visitaaponce.com

25 Tahun Kerusuhan Mei dan Harmoni Menuju Tahun Politik 2024

25 Tahun Kerusuhan Mei dan Harmoni Menuju Tahun Politik 2024
Gantyo Koespradono(Dok pribadi)

TANGGAL 13 Mei, 25 tahun atau seperempat abad yang lalu, sulit bagi bangsa ini untuk melupakannya. Peristiwa hitam pekat yang terjadi pada 1998 itu semoga tidak terulang. Ya, semoga tidak terulang! Inilah doa saya dan kita semua. 

Peristiwa kerusuhan Mei yang berujung dengan lengsernya Presiden Indonesia (waktu itu) Soeharto tidak terulang. Peristiwa kelam itu sungguh memunculkan trauma yang sungguh menyakitkan bagi bangsa ini, terutama masyarakat yang saat itu mengalaminya.

Mohon maaf, saya tidak akan menceritakan bagaimana pilu dan nestapanya para gadis keturunan Tionghoa yang menjadi korban pemerkosaan lelaki biadab pada hari-hari itu. Juga sejumlah mahasiswa yang meninggal dunia karena berjuang mewarnai sejarah perjalanan bangsa ini. Belum lagi yang trauma dan kini takut berbisnis karena usaha (berdagang) yang dirintis pada era 1990 ludes dijarah massa.

Melalui tulisan ini saya hanya ingin berbagi informasi bagaimana kerusuhan Mei 1998, terutama di Jakarta, yang membuat saya menitikkan air mata kalau mengenang peristiwa tersebut. Sebab saat itu saya bertanya-tanya kepada-Nya, "Tuhan, inikah akhir zaman (kiamat) yang sudah Engkau gariskan?"

Peristiwa maut massal itu sudah dimulai 12 Mei 1998. Seperti biasa, sebagai wartawan, saya dan kawan-kawan di Harian Media Indonesia, memantau peristiwa itu dari berbagai sumber.

Jam demi jam api dan amuk massa semakin menjadi-jadi. Semakin malam, Jakarta semakin membara. Api dan asap tebal berkobar-kobar. Apalagi setelah ada tragedi Semanggi yang menyebabkan empat mahasiswa Trisakti tewas dan puluhan lainnya luka-luka.

Apakah pelaku kerusuhan dan amuk massa adalah mahasiswa yang mencoba balas dendam? Tidak! Saya dapat pastikan, pelakunya adalah penunggang, bahkan dalang kerusuhan yang memanfaatkan massa yang rata-rata (maaf) bodoh.

Puncaknya adalah 13 Mei 1998. Suasana semakin kacau balau. Tak jelas mana kawan dan lawan. Tak jelas mana tentara dan polisi. Tanggal itu, sebagai awak media, kami masih menjalankan tugas seperti biasa. Memantau situasi di lapangan. Situasi malam 13 Mei semakin tidak kondusif. Teman-teman jurnalis di lapangan kami perintahkan untuk segera merapat ke kantor di Kedoya.

Begitu melihat teman-teman yang bertugas di lapangan muncul ke ruang redaksi, kami lega. Alhamdulillah, mereka tidak menjadi korban. Selamat.  Untuk memantau situasi di lapangan untuk bahan pemberitaan, kami terus mendengar berbagai radio dan menghubungi polisi via telepon. Tahun 1998 belum ada televisi berita. Metro TV sebagai televisi berita baru lahir di 2000.

Karena situasi semakin tidak kondusif, pimpinan akhirnya memerintahkan semua awak redaksi, usaha, percetakan dan lain-lain yang masih ada di kantor untuk tidur di kantor.

Bisakah kami tidur nyenyak? Tentu tidak, sebab kami memikirkan istri dan anak-anak di rumah. Dua anak saya masih kecil-kecil. Yang besar berusia 8 tahun dan adiknya 4 tahun.

Subuh sekitar pukul 04:00 WIB bersama beberapa teman, kami pulang ke Tangerang melalui Jl Daan Mogot. Masya Allah, Jakarta seperti kota mati. Api membumbung tinggi masih terlihat. Sejumlah bangunan gosong. Ada pula ruko bertingkat yang tinggal kerangkanya saja.

Di Jl Daan Mogot menuju arah Tangerang, bangkai-bangkai mobil teronggok di tengah jalan. Saya ngeri membayangkan bagaimana sang pemilik mobil? Mereka disiksa atau dibunuh?

Pada 14 Mei saya sudah berkumpul kembali bersama istri dan anak-anak. Apakah urusan selesai?
Tidak! Stok kebutuhan sehari-hari kami sudah tidak ada. Kami kebingungan mencari beras dan susu untuk anak-anak kami karena banyak toko kelontong, bahkan pasar swalayan yang dijarah dan dibakar massa.

Melihat anak-anak kami, saya merintih di dalam hati, apakah kami harus mati kelaparan karena meskipun ada uang, tapi tidak bisa membeli apa pun. Haruskah kami minta beras ke tetangga yang pasti juga membutuhkan? Jika saya melihat ada warung yang buka, saya memastikan itu adalah mukjizat Tuhan. Jika pemilik warung membolehkan saya membeli sejumput beras dan sesendok susu bubuk, saya sudah bersyukur.

Situasi dan perasaan-perasaan seperti itulah yang saya rasakan pada 13 Mei 1998 dan beberapa hari pascakerusuhan Mei. Oleh sebab itulah di awal tulisan ini saya berharap dan berdoa memohon kepada Tuhan agar Dia tetap menyertai dan mendamaikan bangsa ini. Bangsa ini tidak ingin peristiwa kelam 25 tahun lalu terulang.

Kita saat ini sudah memasuki tahun politik. Tahun depan kita akan menyelenggarakan Pemilu Serentak 2024 yang di dalamnya ada pemilihan presiden. 

Saya rindu sekali pilpres berlangsung secara kondusif tanpa gejolak apa pun. Semoga pilpres tetap berjalan sesuai dengan konstitusi dan aturan main yang telah disepakati bersama. 

Terlepas Anda setuju atau tidak setuju, saya senang mendengar manakala Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh, mengingatkan para elite politik agar menjadikan Pemilu 2024 sebagai arena untuk bergembira dan memadukan harmoni kebangsaan.

Tidak terasa peristiwa memilukan Mei 1998 telah berlalu 25 tahun. Saya tidak mungkin melupakannya sebab tanggal 13 Mei adalah tanggal ulang tahun saya.

Saya menitikkan air mata saat mengenang peristiwa 25 tahun yang lalu, apalagi setelah anak kedua saya dan menantu saya sambil menggendong cucu saya pertama (baru berusia 3 bulan) mengucapkan ulang tahun kepada saya.

Ya Tuhan, anak saya yang 25 tahun lalu sempat membuat waswas saya karena bingung mencari susu dan beras buatnya, kini telah memberikan cucu generasi penerus buat saya dan bangsa ini.

Damai dan jayalah Indonesia. Yuk kita bergembira dan ciptakan harmoni nan indah untuk negeri ini.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat