visitaaponce.com

Menjaga dan Merayakan Kebinekaan

Menjaga dan Merayakan Kebinekaan
(Dok. Pribadi)

SAYA tidak bisa meminta kepada Allah, apalagi berkuasa memilih untuk lahir di Indonesia. Sebuah negara yang luas dan besar. Makhluk hidup yang tinggal di dalamnya begitu lengkap dan beragam. Manusia dari berbagai macam suku, agama, warna kulit, dan bahasa ada. Mereka membentuk bermacam komunitas berbasiskan pada kesamaan hobi, suku, dan agama hingga membentuk berbagai macam budaya.

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar, dengan keanekaragaman flora dan fauna paling kaya di dunia. Indonesia dihuni oleh lebih dari 1.340 suku bangsa. Terdapat 718 jenis bahasa, 187 kelompok aliran kepercayaan, juga ada 6 agama yang paling banyak dianut oleh penduduknya. Mereka hidup menyebar di 17.000 pulau yang terbagi ke dalam 37 provinsi (Data Badan Pusat Statistik/BPS).

Realitas kehidupan warga negara Indonesia menunjukkan bahwa dari 17 ribu pulau yang ada, tidak ada satu pun pulau atau wilayah kabupaten/kota hingga provinsi di Indonesia yang hanya dihuni atau dikelola oleh satu jenis suku, penganut agama, warna kulit, dan ras secara tunggal. Pun, tidak ada keseragaman secara mutlak di dalamnya.

Selalu ada keragaman di dalam setiap kelompok, kemunitas apa pun di Indonesia. Jika ada komunitas yang dibangun berdasarkan kesamaan penganut agama, tetap ada keragaman suku. Sebaliknya, jika ada komunitas berdasarkan kesamaan suku, tetap akan ada keragaman penganut agama di dalamnya.

Maka, pada saat ada pihak yang berupaya untuk menyeragamakan, misalnya dari segi suku, agama, atau kepercayaan, hal itu bertentangan dengan realitas dan watak dasar Indonesia. Termasuk upaya para pengembang yang ingin membangun perumahan khusus untuk dihuni oleh pemeluk agama tertentu dan menolak pemeluk agama lainnya, sebagai aspirasi sah-sah saja, tapi bertentangan dengan jati diri bangsa ini.

Realitas kebinekaan itu ada, bahkan sebelum negara Indonesia resmi terbentuk bulan Agustus 1945. Keragaman agama, suku, budaya, bahasa adalah aset berharga, sekaligus menjadi tantangan dalam mewujudkan kehidupan yang sarat kerukunan dan kedamaian. Tantangan paling nyata di depan mata ialah kemungkinan timbulnya perpecahan, terutama karena perbedaan kepentingan politik.

Pada saat ini kita berada di tahun politik, di saat semua hal bisa diarahkan untuk mendukung atau menolak partai tertentu, atau kandidat calon presiden tertentu, yang jika tidak hati-hati bisa menimbulkan gesekan yang berkembang menjadi pertikaian. Apalagi jika ada faktor kepentingan agama di dalamnya. Politik dengan mengatasnamakan agama bisa berdampak pada pertikaian yang lebih berbahaya bagi keutuhan bangsa.

Para pemimpin negara ini memiliki pengalaman pahit dalam menangani masalah yang ditimbulkan akibat konflik antarpenganut agama, antarsuku dan ras. Ada sejarah panjang yang menyakitkan terkait itu. Berbagai kesulitan timbul dari sebuah konflik. Ada kekerasan, eksodus, pengusiran, hingga pengungsian selama beberapa bulan bahkan tahun. Mereka tidak lagi bisa mengolah lahan dan menempati kampung sendiri.

Musabab konflik dan kekerasan itu beragam. Kendati demikian, muarannya sama, yakni karena adanya perbedaan hingga benturan kepentingan antarindividu. Benturan itu biasannya terkait dengan akses sumber daya yang berkorelasi dengan kekuasaan, ekonomi, dan macam-macam. Pastinya, konflik itu terjadi antarsubjek individu, antarmanusia yang diidentikkan dengan suku, ras, dan pemeluk agama tertentu.

MI/Seno

 

Potensi kerawanan

Saya berpandangan bahwa perbedaan suku, agama, warna kulit, dan ras yang melekat dalam diri setiap orang adalah sebuah keniscayan. Semua identitas yang disematkan dalam diri manusia dalam kategori suku, warna kulit, ras itu adalah karunia Tuhan. Meski begitu, ia tetap sebagai entitas pasif yang tidak bernyawa. Ia menjadi aktif ketika digerakkan oleh manusia yang sarat dengan nafsu dan kepentingan di dalam hidupnya, termasuk kepentingan dan nafsu untuk berkuasa.

Nafsu untuk berkuasa inilah yang sekarang sedang mengalami musim semi karena Pemilu 2024 sudah di ambang pintu. Nafsu berkuasa antarindividu, antarkelompok, termasuk antarpartai dan antarormas keagamaan membutuhkan ruang artikulasi, dan harus dikelola secara proporsional agar keutuhan kita sebagai bangsa tetap terjaga.

Kedewasaan kita sebagai bangsa masih terus diuji di dalam pusaran beragam kepentingan yang terus-menerus dipompa ke permukaan hingga acap kali mengusik keharmonisan hubungan antarsesama anak bangsa di negeri nan elok ini.

Konflik tajam antara cebong versus kampret dalam Pemilu 2014 yang berulang pada Pemilu 2019 masih membekas kuat dan mewariskan luka mendalam untuk sebagian kalangan. Ada luka batin yang belum sembuh. Bahkan ada perceraian yang belum rujuk hanya lantaran perbedaan pilihan.

Sudah banyak upaya untuk rekonsiliasi, untuk memadukan kembali beragam kelompok yang berkompetisi dalam pemilu. Namun, ketika sudah hampir sampai pada titik temu, hajatan pemilu sudah datang lagi, saling ejek dan bahkan baku hujat muncul lagi, terutama di media sosial.

Sebagai negara yang penduduknya memiliki beragam kepentingan, Indonesia memiliki kerawanan berupa potensi konflik yang cukup tinggi. Dari pengalaman masa lalu, setiap konflik antarwarga acap menimbulkan kekerasan kolektif yang pasti akan menimbulkan korban baik jiwa maupun harta benda.

Data kompilasi oleh Collective Violence Early Warning (CVEW) menemukan bahwa pada rentang waktu 2021-2022, ada 2.335 insiden kekerasan kolektif yang mengakibatkan lebih dari 662 kematian dan 2.918 luka-luka serta 724 kerusakan infrastruktur.

Bukan hal yang mustahil, dan memang tidak ada yang bisa menjamin bahwa konflik dan kekerasan itu tidak terjadi lagi, mengingat kondisi sosial ekonomi yang sarat dinamika politik. Kesenjangan sosial yang masih menganga bisa dimanfaatkan untuk memprovokasi dan memecah belah, tentu jika tidak ada upaya yang serius untuk mencegahnya.

 

Peran Maarif Institute

Sebagai warga negara, saya tetap optimistis dan bersyukur bisa hidup di Indonesia. Kerawanan yang ada berimbang dengan kiprah berbagai pihak dalam upaya membangun kehidupan yang lebih damai, aman, dan rukun. Salah satunya peran dari Maarif Institute dalam menjaga dan merayakan kebinekaan. Di usianya yang ke-20, lembaga yang didirikan Buya Ahmad Syafii Maarif ini mengukuhkan dirinya sebagai katalisator kebinekaan.

Rabu, 30 Agustus 2023, di Posbloc Jakarta, lembaga ini sukses menyelenggarakan Bineka Festival (BinekaFest). Tidak seperti festival biasa, yang identik dengan jualan di arena bazar dan hiburan, hajatan Maarif Institute padat dengan forum untuk berbagi ilmu pengetahuan. Dibarengi pula dengan pertunjukan kesenian berbobot. Ada pembacaan puisi oleh KH Zawawi Imron. Tampil juga komedian standup Sakdiyah Ma’ruf dan Yusril Fahriza serta dilengkapi komedi satire yang padat pesan tentang kerukunan dan keberagaman bersama Inaya Wahid, putri bungsu KH Abdurrahman Wahid, yang menyimpan bakat humor tinggi seperti ayahnya.

Menurut Abd Rohim Ghazali, Direktur Eksekutif Maarif Institute, hajatan BinekaFest ini digelar sebagai bagian dari rangkaian acara mengenang setahun wafatnya Buya Syafii Maarif sekaligus sebagai puncak acara syukuran dua dekade Maarif Institute. Dia menyampaikan pesan penting bahwa di Indonesia, kebinekaan merupakan keniscayaan dan anugerah dari Tuhan yang harus disyukuri. Bukan untuk dipertentangkan. Caranya antara lain dengan menjaga dan merayakannya.

Menjaga dan merayakan kebinekaan bisa dilakukan dengan banyak hal, misalnya, pertama, dengan menyadari sepenuhnya bahwa kita berada dalam satu negara bernama Indonesia yang terdiri atas beragam suku, ras, agama, aliran kepercayaan, dan lain-lain. Dengan keragaman ini, Indonesia menjadi negara yang memiliki keindahan alami dan khas.

Kedua, setelah tumbuh kesadaran, yang lebih penting adanya ialah menumbuhkan kemauan untuk terus memelihara kebinekaan agar tetap elok. Caranya dengan saling memahami dan menghormati perbedaan yang ada. Ibarat orkestra, setiap pemegang alat musik memiliki peran masing-masing untuk tidak bersuara seenaknya sehingga mengganggu keindahan irama kebersamaan.

Ketiga, kesadaran kebinekaan juga harus diwariskan kepada generasi penerus, kepada Gen-Z, anak-anak muda yang sedang bertumbuh dewasa dan kelak akan tampil menjadi para pemimpin bangsa. Kepada mereka kita wariskan kesadaran memelihara kebinekaan agar Indonesia akan tetap utuh dan indah sepanjang zaman. Meminjam istilah Buya Syafii, minimal hingga satu hari sebelum kiamat.

Festival ini menampilkan unsur-unsur signifikan dalam kebinekaan. Seperti isu tentang pemenuhan hak kelompok minoritas. Mengingat bahwa setiap orang, sebagai warga negara, akan berpotensi menjadi minoritas, seiring dengan perbedaan tempat dan perjalanan waktu.

Ketika saya tinggal di Pulau Jawa, saya merasa menjadi mayoritas. Tetapi ketika saya berada di pulau lain, bisa jadi, saya akan menjadi minoritas. Oleh karena itu, menghormati orang lain, bersikap peduli, dan berusaha memenuhi hak orang lain adalah sebuah keniscayaan dalam hidup.

Dalam soal agama juga demikian. Di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi, Islam adalah mayoritas. Tapi di Bali akan lain lagi situasinya, ada mayoritas Hindu. Begitu pun di Papua, ada mayoritas Kristen.

Realitas inilah yang mendorong Maarif Institute untuk terus aktif mempromosikan spirit kebinekaan agar terus menjadi fakta keras yang membuka mata kita bersama bahwa di Indonesia, tidak ada satu pun wilayah kepulauan yang hanya bisa dihuni dan dikelola oleh warga negara yang berasal dari satu jenis entitas suku, agama, ras, dan warna kulit. Selalu ada keragaman. Di BinekaFest, kelompok-kelompok minoritas itu diberi ruang untuk menyampaikan testimoni guna menyampaikan secara bebas tentang siapa dan bagaimana keberadaannya di Indonesia.

Dalam sesi perbincangan yang dipandu oleh Moh Shofan, KH Nasaruddin Umar menyampaikan bahwa Buya Syafii adalah ulama yang sangat paham tentang perkembangan sejarah, politik, dan keislaman di Indonesia. Karya-karyanya konsisten. Ia menjadi bahan bacaan para pelajar dan mahasiswa dari lintas generasi dan organisasi. Buya Syafii berpesan agar NU dan Muhammadiyah bisa menjadi representasi wajah Islam yang ramah, toleran, damai, mengayomi, dan berwatak inklusif.

“Masyarakat pluralis tidak hanya sebatas mengakui dan menerima kenyataan kemajemukan masyarakat. Tetapi pluralisme harus dipahami sebagai suatu ikatan dan pertalian sejati sebagaimana disimbolkan dalam Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua). Pemikiran plural juga harus disertai dengan sikap yang tulus menerima kenyataan kemajemukan itu sebagai hikmah yang positif,” jelasnya.

Di Indonesia, pluralisme masih sering disalahpahami sebagai upaya menyamakan agama, sebagai paham yang mencampuradukkan keyakinan antara agama yang satu dan lain yang bisa menimbulkan kebingungan umat dan bahkan dianggap mengancam keimanan sesorang. Kesalahpahaman inilah yang membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haramnya pluralisme.

Pemahaman tentang pluralisme yang kurang tepat itulah yang berupaya diluruskan, bahwa dengan perjumpaan, saling memahami dan bahkan saling mempelajari agama secara bersilang, justru akan memperkuat keyakinan, memperkokoh keimanan dari tiap-tiap pemeluk agama. Menyandingkan kebenaran agama-agama justru akan menjadi bukti dan penguat keyakinan bagi pemeluknya masing-masing.

Agama apa dan keyakinan mana yang paling benar? Biarlah Allah yang yang akan menentukan. Tugas kita ialah berlomba-lomba dalam kebajikan, ber-fastabiqul khairat sesuai keyakinan masing-masing, dengan tetap saling menjaga kehormatan dari setiap agama yang ada.

Karena masing-masing memiliki perbedaan yang khas, dan perbedaan itu diyakini sebagai keistimewaan dari tiap-tiap agama, yang tumbuh dalam hati sanubari dan akan semakin teruji kekhasannya dengan perjumpaan dengan agama lain. Rasa saling menghormati akan tumbuh karena hanya dengan begitulah eksistensi setiap agama bisa terjaga.

Menghadiri acara Festival Kebinekaan Maarif Institute mampu menggugah kesadaran saya bahwa Indonesia adalah negara yang penduduknya sangat beragam. Indonesia dibangun oleh para pendiri bangsa yang berlatar belakang agama, suku, warna kulit yang berbeda-beda. Mereka dipersatukan oleh kesamaan cita-cita semata. Harapan itulah yang akan terus menjadi unsur pengikat dalam merawat kemajuan Indonesia ke depan.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat