga IT di Indonesia pada 2015-2030 mencapai 600 ribu per tahun, total 9 juta pada 2030. Selain itu, Presiden Jokowi juga pernah menyampaikan bahwa kontribusi ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai Rp1.531 triliun pada 2030. Momentum presidensi G-20 harus dioptimalkan sehingga target yang dicanangkan bisa terwujud.

 

Tata kelola digital

Di dalam laporan riset (whitepaper) yang dikeluarkan Y20 Indonesia 2022 dipaparkan bahwa subtema tata kelola digital menyoroti beberapa tantangan bagi partisipasi pemuda, dalam menyiasati solusi digital terhadap tantangan seperti meningkatnya kesenjangan digital dan masalah konektivitas, kurangnya literasi dan keterampilan digital, dan munculnya masalah-masalah keamanan dan privasi.

Konektivitas masih menjadi tantangan bagi sebagian besar kaum muda. United Nations Children’s Fund (Unicef) dan International Telecommunication Union (ITU) telah menekankan bahwa meskipun lebih dari separuh penduduk dunia menggunakan internet, 63% pemuda (berusia 15-24 tahun) atau hampir 760 juta anak muda tidak memiliki akses internet di rumah dan tetap offline (Unicef and ITU, 2020).

Indonesian Youth Diplomacy, sebagai penyelenggara Y20 Indonesia 2022 bekerja sama dengan Cint, jaringan penelitian berbasis survei digital, telah melakukan survei daring pada Oktober sampai November 2021, dengan 5.700 responden anak muda berusia 16-30 tahun dari 19 negara G-20 (Argentina, Australia, Brasil, Kanada, Tiongkok, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Republik Korea, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Turki, Inggris Raya, dan Amerika Serikat).

Hasil survei menunjukkan bahwa 61% anak muda memiliki masalah dengan konektivitas internet. Termasuk, koneksi internet yang lambat dan tidak stabil serta akses internet yang mahal. Situasi kritis ini melemahkan potensi kaum muda untuk lebih berhasil di sekolah, pekerjaan, dan kehidupan di dunia yang semakin digital. Tanpa intervensi yang tepat, akan banyak anak muda yang tersisih dari partisipasi dalam tata kelola digital.

Anak-anak muda yang terkucilkan dari dunia digital akan menghadapi masalah sosial dan ekonomi jangka pendek, menengah, atau bahkan panjang. Memungkinkan bahwa ada efek generasi karena sebagian besar interaksi dan layanan publik seperti pendidikan, pekerjaan, perawatan kesehatan, dan penyebaran informasi publik disampaikan secara digital.

Kaum muda harus dibekali dengan keterampilan dan kesempatan untuk memajukan visi mereka tentang masa depan yang terhubung. Ini berarti tidak hanya hard skill seperti penguasaan perangkat digital dan program perangkat lunak, coding, data mining, dan analisis, tetapi juga kompetensi soft skill untuk berkomunikasi dan bekerja dengan orang lain menggunakan teknologi digital (Verke and EYWC, 2019).

Meskipun teknologi digital menyebar dengan cepat di kalangan pemuda dan mereka sering dianggap sebagai ‘penduduk asli digital’, ada ketidaksesuaian antara keterampilan yang dibutuhkan oleh industri dan keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan, yang merupakan tantangan yang berkelanjutan untuk pekerjaan kaum muda. Menurut ITU, mayoritas pemuda tidak memiliki keterampilan digital yang relevan untuk mengisi lowongan pekerjaan. Ini karena beberapa sekolah tidak menyediakan pelatihan digital, dan ketika mereka menyediakannya, pelatihan tersebut terkadang tidak wajib atau kurang relevan dengan perkembangan teknologi digital modern.

 

Kesadaran keuangan digital

Akses ke internet tidak selalu diterjemahkan ke dalam pertumbuhan dan keuntungan yang berarti. Berdasarkan riset World Bank, Beyond Unicorns Leveraging Digital Technology for Inclusion in Indonesia pada 2021, hanya 3% dari rata-rata enam hingga sembilan jam aktivitas daring yang menghasilkan nilai komersial, dan hanya 9% dari populasi yang terhubung secara digital yang memanfaatkan layanan keuangan digital. Minimnya akses layanan keuangan digital juga berkaitan dengan kurangnya kesadaran dan literasi. World Bank memperkirakan bahwa 59% dari populasi yang terpinggirkan secara finansial di Indonesia, tidak pernah mendengar tentang layanan ini, 45% tidak memahami manfaatnya, sedangkan 58% tidak tahu bagaimana cara menggunakannya.

Tanpa literasi keuangan yang memadai, sulit untuk mencapai inklusi keuangan. Di era revolusi digital di industri keuangan, kaum muda dapat lebih mudah mengakses berbagai layanan keuangan digital, seperti perbankan daring, pembayaran digital, layanan pengiriman uang, produk asuransi, kredit, dan manfaat pensiun. Kurangnya literasi keuangan berdampak buruk bagi kaum muda. Pemuda tanpa literasi keuangan yang kuat lebih cenderung memiliki nilai kredit yang rendah dan masalah keuangan lainnya. Mereka didorong untuk menggunakan kredit dan jatuh ke dalam utang, sedangkan mereka hidup dari gaji ke gaji, tidak menabung cukup untuk masa-masa sulit.

Faktanya, penelitian industri di AS menunjukkan bahwa 78% orang dewasa hidup dari gaji ke gaji dan lebih dari 1 dari 4 orang dewasa tidak menyisihkan tabungan apa pun setiap bulan (CareerBuilder, 2017). Kesulitan keuangan tersebut menjadi jelas terlihat selama pandemi covid-19 ketika banyak individu, termasuk kaum muda tidak siap dan tidak memiliki tabungan keuangan yang memadai untuk meredam dampak pengangguran mendadak dan penutupan bisnis.

Dalam beberapa tahun terakhir, mata uang digital dan aset kripto telah mendapatkan keunggulan yang signifikan, terlepas dari beberapa risiko dan tantangan yang melekat. Sebanyak 88 negara, saat ini dalam berbagai tahapan mempersiapkan Central Bank Digital Currency/CBDC (Atlantic Council, 2021). Dari negara-negara G-20, tiga negara—Tiongkok, Korea Selatan, dan Arab Saudi—telah mengujicobakan CBDC mereka, sembilan dalam tahap pengembangan, dan tiga lainnya dalam tahap penelitian.

Mata uang digital menawarkan manfaat yang nyata dan dianggap lebih efisien—jika dibandingkan dengan mata uang tunai. Ini memberikan akses yang lebih baik ke mereka yang tidak memiliki rekening bank, meningkatkan pengiriman uang lintas batas dan arus transaksi lainnya, dan membantu melacak dan menghentikan kegiatan penipuan dan terlarang. Ada ketakutan bahwa pelacakan semacam itu dapat mengarah pada pengawasan yang lebih ketat terhadap transaksi individu, mengingat standar keamanan yang rendah di beberapa negara yang dapat membuat pengguna terkena pelanggaran data pribadi.

Presidensi G-20 Indonesia menjadi momentum berharga bagi Indonesia untuk berbenah menghadapi tantangan global. Derasnya arus perubahan dunia digital memang tak bisa dibendung. Pemahaman yang baik dalam tata kelola digital dan kesadaran untuk menjadi manusia seutuhnya menjadi kunci agar kita menjadi masyarakat digital yang modern (maju) dan madani (beradab).

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat