Kedaulatan Pangan
ISTRI saya mengeluhkan harga beras mahal. Saya diam saja, pura-pura nggak denger. Toh percuma juga mau diapain lagi. Kalaupun saya ladeni, takutnya berbuntut panjang. Ujung-ujungnya dia nanti minta APBR (anggaran dan pendapatan belanja rumah) naik. Runyam urusannya, bisa-bisa merembet ke tekanan darah dan asam lambung. Apalagi kondisi perekonomian, baik domestik maupun global, sedang tidak baik-baik saja jika tidak bisa dibilang rungkad.
Keluhan istri saya mungkin senada dengan ibu-ibu lainnya. Harga beras medium dan premium di berbagai daerah dalam beberapa bulan terakhir memang terus melonjak. Di Kota Semarang, Jawa Tengah, misalnya, harga beras premium kini mencapai Rp21 ribu per kilogram. Di Sampit, Kalimantan Tengah, harganya bahkan lebih gila lagi, hampir menyentuh Rp30 ribu per kilogram. Padahal, normalnya sehari-hari tidak lebih dari Rp15 ribu per kilogram. Buset.
Tidak hanya harga yang melonjak, di beberapa daerah pasokan beras juga seret. Seperti dikutip Media Indonesia, Sabtu (17/2), Johan, penjual beras di Pasar Sadang Serang, Kota Bandung, mengatakan sudah tiga pekan terakhir pasokan beras dari Subang ke Bandung terus menurun. Langkanya pasokan itu membuat pedagang menaikkan harga jual beras kualitas 1 menjadi Rp17 ribu per kilogram, kualitas 2 di harga Rp16 ribu, dan kualitas 3 di harga Rp15 ribu. Padahal, berdasarkan Peraturan Badan Pangan Nasional No. 7 Tahun 2023, pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) beras premium untuk zona 1 (Jawa, Lampung, Sumsel, Bali, NTB, dan Sulawesi) sebesar Rp13.900 per kilogram.
Baca juga : Orkestrasi Moral
Persoalan harga beras ialah persoalan klasik di negeri yang katanya agraris ini. Entah salah kelola entah terlalu banyak pemburu rente. Dulu, di era orde yang telah lalu, Indonesia memang pernah swasembada beras, artinya enggak perlu impor segala, bahkan bisa ekspor. Namun, itu bukannya tidak menimbulkan persoalan karena dengan dibukanya berbagai lahan pertanian, masyarakat di sejumlah daerah yang sebelumnya tidak terbiasa mengonsumsi beras jadi bergantung pada komoditas tersebut. Setelah lahan pertanian kini semakin menyusut sebab tergusur oleh derap pembangunan pabrik dan perumahan, produksi beras akhirnya sering tidak cukup. Apalagi jumlah penduduk makin banyak. Belum lagi kondisi iklim yang kini semakin tidak menentu membuat petani sering gagal panen.
Itu tentu perlu segera campur tangan negara. Pemerintah tidak boleh membiarkan harga beras bergejolak di pasaran, begitu juga dengan pasokannya. Percuma, dong, ada menteri perdagangan dan badan ketahanan pangan. Itu menyangkut hajat hidup orang banyak, bos, urusan perut. Untuk jangka panjang, mungkin perlu ada langkah strategis terkait dengan kebijakan di bidang pertanian, termasuk dengan memperhatikan kearifan lokal. Letak geografis wilayah Nusantara ini beragam. Tidak semua tanaman dapat tumbuh subur di tiap wilayah, termasuk padi. Karena itu, selain keanekragaman hayati, negara ini juga kaya ragam penganan lokal. Itu yang semestinya terus dipelihara sehingga masyarakat kita tidak terlalu bergantung pada beras.
Mending kita perbanyak produksi pangan lokal, entah itu sorgum, singkong, ubi, entah sagu, tentu dengan memperhatikan kondisi tanah di wilayah masing-masing. Sejak zaman baheula, nenek moyang kita yang tersebar di seluruh kepulauan ini mengonsumsi berbagai jenis bahan pangan tersebut sebagai makanan pokok, bukan mengonsumsi mi instan yang seolah kini ingin ‘dipaksakan’ menjadi selera Nusantara. Ingat, bos, kita bukan produsen gandum. Lebih baik berbagai bahan pangan lokal itu diolah menjadi aneka penganan lainnya, termasuk mi instan, sehingga kita tidak selalu bergantung pada impor gandum dan beras. Pendekatan budaya semacam ini harus dimasukkan perspektif politik kebijakan pertanian, bukan semata mempertimbangan faktor cuaca dan iklim.
Baca juga : Daya Juang
Ini negeri kaya sumber daya alam yang butuh kekayaan inovasi dan kreativitas untuk mengolahnya. Jangan selalu ingin jalan pintas. Jika kuantitas dan kualitas produksi petani tidak baik atau kurang mencukupi, ya, dipikirkan bagaimana meningkatkannya, bukan dikit-dikit impor. Ketika konflik semakin merebak di berbagai belahan dunia seperti yang terjadi saat ini, tiap negara tentu berupaya memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri, termasuk pangan. Kalau kita terus-terusan tergantung dan mengandalkan impor, ya repot. Yang kita butuhkan sekarang bukan sekadar ketahanan, melainkan kedaulatan pangan. Selama tidak ada upaya (political will) yang serius dan sungguh-sungguh untuk mengubah kebijakan terkait dengan pangan, ya kita akan selalu kerepotan seperti ini. Jangan sampai seperti pepatah ‘ayam mati di lumbung padi’. Ngeri, bos.
Terkini Lainnya
Politik Beras
Dunia yang tidak Baik-Baik Saja
Orkestrasi Moral
Katakan dengan Masker
El Nino
Pemerintah Harus Atasi Turunnya Jumlah Kelas Menengah
Prabowo dan Diplomasi Good Neighbors Policy di ASEAN
Biodiesel Sawit dan Ancaman Deforestasi
Rekonstruksi Penyuluhan Pertanian Masa Depan
Transformasi BKKBN demi Kesejahteraan Rakyat Kita
Fokus Perundungan PPDS, Apa yang Terlewat?
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap