visitaaponce.com

Anak Emas, Kaitannya dengan Budaya dan Dampak yang Ditimbulkan

 Anak Emas, Kaitannya dengan Budaya dan Dampak yang Ditimbulkan
Dessy Kristiana(Dok pribadi)

“APAKAH Anda sudah menjadi orang tua yang adil?” Pertanyaan ini dapat menjadi bahan untuk kita becermin diri, khususnya bagi orang tua yang memiliki anak lebih dari 1 dalam satu keluarga yang tinggal serumah.

Tak dapat dipungkiri, orang tua yang berbeda memperlakukan anak yang satu dengan anak yang lain, merupakan fenomena sering dijumpai. Karena itulah muncul istilah 'anak emas', yang mana ada salah satu anak yang diperlakukan secara istimewa oleh orang tua. Bahkan kadang kala sampai pada taraf yang ekstrem sehingga pembedaannya terlihat sangat jelas.

Perbedaan perlakuan orang tua (parental differential treatment), merupakan kondisi ketika seorang anak menerima lebih sedikit kehangatan/kasih sayang atau lebih banyak hal negatif dari orang tua daripada saudara kandungnya, baik yang sekadar dirasakan oleh anak tersebut atau memang kenyataannya demikian. (Rolan & Marceau, 2018)

Ada beberapa alasan orang tua membedakan perlakuan terhadap anak-anaknya. Salah satu faktor yang sangat kuat pengaruhnya adalah budaya yang berlaku dalam lingkup keluarga tersebut. Di antara etnis dan budaya yang beragam, ada kemungkinan bahwa orang-orang di beberapa budaya mentolerir, atau bahkan menghargai perbedaan perlakuan menurut jenis kelamin dan/atau urutan kelahiran anak (Riswick & Engelen, 2018).

Sebagai contoh, dalam budaya China kecenderungannya anak laki-laki dianggap lebih penting daripada anak perempuan (Zhao et al, 2021). Penyebabnya karena anak laki-laki meneruskan marga sehingga menjadi generasi penerus nama keluarga yang lebih diperhitungkan. Jika anak laki-laki tersebut merupakan anak sulung, ia akan sangat diistimewakan.

Pikul tanggung jawab

Umumnya anak pertama laki-laki dalam keluarga Tionghoa mendapat perhatian lebih dari orang tua dalam hal fasilitas, sumber daya, serta selalu diutamakan. Namun hal ini diimbangi dengan ekspektasi yang tinggi terhadap dirinya untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan adik-adiknya. Sedangkan dalam budaya yang berbeda, kriteria anak yang diistimewakan mungkin bisa berbeda pula.

Selain faktor jenis kelamin dan urutan kelahiran seperti yang diutarakan dalam contoh di atas, alasan lain antara lain adalah usia dan kepribadian anak. Contoh; anak yang usianya lebih kecil dianggap belum memiliki kemampuan yang memadai untuk mengerjakan tugas rumah tangga, sehingga dibebastugaskan, sementara kakak-kakaknya harus mengerjakan tugas bersama-sama.

Anak yang kepribadiannya cenderung penurut, teratur, dan tenang biasanya dianggap patuh. Sedangkan anak dengan kepribadian yang lebih dinamis, pemberani, dan suka mencoba hal-hal yang tidak biasa, cenderung dianggap nakal. Tak jarang anggapan-anggapan tersebut menjadi sebuah label yang melekat nyaris secara permanen pada diri anak yang bersangkutan.

Akibat yang dapat timbul dari orang tua yang membeda-bedakan perlakuan terhadap anak-anaknya dapat merupakan masalah internal maupun eksternal (Luo et al, 2019). Beberapa masalah tersebut antara lain; pertama,  internal dalam diri anak. Ia merasa diri tidak berharga, minder, bahkan bisa menjurus ke depresi karena harus berupaya hanya untuk mendapatkan perhatian orang tua. Sementara saudara kandungnya yang 'anak emas' dibanjiri perhatian dan dukungan dari orang tua tanpa perlu berupaya. Rasa frustrasi bahkan mengarah kepada depresi dapat timbul pada diri anak yang kurang diperhatikan.

Kedua, eksternal menjadi perilaku yang mencari perhatian, memberontak, agresi, maupun pelarian ke hal destruktif. Ketiga, si ‘anak emas’ ada rasa bersalah, karena merasa dirinyalah yang menjadi penyebab saudara kandungnya mendapat perlakuan tidak adil dari orang tua. Atau bisa juga sebaliknya, menjadi manipulatif, memanfaatkan keadaan yang  posisinya menguntungkan.

Keempat, hubungan antara anak dengan orang tua jadi kurang baik karena persepsi tidak adil.  Kelima, hubungan antar-anak sebagai saudara kandung (khususnya yang menjadi ‘anak emas’ orang tua), jadi kurang baik karena rasa iri yang lama-kelamaan dapat menimbulkan kebencian. Keenam, menimbulkan pengaruh yang negatif terhadap kepercayaan, respek, sikap, persepsi dan interaksi di dalam keluarga.

Bila yang didambakan adalah keluarga harmonis, sering-seringlah merenungkan pertanyaan yang diajukan kepada diri sendiri, “Adilkah saya sebagai orangtua terhadap anak-anak saya?” sebagai pengingat bagi kita semua.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat