visitaaponce.com

Optometri, Upaya Bersinergi Membangun Kesehatan Penglihatan di Indonesia

Optometri, Upaya Bersinergi Membangun Kesehatan Penglihatan di Indonesia 
Widiastuti Eko Wulandari(Dok pribadi)

OPTOMETRI merupakan salah satu ilmu yang mungkin masih belum banyak terdengar di masyarakat awam. Sedikit mengulas ke belakang, optometri adalah ilmu tentang penglihatan manusia sebagai fungsi dari mata, yang mana mata dibahas secara fisika atau lebih spesifik lagi disebut ilmu optik, yang merupakan bagian yang sangat penting dalam ilmu fisika. 

Ilmu optometri ini berlainan sekali dengan ilmu optalmologi yang membahas mata secara biologi, yang profesinya lebih dikenal dengan sebutan dokter spesialis mata. Karena itu, terlihat jelas bidang kerja dari seorang optometris berlainan dengan seorang dokter spesialis mata. 

Optometris bekerja untuk menilai tajam penglihatan, mengukur, mendiagnosis, memilihkan solusi terbaik dengan memberikan alat bantu berupa lensa kontak, kacamata, loop, dan sebagainya. Sementara itu, dokter spesialis mata memeriksa penyakit mata pasien dan melakukan operasi/tindakan bila diperlukan. 

Dua bidang yang dipelajari masing-masing sangat berlainan namun berdekatan bahkan overlap dan bisa saling membutuhkan. Karena dengan kemajuan teknologi kedokteran yang sangat canggih menghasilkan peralatan pemeriksaan dan analisis, yang pemakaiannya membutuhkan pengetahuan dan keterampilan dalam bidang 'opto-elektro-mekanik dan komputer'. 

Gangguan

Optometri tidak sekadar mempelajari mengenai gangguan tajam penglihatan, namun juga mempelajari penggunaan instrumen dengan teknologi yang modern untuk mendeteksi penyakit serta kelainan mata. Sehingga optometris memiliki kemampuan untuk melakukan penilaian tajam penglihatan secara detil dan menyeluruh. 

Merujuk pada laman World Health Organization (WHO) mengenai gangguan penglihatan, dinyatakan bahwa secara global saat ini setidaknya terdapat 2,2 miliar penduduk dunia mengalami gangguan penglihatan jarak jauh ataupun dekat, yang mana dari jumlah tersebut 1 miliar di antaranya mengalami gangguan penglihatan yang sesungguhnya dapat dicegah atau belum teratasi. 

Kelainan tajam penglihatan merupakan gangguan penglihatan teratas dari angka tersebut, diikuti oleh katarak. Kondisi ini juga berdampak kepada keuangan global karena menimbulkan beban dengan perkiraan biaya produktivitas tahunan mencapai US$411miliar. 

The International Agency for the Prevention of Blindness (IAPB) memaparkan bahwa di 2010, sebanyak 28% populasi dunia mengalami gangguan tajam penglihatan rabun jauh (miopia) dan diperkirakan pada 2050 jumlah tersebut akan mencapai hampir 50% (Holden et al. 2016). Hal ini berarti bahwa hampir separuh populasi dunia akan mengalami gangguan tajam penglihatan miopia. 

Miopia ini sering terjadi pada siswa usia sekolah, dan disayangkan pula kondisi ini jarang terdeteksi secara dini padahal miopia dapat dikoreksi dengan menggunakan kacamata atau lensa kontak. Dengan miopia yang tidak terkoreksi, kondisi ini dapat terus berkembang dengan axial length yang bertambah panjang dan dapat berisiko menyebabkan gangguan penglihatan, seperti katarak, glaukoma, myopic maculopathy, serta myopic macular degeneration, yang dapat berujung pada hilangnya penglihatan (vision loss).

Perubahan

Hasil penelitian di Cong Qing yang dilakukan oleh Wujiao et al. (2021) menyebutkan bahwa pada 2019 kenaikan miopia pada siswa sekolah adalah 44,62%. Namun saat pandemi covid-19 di 2020, angka ini melonjak menjadi 55,02%. Pandemi mengubah gaya hidup dan pembelajaran, bahkan semua aktivitas tidak lepas dari gawai dan biasanya digunakan dalam durasi yang lama. 

Dengan durasi yang lama dan jarak beraktivitas dengan gawai yang relatif lebih dekat, maka bayangan akan jatuh di belakang retina (hyperopic defocus), sehingga menyebabkan bola mata memanjang.

Kondisi ini terjadi secara global, tidak terkecuali di Indonesia. Program Studi Optometri Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida) sebagai institusi pendidikan optometri pada jenjang sarjana terapan, dalam rangka penerapan ilmu melalui pengabdian masyarakat, melakukan penilaian tajam penglihatan terhadap 107 anak usia sekolah pada salah satu rural area di Jakarta Barat. Hasilnya, mendapati sejumlah 56 anak atau 52,3% mengalami gangguan penglihatan miopia. 

Tentu saja hasil ini masih jauh dari kata mewakili seluruh wilayah di Indonesia. Namun hal ini patut diwaspadai karena dengan hasil tersebut, gangguan tajam penglihatan miopia pada siswa usia sekolah menyerupai puncak gunung es. Saat ini kondisi tersebut baru diketahui hanya sebagian kecil, yaitu yang  berada di permukaan saja.

Lantas bagaimana dengan optometris yang notabene adalah tenaga kesehatan dalam menghadapi kenaikan laju miopia? WHO (2006) melaporkan bahwa tenaga kesehatan memberikan kontribusi hingga 80% terhadap keberhasilan pembangunan kesehatan. Dalam membangun kesehatan penglihatan, tentu optometris tidak mungkin melakukannya sendiri, diperlukan kolaborasi yang kuat dengan dokter spesialis mata. 

Optometris sebaiknya fokus kepada deteksi dan penilaian tajam penglihatan serta pengoperasian peralatan penunjang penilaian tajam penglihatan. Dengan demikian, saat melakukan rujukan layanan mampu memberikan data yang akurat sehingga dokter spesialis mata dapat memberikan diagnosa dan melakukan tindakan yang diperlukan untuk meminimalkan risiko kebutaan. 

Harapannya, akan tercipta sinergi yang baik. Dengan begitu kedua profesi dapat berkontribusi secara optimal sesuai dengan kompetensi serta kewenangan masing-masing dalam menanggulangi kenaikan laju gangguan penglihatan miopia serta gangguan lainnya, seperti katarak, glaukoma, dan sebagainya. Hal yang dapat menyebabkan hilangnya penglihatan seperti yang dideskripsikan oleh IAPB.

Pemerintah juga perlu mendorong percepatan penanggulangan gangguan tajam penglihatan miopia melalui penilaian tajam penglihatan siswa usia sekolah sedini mungkin, bahkan seharusnya sebelum anak memasuki usia sekolah, seperti yang telah dilakukan di berbagai negara. 

Salah satu hal sederhana yang dapat dilakukan adalah pemberdayaan kembali peran usaha kesehatan sekolah (UKS), yang dapat membantu sebagai pejuang garda depan untuk melakukan penilaian tajam penglihatan bagi siswa usia sekolah. 

Optometris dapat memberikan pelatihan sederhana bagi para guru maupun anggota UKS agar dapat melakukan penilaian tajam penglihatan dan mendeteksi gejala gangguan pada siswa sekolahnya. Selanjutnya, secara berkala optometris akan melakukan penilaian tajam penglihatan secara komprehensif dan merujuk kepada dokter spesialis mata jika diperlukan penanganan lebih lanjut dan bersifat medis. 

Hal sederhana ini diharapkan dapat berdampak besar bagi penanggulangan kenaikan laju gangguan tajam penglihatan miopia pada usia sekolah. Namun, tentu diperlukan perhatian dan upaya serius guna menekan laju kenaikan gangguan penglihatan miopia pada siswa usia sekolah, agar di kemudian hari tidak berdampak kepada sosio-ekonomi negara secara keseluruhan. Love your eyes for your bright future. Salam dua mata.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat