visitaaponce.com

Peran Menjadi Seorang Ayah di Tengah Stereotip Budaya

Peran Menjadi Seorang Ayah di Tengah Stereotip Budaya 
Dwi Anisa Faqumala(DOK.PRIBADI)

DALAM berbagai peran dan tanggung jawab yang dimiliki oleh individu, menjadi ayah adalah salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh banyak pria di seluruh dunia. Menjadi seorang ayah ternyata tidak semata-mata melibatkan aspek biologis, namun juga peran yang lebih luas, yakni membentuk perkembangan dan kesejahteraan keluarga. 

Peran penting seorang ayah dalam kehidupan keluarga membutuhkan dedikasi, cinta, dan keterlibatan aktif. Ayah adalah pilar terpenting dalam struktur keluarga, yang tidak hanya bertanggung jawab secara finansial, tetapi juga berperan sebagai pembimbing, pelindung, dan pengasuh. 

Selama ini, peran Ayah sering kali dilihat sebagai 'pencari nafkah' yang memiliki sedikit saja keterlibatan dalam pengasuhan anak. Bahkan sebuah studi menyatakan bahwa di Indonesia, keterlibatan ayah masih tergolong sangat rendah dalam proses pengasuhan anak karena 'sibuk bekerja'. 

Rendahnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak sering dikenal dengan istilah fatherless, yang menyoroti tidak hadirnya sosok ayah, baik secara fisik maupun psikologis, dalam proses tumbuh kembang anak sehingga pengasuhan lebih dominan dilakukan oleh sosok ibu. Hasil penelitian itu juga menyebutkan bahwa fatherless seringkali dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti ekonomi, sosial, dan budaya.

Paradigma mengenai peran ayah dipengaruhi oleh stereotip budaya yang menyatakan bahwa laki-laki tidak seharusnya terlibat dalam pengasuhan anak karena terjebak dengan sistem patriarki yang menyebabkan peran ayah seringkali tidak terlibat secara signifikan dalam urusan pengasuhan anak. 

Masalah ini semakin menjadi tantangan dalam masyarakat modern saat ini karena kesibukan dan tekanan hidup yang semakin meningkat. Orang tua sering berjuang untuk mempertahankan kualitas hidup mereka, baik dalam hal finansial maupun sosial, sehingga waktu bersama keluarga, terutama waktu untuk anak-anak, menjadi sangat terbatas. Kualitas hubungan laki-laki dengan perempuan sebagai pasangannya, dan tingginya angka perceraian juga berdampak pada peningkatan kasus fatherless.
 
Anak-anak yang mengalami fatherless cenderung menghadapi rendahnya harga diri, perasaan marah, rasa malu karena berbeda dari yang lain, serta kesulitan dalam mengalami interaksi dengan ayah. Dampak ini juga meliputi perasaan kesepian, kecemburuan, dan berbagai emosi negatif lainnya, yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis anak. 

Selain itu, ketidakadaan figur ayah dalam kehidupan seorang anak dapat memberi dampak pada pencapaian dan prestasi pendidikan. Hal ini disebabkan oleh kekurangan perhatian dan peran aktif seorang ayah terhadap perkembangan anak. 

Meski demikian, persepsi tentang peran ayah telah berubah seiring waktu. Dalam beberapa dekade terakhir, khususnya pasca pandemi covid-19, persepsi tentang peran ayah telah berubah secara signifikan. Selain itu, seruan untuk keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak sudah banyak disuarakan oleh media dan komunitas publik. Ayah kini semakin dianggap sebagai bagian integral dari pengasuhan anak, bukan hanya sebagai penyedia finansial. 

Masyarakat semakin menyadari pentingnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan perkembangan anak. Ayah juga terlibat dan bertanggung jawab dalam peran di rumah tangga. 

Sama seperti perempuan, saat ini seorang laki-laki juga dibutuhkan untuk mampu menyeimbangkan antara kehidupan pekerjaan dan kehidupan rumah tangga. Jika seorang ayah mampu untuk menyeimbangkan pada kesehatan, kebahagiaan dan kesuksesan hidup individu. Namun jika tidak, maka akan muncul konflik dalam keluarga.

Di dalam proses menyeimbangkan antara kehidupan pekerjaan dan kehidupan rumah tangga, para ayah juga harus berjuang untuk menjaga kesehatan mental mereka. Bayangkan ketika seorang ayah merasa kalut, memiliki masalah di tempat kerja, mengalami kelelahan (burnout), atau juga perasaan bersalah karena belum bisa memenuhi kebutuhan keluarganya meski ia sudah dan melewatkan tumbuh kembang anak-anak mereka, tentunya hal ini akan mengakibatkan stress berkepanjangan. Maka dari itu dibutuhkan manajemen emosi dan mindful parenting dalam pengasuhan anak.

Mindful parenting merupakan cara orangtua membantu anak mereka dalam pengasuhan yang mementingkan pada proses mengasuh dengan penuh kesadaran fokus pada situasi saat ini dan tidak menghakimi anak. Mindful parenting dapat dibagi ke dalam dua bagian yaitu mindful disiplin yang berfokus pada pengasuh artinya bahwa ayah dan ibu sebagai pengasuh tidak boleh reaktif, memiliki kesadaran dalam pengasuhan dan fokus perhatian tertuju pada tujuan pengasuhan anak. 

Misalnya ketika ayah merasa lelah saat pulang kerja kemudian melihat anaknya merajuk, menangis meminta untuk dibelikan mainan maka ayah harus mengambil jeda sejenak, mengambil nafas dan tidak memperlihatkan respon emosi amarah pada anak. Kedua yaitu hadir secara penuh yang berfokus pada anak, termasuk dalam pemberian perhatian yang terpusat dan penerimaan terhadap anak. Misalnya pada saat berinterkasi dengan anak, ayah perlu untuk memfokuskan perhatiannya pada anak dan tidak melakukan aktivitas kegiatan yang lain misalnya bermain telepon genggam.

Mindful parenting berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pengasuhan dan memiliki banyak manfaat bagi proses perkembangan anak mulai dari balita hingga remaja. Selain bermanfaat bagi perkembangan anak, menerapkan mindful parenting dalam proses pengasuhan merupakan salah satu metode yang mulai banyak disarankan untuk dapat membangun hubungan yang aman antara orang tua dan anak. 

Mindful parenting juga merupakan cara yang memungkinkan dilakukan untuk mengembangkan hubungan keluarga yang lebih terbuka, saling percaya dan membuat gaya pengasuhan yang membangun perkembangan psikososial anak yang sehat.

Semakin seorang ayah mindful dalam pengasuhan, maka ia dapat semakin terlibat dalam mendisiplinkan dan mengajarkan tanggung jawab pada anak. Mindful parenting akan membuat ayah sadar akan tujuan pengasuhan, salah satunya untuk menanamkan kapasitas tingkah laku pada anak agar memaksimalkan nilai-nilai seperti moral, prestis, dan prestasi. 

Ayah juga perlu meluangkan waktu dengan anak untuk bercakap-cakap, yaitu dengan cara menjadi teman bagi anak, menghabiskan waktu bersama anak untuk berbincang mengenai kehidupan mereka dan melakukan sesuatu yang mereka sukai, serta mendengarkan pandangan atau pendapat anak. 

Apabila seorang ayah semakin mindful, maka ia akan sadar serta memperhatikan kondisi dan masalah yang dihadapi anak, sehingga ayah akan berusaha memahami kondisi anak, dan apa yang anaknya rasakan. Dengan demikian, ayah akan lebih sering menghabiskan waktunya untuk membangun pentingnya hubungan dua arah melalui keakraban dan komunikasi dengan anak agar dapat memahami kondisi anaknya. 

Mindful parenting akan memberikan dampak mendalam antara hubungan anak dengan ayah, mengingat ketika ayah memadukan antara pendengaran dan perhatian penuh ketika berbicara pada anak dan benar-benar hadir untuk anak, maka akan muncul kepercayaan diri pada anak. 

Maka dari itu sangat penting bagi ayah untuk melakukan manajemen waktu. Melihat kesibukan yang dihadapi oleh ayah maka dibutuhkan pembagian waktu yang jelas dalam mengasuh anak, tidak memandang kuantitas seberapa banyaknya namun kualitas waktu kegiatan yang dilakukan bersama anak. 

Selain itu, untuk mendukung keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak, dibutuhkan kebijakan pemerintah terkait dengan pemberian cuti untuk ayah (paternity leave), yang sesungguhnya sudah semakin umum diberikan oleh pemerintah di sejumlah negara di dunia. Cuti ini diberikan oleh perusahaan pada karyawan pria yang pasangannya baru melahirkan. 

Meski saat ini sudah ada peraturan pemerintah tentang hal ini, namun upaya untuk memberikan tambahan waktu bagi ayah untuk mendampingi ibu, sekaligus membangun kelekatan (bonding) sejak dini dengan anak, dan lebih terlibat aktif dalam proses tumbuh kembang anak tentunya tetap dilakukan.

Artikel ditulis oleh Dwi Anisa Faqumala, Peneliti Southeast Asian Ministers of Education Organization Center of Early Childhood Care Education and Parenting (SEAMEO CECCEP). Sejak tahun 2022, SEAMEO CECCEP bekerja sama dengan Tanoto Foundation, organisasi filantropi independen di bidang pendidikan yang didirikan oleh Sukanto Tanoto dan Tinah Bingei Tanoto pada tahun 1981, dalam berbagai program untuk pengembangan dan pendidikan anak usia dini (PAUD) di Indonesia. (S-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat