visitaaponce.com

Observatorium dan Gerakan Ilmu

Observatorium dan Gerakan Ilmu
(Dok. Pribadi)

PANDANGAN bangsa Indonesia, khususnya warga Muhammadiyah pada 18-20 November 2022/23-25 Rabiul Akhir 1444, tertuju ke Kota Surakarta, Jawa Tengah. Di kota itu, selama tiga hari, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggelar Muktamar ke-48 dengan mengusung tema Memajukan Indonesia mencerahkan semesta. Presiden RI Joko Widodo dalam sambutannya pada Muktamar ke-47 di Makassar menyatakan, “Muhammadiyah bisa menjadi motor kemajuan.” Salah satu isu penting yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menuju Indonesia yang maju dan mandiri ialah kehadiran observatorium di lingkungan Muhammadiyah.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia halaman 794, observatorium diartikan sebagai gedung yang dilengkapi alat-alat (teleskop, teropong bintang, dsb) untuk keperluan pengamatan dan penelitian ilmiah tentang bintang dsb. Sementara itu, dalam studi astronomi Islam sering kali diistilahkan dengan ‘marshad. Aydin Sayili dalam bukunya yang berjudul The Observatory in Islam yang terbit pertama pada 1379/1960 menjelaskan perkembangan observatorium dari awal hingga era modern. Berbagai literatur lain menyebutkan rintisan pembuatan observatorium telah dimulai pada zaman Dinasti Umayyah.

 

Masa Abbasiyah 

Pada masa Abbasiyah, khususnya era al-Ma’mun, perkembangan observatorium mengalami peningkatan yang luar biasa. Pihak penguasa memberi perhatian dalam pembangunan observatorium. Khalifah al-Ma’mun membangun Observatorium Syamsiyah dekat Bagdad. Hal itu dilakukan agar ilmu astronomi Islam dan ilmu pengetahuan yang lain dapat dikembangkan lebih jauh melalui berbagai riset untuk menemukan ‘teori baru’. Menurut penuturan Raghib As-Sirjani, salah seorang tokoh astronomi Islam yang terkenal pada masa al-Ma’mun ialah Musa bin Syakir. Menurutnya pula, hadirnya peradaban Islam tetap memelihara teori ilmu sebelumnya dan melakukan koreksi melalui eksperimen yang berkelanjutan.

Pada saat itu, menurut David A King, salah satu aktivitas penting yang dilakukan para astronom ialah melakukan pengukuran koordinat geografis Kota Mekkah secara akurat agar arah kiblat Kota Bagdad dapat ditentukan. Ibn Yunus, salah seorang tokoh astronomi Islam abad 11, menjelaskan arah kiblat Kota Mesir dalam buku yang berjudul Hakimi Zij Ibn Yunus. Sementara itu, al-Khalili (1375 M/777 H) menjelaskan 3.000 arah kiblat kota-kota besar sedunia.

Selanjutnya, pada pertengahan abad ke-13, didirikan Observatorium Maragha atas inisiatif Hulagu dan dikoordinasi oleh Nashiruddin at-Tusi. Menurut Aydin Sayili, biaya pembangunan observatorium berasal dari keluarga Hulagu yang pembangunannya dimulai pada Jumadil Awal 657 H/April-Mei 1259 M. Pada abad ke-15, didirikan Observatorium Samarkand. Pembangunan observatorium itu diprakarsai oleh Timur (771-808 H/1369-1405 M) yang berusaha menjadikan Kota Samarkand sebagai pusat peradaban Islam di kawasan Timur atau diistilahkan renaissance in Islamic art. Gagasan tersebut direspons positif oleh Muhammad Turgay Ulugh yang merupakan cucu dari Timur. Ulugh Beg memiliki minat yang tinggi di bidang astronomi.

Bagi Ulugh Beg, gagasan pembangunan observatorium perlu diapresiasi karena saat itu dikotomi keilmuan kurang menguntungkan bagi kemajuan Islam. Kebetulan dia sedang menjabat sebagai gubernur di Khurasan sehingga memiliki kekuatan untuk mewujudkan impiannya, mengintegrasikan antara ‘teologi dan sains’ melalui pembangunan observatorium dan madrasah sekaligus. Kehadiran observatorium dan madrasah dijadikan jembatan untuk mendialogkan persoalan-persoalan agama dan sains. Dari sini lahirlah berbagai karya monumental. Salah satu karya terpenting yang hingga kini masih menjadi bahan kajian di bidang astronomi Islam, yaitu Zij Ulugh Beg. Observatorium Samarkand saat ini masih berdiri megah di kota Samarkand, Uzbekistan. Di bagian depan, terpasang patung besar Ulugh Beg. Pada masa pandemi covid-19, dilakukan renovasi dan tidak menerima kunjungan para wisatawan.

Tidak kalah penting pada abad ke-16 didirikan Observatorium Istanbul. Pendirian observatorium itu dilatarbelakangi pertemuan Taqi al-Din Muhammad Rashid Ibn Ma’ruf dengan salah seorang astronom terkenal ketika menjabat sebagai hakim di Mesir. Hasil pertemuan itu menginspirasi Taqi al-Din untuk membangun observatorium di Kota Istanbul. Kemudian Taqi al-Din mempersiapkan proposal yang bagus dan dipresentasikan di depan tim ahli. Akhirnya Sultan mengabulkan pendirian observatorium di Kota Istanbul. Selanjutnya pada abad ke-19 didirikan Observatorium Kandilli. Observatorium tersebut berdiri pada 1284/1868 di era Turki Usmani. Tokoh-tokoh yang berperan dalam mengembangkan Observatorium Kandilli, antara lain, Salih Zeki Bey (1280/1864-1339/1921) sebagai direktur pada 1312/1895-1317/1900 dan 1331/1913-1335/1917, Mehmed Fatin Golemen (1294/1877-1374/1955) sebagai direktur pada 1328/1910-1362/1943, dan Muhammad Muammer Dizer.

Posisi Observatorium Kandilli sangat menarik dan indah karena berhadapan dengan Selat Bosphorus. Pada 1429/2008, observatorium ini berulang tahun yang ke-140 dengan menyelenggarakan World Observatories Forum pada 2-6 Ramadan 1429/3-7 September 2008, menghadirkan berbagai narasumber, antara lain, Gulay Altay (Direktur Observatorium Kandilli), Ilber Tertayli (Direktur Topkapi Museum), Jachen Zschan (Jerman), Stuart Crampin (University of Edinburgh, UK), Mitsuyuki Hashiba (Japan Meteorological Agency/JMA Jepang), Jean Pierre Razelot (Perancis), dan Shurat Ehgamberdiev (Ulugh Beg Astronomical Institute, Uzbekistan).

Kegiatan tersebut ditutup pada 5 Ramadan 1429/6 September 2008, diakhiri dengan melakukan city tour yang dipersiapkan panitia ke Hagia Sophia, Blue Mosque, dan Grand Bazar. Observatorium Kandilli oleh UNESCO ditetapkan sebagai warisan dunia bernilai sejarah yang telah berkontribusi besar dalam studi astronomi Islam. Khususnya, melakukan observasi awal bulan kamariah selama 50 tahun yang menghasilkan kriteria awal bulan kamariah yang digunakan Turki dan kini dijadikan pedoman dalam merumuskan kalender Islam global.

MI/Seno

 

Masa kini

Pada masa kini, di belahan dunia Islam terdapat berbagai observatorium yang digunakan sebagai pos observasi, seperti Observatorium Hilwan Mesir, King Abdul Aziz City for Science and Technology (KACST) Saudi Arabia, Balai Cerap Al-Khawarizmi Malaka Malaysia, Bali Cerap Teluk Kemang Negeri Sembilan Malaysia. Keberadaan kelima observatorium itu memberi kontribusi positif bagi pengembangan studi astronomi Islam, khususnya berkaitan dengan kalender Islam. Observatorium Hilwan dan KACST setiap tahun menerbitkan data observasi awal bulan kamariah dengan judul Dalil al-Falaky dan Ahwal al-Ahillah, sedangkan Balai Cerap Al-Khawarizmi dan Balai Cerap Teluk Kemang melakukan observasi setiap awal bulan kamariah.

Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim juga memiliki observatorium yang megah, di antaranya Observatorium Bosscha, Observatorium Assalam, dan Observatorium dan Planetarium UIN Walisongo Semarang. Menurut penulis, keberadaannya perlu dimaksimalkan untuk mewujudkan zij Indonesia. Muhammadiyah sebagai peletak dasar penggunaan hisab di Indonesia juga memiliki observatorium astronomi Islam yang canggih dan modern yang bermarkas di Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara (UMSU) dan Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta. Investasi di bidang riset perlu kiranya diindahkan oleh penentu kebijakan.

Kehadiran OIF UMSU disambut gembira oleh masyarakat Indonesia dan mancanegara. Hal ini, dibuktikan kunjungan para tokoh, seperti Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif, Prof. Dr. Din Syamsuddin, Prof. Haedar Nashir, M.Si, Dr. Siti Noordjannah Djohantini, DR. Zulkifli Hasan, Prof. Dr. Syahrin Harahap, M.A (Indonesia), Prof. Dr. Syukri Saleh (USM Malaysia), Prof. Dr. Mohd Hasmadi (Universiti Putera Malaysia), Prof. Madya. Dr. Mohd Sukri Yeoh (Universiti Kebangsaan Malaysia), Dr. Phillip A. Towndrow (NIE, Singapore), Dr. Hayyan Ul Haq (Utrech University Belanda), dan Prof. Dr. Walid Idris (Islamic University Minnesota USA).

Berbagai kegiatan dilaksanakan berupa kunjungan anak-anak sekolah, observasi awal bulan Hijriah, diskusi rutin, seminar nasional dan internasional, kerja sama dengan berbagai pihak, baik dalam negeri maupun luar negeri. Menurut penuturan Dr Arwin Juli Rahmadi Butar-Butar, setiap tahun pengunjung OIF UMSU rata-rata berjumlah 10.000 orang. OIF UMSU juga melakukan gerakan ilmu dengan menerbitkan jurnal Al-Marshad yang terakreditasi sinta 3. Jurnal tersebut merupakan jurnal pertama di bidang astronomi Islam. Sementara itu, Observatorium UAD yang bermarkas di Yogyakarta memiliki perhatian khusus terhadap para difabel dengan semboyan observatorium ramah difabel. Dengan kata lain, observatorium tersebut merupakan observatorium pertama di Indonesia yang berwawasan difabel.

Observatorium Universitas Ahmad Dahlan berada di 41,3 meter dari permukaan tanah atau berada di lantai 10 dan 11 kampus 4 UAD. Pada lantai 10 terdapat ruang kendali, ruang kepala, ruang pemandu, ruang galeri, dan ruang workshop, sedangkan di lantai 11 terdapat kubah yang merupakan tempat teleskop utama memiliki diameter 5 meter dan taman angkasa. Kunjungan dibuka untuk masyarakat umum, civitas akademika, mahasiswa, pelajar dari jenjang taman kanak-kanak hingga menengah atas, hanya dengan terlebih dahulu mengisi formulir reservasi. Sebelum pandemi covid-19, berbagai kegiatan diselenggarakan Observatorium UAD, di antaranya observasi Gerhana Matahari Total 2019, perekaman citra digital komet Lovejoy 2017, pemotretan galaksi Bimasakti, pengamatan hilal untuk penentuan awal Hijriah dan pembuatan tracking lintasan Matahari.

Gerakan ilmu yang merupakan cita-cita Buya Syafi’i Ma’arif sebagaimana disampaikan Prof Din Syamsuddin ketika takziah virtual hari kedua meninggalnya Buya Syafi’i Ma’arif perlu menjadi renungan bersama dan kesadaran kolektif warga persyarikatan. Gerakan ilmu melalui kehadiran observatorium perlu menjadi perhatian para pimpinan yang terpilih dan sejalan dengan tema Muktamar Memajukan Indonesia mencerahkan semesta. Untuk itu, pengembangan sains angkasa di lingkungan perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM) merupakan sebuah keniscayaan. Barang siapa menguasai angkasa, ia akan menguasai dunia.

 

Perlu menjadi prioritas

Kehadiran observatorium baru di kawasan Indonesia Timur perlu menjadi program prioritas. Bagi perserikatan Muhammadiyah, hal itu tidak sulit diwujudkan dengan cara kolaborasi antar-PTM. Kawasan Indonesia Timur yang memiliki PTM perlu didukung mewujudkan observatorium Muhammadiyah oleh PTM besar yang tidak memiliki observatorium, seperti Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Malang, dan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Mengapa wilayah Indonesia Timur menjadi prioritas? Karena keadaan alam masih bersih bebas dari polusi sehingga akan diperoleh data yang berlimpah sekaligus sebagai tempat ‘wisata pendidikan’ dan masyarakat Indonesia Timur memperoleh wawasan tentang sains angkasa lebih baik, sekaligus untuk melahirkan para saintis yang dapat memadukan khazanah Islam dan sains modern.

Keberadaan observatorium di kawasan Indonesia Timur akan bernilai gunabagi pengembangan sains angkasa, dan dapat dijadikan tonggak kebangkitan sains di Indonesia dalam bingkai Islam berkemajuan. Para pimpinan PTM perlu bergandengan tangan dan memiliki kesamaan visi untuk mewujudkan observatorium baru. Proyek beasiswa S-1, S-2, dan S-3 di bidang astronomi oleh Lazismu perlu dipertahankan dan ditingkatkan. Karena itu, muncul kader-kader baru yang andal dan siap mewakafkan diri mengelola dan memajukan berbagai observatorium yang dimiliki Muhammadiyah, khususnya yang berada di wilayah Indonesia Timur. Inilah jalan baru dakwah Muhammadiyah pada abad II. Salah satunya melalui observatorium untuk mencerahkan umat yang tertinggal.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat