visitaaponce.com

Perpustakaan dan Gerakan Kebudayaan Literasi yang Mulia

Perpustakaan dan Gerakan (Kebudayaan) Literasi yang Mulia
Ilustrasi MI(MI/Duta)

“GUBERNUR membangun perpustakaan, untuk apa perpustakaan itu? Orang sekarang tinggal buka Google,” begitu pernyataan Ridwan Bae, Wakil Ketua Komisi V DPR dalam sebuah tayangan video yang diunggah salah satu akun Facebook dan menuai kontroversi (republika. co.id, 18/8). Secara umum, isi video itu menampilkan pandangan yang mempertanyakan urgensi pembangunan perpustakaan di era teknologi informasi dan komunikasi yang sedemikian dahsyat ini. Pembangunan fisik seperti jalan, jembatan, dan bangunan (dianggap) jauh lebih penting dikedepankan jika dibanding pembangunan sebuah perpustakaan.

Pernyataan seorang legislator ini penting untuk dijadikan renungan yang perlu dijernihkan. Tatkala negeri ini sedang merayakan ulang tahun kemerdekaan ke-77, pemahaman yang tidak menempatkan pentingnya perpustakaan dalam paradigma pembangunan bangsa ialah persoalan besar.

Bagi kaum cerdik pandai yang berkesadaran, perpustakaan tidak sekadar tempat mengumpulkan sumber bacaan. Perpustakaan menyediakan kedalaman ilmu pengetahuan, yang tidak dapat diperoleh dengan mengklik layanan mesin pencari di internet. Perpustakaan ialah center of excellence tempat ilmu pengetahuan dibiakkan dengan intens. Perpustakaan ialah media penumbuhan minat membaca (dan menulis), transfer informasi dan saling berbagi ilmu pengetahuan yang murah (dan mudah).

Perpustakaan ialah poros pembinaan literasi bagi sebuah bangsa yang perlu terus hidup (dan dihidupkan). Secara umum, literasi erat hubungannya dengan proses membaca dan menulis. UNESCO mendefinisikan literasi ialah seperangkat kemampuan dan keterampilan (life skill) untuk mengidentifikasi, menempatkan, mengevaluasi, mengorganisasi dan secara efektif menggunakan dan mengomunikasikan ragam informasi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Keterampilan literatif ini ialah sebuah proses panjang dan berkelanjutan untuk menghasilkan budaya membaca (dan menulis) yang mendalam terhadap pelbagai informasi terkait dengan masalah tertentu yang menghadang.

Hari ini, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi begitu pesat. Ia hadir ke relung-relung personal setiap diri. Ledakan informasi tak ayal menjadi sebuah keniscayaan. Manusia dihadapkan pada gelembung informasi yang memerlukan kemampuan untuk memilih dan memilah. Kapasitas memilah dan memilih ini tidak akan lahir begitu saja, perlu pembiasaan yang dijalankan terus-menerus. Pada titik inilah, kemampuan literatif menemukan relevansinya.

Secara infrastruktur, sejatinya negara telah menempatkan pentingnya literasi (dan pranata perpustakaan di dalamnya) sebagai sebuah prasyarat kemajuan bangsa. Indonesia memiliki Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Ada pula Undang-undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Di setiap level pemerintahan, negara juga memiliki entitas khusus yang mengurusi perpustakaan dan ragam gerakan literasi yang gencar dilakukan hingga ke kampung- kampung.
 

 

Tantangan era digitalisasi

Perpustakaan yang tadinya ialah bangunan yang bersifat eksklusif, juga telah bergerak menjadi inklusif. Ia tidak hanya berdiri untuk ‘menunggu bola’, tapi juga variatif dengan berbagai program ‘menjemput bola’. Banyak program dikreasi untuk memikat masyarakat mengunjungi perpustakaan. Tidak hanya untuk membaca, masyarakat ditarik untuk mengikuti pelbagai acara diskusi, mendongeng, pelatihan menulis dan ragam keterampilan hidup lainnya. Serangkaian bentuk apresiasi dan penghargaan juga secara periodik diberikan perpustakaan kepada para penggiat literasi.

Dalam menghadapi tantangan era digitalisasi, perpustakaan telah berusaha meredefinisi peran sentralnya sebagai pusat peradaban literasi. Dalam konteks penyediaan akses yang lebih luas, berbagai perpustakaan di penjuru negeri juga telah masuk ke wilayah digitalisasi. Digitalisasi sumber bacaan ini, selain berfungsi sebagai sarana penyediaan informasi yang tak terbatas ruang dan waktu, juga memudahkan dan mendekatkan akses. Ini menjawab kebutuhan literasi di tengah mobilitas dan kesibukan masyarakat modern (terutama di kota-kota) yang tinggi.

Perpustakaan memerlukan adaptasi berkelanjutan menjawab tantangan zaman untuk terus menjadi motor pencapaian amanat konstitusi: mencerdaskan kehidupan bangsa. Perpustakaan perlu diposisikan sebagai lahan subur penumbuhan literasi bangsa. Ini adalah gerakan kebudayaan yang mulia. Sebagai kerja kebudayaan, program perpustakaan (dengan menggandeng elemen masyarakat lainnya) memiliki tujuan jangka panjang menjadikan tradisi literasi sebagai kebutuhan primer.

Sama halnya dengan makan-minum dan berbusana, masyarakat harus diciptakan untuk memiliki kebutuhan untuk mengonsumsi pengetahuan yang baru sepanjang hidupnya. Ketika menjadi kebutuhan, budaya baca-tulis ini harus dipenuhi setiap harinya. Nantinya, ini tidak hanya sekadar gaya hidup, tapi sudah menjadi kebutuhan hidup.

Kesadaran literasi sebagai kebutuhan hidup selaras dengan ajaran agama untuk belajar sepanjang hayat, minal mahdi ilal lahdi, dari pangkuan ibunda hingga akhir menutup mata. Proses belajar yang tekun dari berbagai sumber informasi adalah proses menemukan, mengetahui dan menginternalisasi ilmu pengetahuan. Penguasaan ilmu pengetahuan yang memadai ini akan menjadi dasar meningkatnya kualitas diri. Ujung-ujungnya, kualitas (yang salah satunya mewujud pada kompetensi di bidang yang diminati) dapat menjadi bekal menghidupi diri dan keluarganya secara berkualitas, di dunia hingga akhirat kelak.

Guna mencapai tujuan menjadi kebutuhan hidup tersebut, gerakan menyemarakkan tradisi baca-tulis perlu memperhatikan dan memberdayakan ragam kearifan lokal yang berkembang pada lokus di sekitarnya. Ketersediaan bahan bacaan dan aktivitas pembelajaran di dalam perpustakaan perlu menyesuaikan diri dengan nilai dan kebiasaan kultur setempat.

Perpustakaan perlu mendengar dan mengaplikasikan program yang secara kebutuhan memang diperlukan masyarakat setempat. Contoh sederhana adalah perpustakaan yang berada di daerah perikanan perlu hadir ke tengah masyarakat nelayan untuk menyediakan literasi yang berkaitan dengan keperluan budi daya perikanan secara berkelanjutan. Perkembangan ilmu pengetahuan di bidang tersebut perlu terus dihadirkan dan dilatihkan dalam program yang melibatkan komunitas sekitar terus-menerus. Ketika perpustakaan ini dapat dirasakan kehadirannya, maka diseminasi bidang keilmuan lainnya (di luar perikanan) dengan mudah akan menarik partisipasi masyarakat.

Aspek kebudayaan lainnya yang perlu menjadi concern perpustakaan adalah pelestarian nilai-nilai tradisi budaya setempat. Perpustakaan perlu hadir, dengan segala program dan kegiatan yang diampunya, untuk menyentuh sisi tradisi lokal yang perlu terus dihidupkan. Agenda perpustakaan tersebut bisa mengejawantah pada penumbuhan kecintaan masyarakat untuk menampilkan seni tradisi warisan budaya, baik berupa seni tari, musik, lagu, teater, sastra dan lainnya. Diskusi, pelatihan, dan penampilan berbagai karya yang melibatkan masyarakat setempat adalah ikhtiar mengukuhkan akar budaya. Pada saat yang sama, pelibatan nilai budaya yang hidup pada daerah tersebut menjadikan perpustakaan terus terhubung (relate) dengan lingkungan di mana ia hidup.

Waba’du, segala ikhtiar menggerakkan literasi bangsa ini, sekali lagi, bukanlah tugas entitas perpustakan semata. Namun, perpustakaan perlu berdiri di garda terdepan untuk menciptakan peradaban bangsa yang lebih maju. Tidak ada (kemajuan) peradaban yang tidak didukung oleh ilmu pengetahuan yang adekuat. Tidak ada ilmu pengetahuan yang kukuh yang tidak didukung oleh gerakan literasi yang mumpuni. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kekuatan untuk terus menggerakkan kerja kebudayaan yang mulia ini. Amin. Salam literasi.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat