visitaaponce.com

Pendidikan Dokter Spesialis bukan Home Schooling

Pendidikan Dokter Spesialis bukan Home Schooling
(Dok. Pribadi)

“TIDAK seorang pun boleh tercederai saat mencari pertolongan.” Itu adalah pernyataan WHO terkait dengan profesi kedokteran. Kedokteran adalah profesi yang menolong. Pelayanan kepada pasien adalah kepedulian, bukan jual-beli mencari untung seperti seorang bankir yang mencari rente. Dokter harus selalu kompeten dengan terus memperbarui pengetahuan dan keterampilannya demi penyelenggaraan praktik kedokteran yang mengutamakan patient safety.

Pendidikan dokter dan dokter spesialis bertujuan menghasilkan manusia yang memiliki kompetensi berlandaskan pengetahuan kedokteran yang cukup (body of knowledge), serta memiliki landasan etika dan profesionalitas saat mengaplikasikan ilmunya. Untuk tercapainya hal itu, disusun sebuah standar pendidikan dokter dan standar pendidikan dokter spesialis untuk setiap bidang ilmu.

Semua standar pendidikan, yang mencakup standar kompetensi, standar profesi, dan standar praktik profesi ini, disusun secara mandiri (independen) oleh Kolegium Bidang Ilmu dan telah disahkan oleh Konsil Kedokteran.

Menurut Undang-Undang No 29 Tahun 2004 Pasal 1 butir 13, Kolegium adalah badan otonom yang dibentuk oleh organisasi profesi (perhimpunan spesialis) untuk setiap cabang disiplin ilmu. Mengacu pada UU No 20/2013 (UU Dik-Dok), Kolegium terdiri atas para guru besar bidang ilmu yang bertugas mengampu pendidikan bidang ilmu tersebut dan menjaga baku mutu pendidikan profesi dokter dan dokter spesialis. Sayangnya, dalam RPP UU 17/2023 Pasal 732, 733, dan 734, posisi Kolegium didegradasikan menjadi sekadar petugas menteri kesehatan.

Adapun Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dibentuk sebagai amanat UU 29/2004 dalam rangka melindungi masyarakat dalam pelayanan kedokteran dan menjaga mutu pelayanan kedokteran (dalam Bab III, ada 22 pasal terkait Konsil). Jadi, seharusnya KKI adalah lembaga negara yang bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala negara, bukan sekadar petugas menteri kesehatan sebagaimana pada RPP UU 17/2023 Pasal 725 dan 731.

Tubuh manusia tersusun atas berbagai organ (paru, jantung, ginjal, otak, dll) dan sistem (sistem pencernaan, sistem pernapasan, sistem sirkulasi darah, dsb) yang bekerja terintegrasi dan terkoordinasi satu sama lain. Perubahan warna pada selaput luar mata (sklera) bisa menjadi petunjuk adanya gangguan fungsi hati; gangguan pendengaran bisa jadi petunjuk adanya dosis antibiotika yang berlebih; sakit perut yang terus berulang bisa menjadi suatu bentuk serangan epilepsi lobus temporalis.

Kompleksitas dan luasnya ilmu yang mesti dikuasai serta variasi berbagai macam gejala yang bisa berbeda dari penyakit yang sama inilah yang membuat setidaknya perlu 6 tahun untuk pendidikan dokter dan 4-6 tahun untuk pendidikan dokter spesialis.

Keterkaitan dan kompleksitas organ dan sistem tubuh manusia serta perkembangan ilmu kedokteran yang tidak pernah berhenti inilah yang mengharuskan pendidik memiliki pengalaman dengan variasi kasus yang cukup, serta tingkat keilmuannya setidaknya dua tingkat lebih tinggi (calon dokter mesti dididik oleh spesialis dan dokter yang bergelar S-2, serta calon spesialis dididik oleh dokter subspesialis/spesialis konsultan, atau spesialis yang bergelar setidaknya S-3).

Semua ketentuan tersebut di atas, selain memiliki landasan UU 12/2012 tentang Dikti dan PP No 4/2014, juga mengacu pada ketentuan dari World Medical Association (WMA). Tiga hal penting terkait pendidikan dokter spesialis ialah tercapainya kompetensi, terpeliharanya etika profesi, dan terjaminnya patient safety.

Patient safety tidak boleh dikorbankan atas nama pendidikan untuk pencapaian kompetensi. Ini tidak mudah karena seorang peserta didik tidak bisa hanya berlatih pada maneken/boneka. Di sisi lain, pasien yang berobat di rumah sakit pendidikan tidak boleh dianggap menyediakan diri untuk dijadikan manusia coba/sarana latihan bagi para calon spesialis. Apa pun bentuk pengobatan atau tindakan pada pasien tetap menjadi tanggung jawab dokter pendidik klinis/dokter subspesialisnya.

Jadi kehadiran langsung para subspesialis/spesialis konsultan saat para peserta didik menjalani fase magang dan awal fase mandiri menjadi mutlak dan tidak bisa ditawar. Yang harus ada bukan kehadiran secara daring maupun supervisi yang sifatnya berkala.

Selain itu, para pendidik klinis ini telah dibekali kemampuan untuk mendidik/mentransfer ilmu oleh universitas pemilik program studi. Hanya karena nafsu untuk secepatnya mencetak lebih banyak spesialis, model pendidikan hospital base atau apa pun sebutannya yang digagas Menteri Kesehatan dengan UU 17/2023 dikhawatirkan akan berbahaya bagi pencapaian kompetensi, terpeliharanya etika profesi, dan perlindungan patient safety. Ketiga unsur itu sangat penting terkait luaran pendidikan spesialis.

Tidak ada atau kurangnya dokter subspesialis/spesialis konsultan di rumah sakit pengampu jelas sekali bakal mendegradasi kualitas pencapaian kompetensi, baik sisi keilmuan maupun sisi keterampilan profesi. Dalam model ini, seorang calon spesialis akan diampu hanya oleh seorang spesialis, bukan beberapa subspesialis atau spesialis konsultan.

Kondisi ini sangat berbeda dengan situasi di Royal College of London yang dijadikan model panutan, di mana para dokter dididik oleh pendidik berpengalaman berpuluh tahun dan berkualifikasi dokter subspesialis. Yang bakal terjadi dengan model hospital base ini ialah seorang lulusan SD yang diminta untuk mengajar SD. Model pendidikan spesialis dibuat seolah home schooling. Ini tentu menimbulkan efek buruk dan menjadi ancaman yang bakal dialami oleh masyarakat penerima layanan kesehatan nantinya. Situasi ini diperparah oleh keberadaan lembaga kontrol (Konsil dan Kolegium) yang semuanya dibuat terdegradasi menjadi petugas menteri kesehatan.

Tidak adanya pemahaman komprehensif terkait pendidikan profesi dokter serta nafsu jahat untuk menegasikan dan mengambil alih peran organisasi profesi, yang selama ini menjaga kualitas luaran pendidikan profesi, telah menghasilkan banyak logical fallacy di kalangan para penentu kebijakan terkait pendidikan dokter dan praktik profesi dokter. Contoh dari logical fallacy ini antara lain keinginan untuk secepatnya menyediakan sumber daya manusia yang bisa mengoperasikan alat pasang ring jantung (cathlab) pada 514 RSUD kabupaten/kota.

Padahal, bagi dokter spesialis jantung, diperlukan pendidikan 1-2 tahun dengan pemenuhan jumlah dan variasi kasus untuk bisa dinyatakan kompeten melakukan tindakan intervensi memasang ring jantung.

Karena proses pencapaian kompetensi ini dianggap terlalu lama, maka ada usulan agar dokter umum dengan pelatihan selama 6 bulan bisa diberikan kompetensi untuk pasang ring jantung. Betapa konyol hal ini, menganggap pasang ring jantung bak sekadar keterampilan teknik vokasi yang bisa diajarkan seperti pelatihan montir mobil di sebuah balai latihan kerja.

Ini modelnya sama dengan keadaan: demi mau menolong korban kecelakaan lalu lintas yang meningkat jumlahnya dan karena jumlah spesialis bedah/bedah saraf yang kurang, maka dibuka pelatihan/kursus kraniotomi (bedah tulang tengkorak) bagi siapa pun tenaga kesehatan yang berminat. Atau karena banyaknya kematian akibat kanker payudara, mau dibuka pendidikan bedah onkologi khusus hanya payudara, dengan waktu lebih pendek, pesertanya cukup sarjana kedokteran tanpa harus jadi dokter umum, dan langsung hanya belajar tentang payudara selama setahun dan kemudian dengan kondisi ini dijamin pasti bisa jadi ‘tukang operasi’ dan menguasai teknik operasi payudara paling mutakhir. Ini benar-benar pemaksaan kondisi yang tidak akan membawa kebaikan. Naudzubillah min dzalik.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat