visitaaponce.com

Astropolitik dan Rivalitas Penguasaan Luar Angkasa

Astropolitik dan Rivalitas Penguasaan Luar Angkasa
Dosen FISIP – IISIP Jakarta dan Peneliti Indonesian Strategic Research Irmawan Effendi(Dok)

CHINA berhasil meluncurkan Chang’e 6 pada 3 Mei 2024 dengan tujuan mengambil sampel batuan di sisi terjauh bulan atau sisi bulan yang tidak terlihat dari bumi. Program luar angkasa China ini merupakan kelanjutan dan konsistensi China untuk mencapai target di tahun 2030 untuk mendaratkan astronot dan pembangunan pangkalan di permukaan bulan.

Muncul pertanyaan, apakah program luar angkasa China ini akan menguatkan tujuan damai luar angkasa untuk seluruh umat manusia seperti yg tercantum dalam U.N Outer Space Treaty 1967? Atau malah memperkeruh rivalitas penguasan luar angkasa mengingat China bersama Rusia tidak tergabung dalam Artemis Accord yg diinisiasi oleh Amerika Serikat sejak tahun 2020?

Astropolitik

Everett C. Dolman (2001) menjelaskan astropolitik sebagai bentuk visi realis dari keberadaan kompetisi banyak negara terkait kebijakan antariksa (space policy). Negara – negara tidak hanya berkompetisi, namun juga terlibat pengembangan dan mempengaruhi tata kelola internasional mengenai keterlibatan manusia di luar angkasa.

Baca juga : Hulu Ledak Nuklirnya Bertambah, Jepang Cegat Tiongkok di Angkasa

Dolman memperkenalkan empat wilayah Antariksa yaitu Terra, Earth Space, Lunar Space dan Solar Space. Kompetisi di wilayah Earth Space sudah terlihat dengan banyaknya satelit komunikasi dan militer di ruang ini.

Astropolitik memiliki keeratan dengan kajian geopolitik, bahkan melengkapi. Geopolitik membahas tentang interaksi antar kelompok manusia dalam kaitannya dengan kekuasaan dan memperhatikan letak geografis yang dimilikinya. Sir Halford Mackinder menganut konsep kekuatan darat dengan Teori Heartland sementara Alfred Thayer Mahan membangun konsep geopolitik maritim (Sea Power). Keduanya memberikan teori yang kuat dan sangat berpengaruh pada kekuatan militer banyak negara.

Dinamika berikutnya adalah luar angkasa dilihat sebagai heartland atau power baru. Banyak negara bermunculan dan berkompetisi melakukan pengembangan teknologi untuk berlomba-lomba mendaratkan manusia di bulan dan bertempat tinggal di sana. Jika dilihat dari perpektif realis, beberapa negara sedang membangun dan membentuk negaranya menjadi ‘Space Power’ seperti yang dilakukan Amerika Serikat, China, dan Rusia.

Baca juga : Siapa yang Berhak Membangun Koloni di Bulan?

Nilai Strategis dan Ekonomi Bulan

Rivalitas luar angkasa tidak terhenti bersamaan dengan berakhirnya Perang Dingin. Bahkan, dorongan untuk mencapai keuntungan ekonomi dan strategis, khususnya di bulan semakin masif.

Banyak penelitian membuktikan kandungan mineral tinggi yang terdapat di bulan, termasuk juga besi, titanium oksida, juga helium-3 yang krusial untuk bahan bakar roket dan fisi nuklir. Selain itu, Bulan memiliki gravitasi 1/6 dari gravitasi bumi. Kondisi ini dapat membuat peluncuran di bulan akan lebih sedikit membutuhkan energi untuk meluncur ketimbang di bumi (japantimes, 10/23).

Jika meminjam Teori Dulman dalam pembagian ruang angkasa, maka tidak berlebihan jika Lunar Space adalah tempat strategis untuk penguasaan luar angkasa. Penguasaan wilayah ini akan memudahkan tata kelola satelit di ruang Earth Space dan pangkalan untuk eksplorasi lebih jauh lagi ke wilayah Solar Space. Sehingga koordinasi akan jauh lebih mudah jika permukaan bulan dapat dikuasai dan berperan sebagai pit stop.

Baca juga : Sampah Antariksa Tiongkok Seberat 20 Ton melintasi Sumatera bagian Selatan

Permasalahan muncul ketika AS dalam Artemis Accord tidak dapat mengajak China dan Rusia dalam inisiasi tersebut. Fakta ini menunjukkan bahwa rivalitas tetap muncul tidak hanya di bumi namun juga di luar angkasa dan bahkan sudah memasuki dimensi militer.

Banyak kebijakan negara-negara tersebut mencerminkan ketidaksamaan persepsi dalam pengelolaan luar angkasa. Bahkan lebih cenderung memunculkan dominasi atau bahkan yang ekstrim adalah hegemoni militer di ruang angkasa.

Rusia telah berhasil melakukan uji coba anti-satelit (ASAT) pada 2021 dengan menghancurkan satelitnya sendiri dan menghasilkan ribuan keping sampah antariksa (space debris) yang dapat membahayakan satelit lain dan astronot di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). Saat ini, Rusia dipercaya sedang mengembangkan dan akan menempatkan nuclear space weapon.

Baca juga : Tiongkok Bakal Dirikan Pangkalan Penelitian di Kutub Selatan Bulan

Sebelumnya, AS sendiri telah membentuk United States Space Force (USSF) pada 2019 sebagai bentuk desain ulang Angkatan udaranya. USSF akan menggelar latihan militer pertama di orbit bumi pada 2025 dengan nama Victus Haze dan melibatkan dua perusahaan yaitu Rocket Lab National Security dan True Anomaly.

Dinamika yang terjadi pada kedua negara tersebut memperlihatkan bahwa pendekatan militer sudah semakin nyata sebagai ancaman.

Kesadaran Antariksa Indonesia

Perkembangan keantariksaaan Indonesia sebetulnya tidaklah tertinggal jauh. Banyak lembaga yang secara khusus mengkaji pemanfaatan Antariksa bagi kepentingan Indonesia.

Salah satunya, kajian yang diinisiasi National Air and Space Power Center Indonesia (NASPCI) bekerja sama dengan Strategic ASEAN International Advocacy & Consultancy (SAIAC) dan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) dalam lokakarya Diplomatic Workshop (25/4) tentang peran penting satelit dan antariksa.

Ketua NASPCI Marsma TNI Dr. Penny Radjendra, S.T., M.Sc., M.Sc. menyampaikan pentingnya untuk membangun kesadaran Antariksa bagi masyarakat Indonesia. Selain itu, perlu dilakukan kolaborasi dengan berbagai pihak untuk mengembangkan teknologi dan pemanfaatan bersama antariksa.

Kesadaran antariksa ini penting untuk membangun kemampuan identifikasi kepentingan nasional kita di antariksa. Hal ini dapat dimulai dengan keselarasan pencapaian Visi Indonesia Digital 2045 dan pengembangan ekonomi digital 2030.

Pendekatan ekonomi adalah hal penting yang dapat dimulai untuk mengembangkan teknologi luar angkasa yang tidaklah murah dan mudah. Pelibatan sektor swasta sudah terbukti dilakukan AS dengan pelibatan SpaceX dan Blue Origin oleh NASA.

Tantangan yang dihadapi adalah pemerintah baru Indonesia yang terpilih memberikan gambaran menarik bagi calon investor untuk melirik teknologi ruang angkasa dengan potensi ekonominya (space economy). Starlink saat ini sudah hadir di Indonesia memberikan ruang khusus mengenai potensi dan keuntungan ekonomi yang didapat dari teknologi luar angkasa.

Saat ini, Indonesia juga sudah layaknya memulai dan membentuk space policy yang memuat visi antariksa Indonesia dalam jangka panjang untuk menghadapi ancaman militer dan non-militer di luar angkasa. Seperti China yang sedang mempercepat visinya dengan mewujudkan sosok Dewi Chang’e dalam mitologinya sebagai Dewi Bulan yang dirayakannya dalam Moon Festival setiap tahunnya.

Perlu diingat, nenek moyang kita adalah pelaut yang navigasinya mengandalkan antariksa dalam mengarungi samudera hingga benua Afrika sejak abad 5 M. (Z-8)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat