visitaaponce.com

Pemerintah Inginkan Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura Cepat Diratifikasi

Pemerintah Inginkan Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura Cepat Diratifikasi
Menteri Hukum dan HAM Yasonnal Hamonangan Laoly(MI/ADAM DWI )

PEMERINTAH akan mendorong percepatan ratifikasi perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan pemerintah terus berkomunikasi dengan DPR agar proses ratifikasi bisa segera diselesaikan. 

"Pemerintah akan mendorong percepatan proses ratifikasi dan kami percaya bahwa seluruh pihak terkait akan memiliki pandangan yang sama mengingat besarnya manfaat yang akan kita peroleh dalam upaya mengejar pelaku tindak pidana," ucap Yasonna, Rabu (2/2). 

Baca juga: Pakar: Perjanjian Ekstradisi tak Terkait Pengembalian Aset dari Singapura

Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura ditandatangani Yasonna Laoly dan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum Singapura K Shanmugam disaksikan Presiden Joko Widodo dan PM Singapura Lee Hsien Loong di Bintan, Selasa (25/1) pekan lalu. 

Yasonna menjelaskan meski perjanjian ekstradisi itu ditandatangani bersamaan dengan perjanjian Flight Information Region (FIR) dan Defense Cooperation Agreement (DCA), masing-masing tetap memiliki alur negosiasi dan proses ratifikasi sendiri-sendiri. 

Yasonna menegaskan perjanjian ekstradisi dengan Singapura penting dalam upaya mengejar pelaku tindak pidana yang melarikan diri. Menurutnya, Singapura merupakan negara yang selektif dalam membentuk perjanjian terkait ekstradisi. 

Meski Indonesia dan Singapura sama-sama merupakan anggota dari beberapa konvensi internasional, selama ini ekstradisi tak bisa dilakukan karena syarat utama dalam hukum nasional Singapura yakni adanya perjanjian bilateral. 

"Perlu dipahami bahwa selama ini upaya memulangkan pelaku tindak pidana yang melarikan diri ke Singapura maupun transit di Singapura, kandas karena tidak adanya perjanjian bilateral," ujar Yasonna. 

Dalam perjanjian ekstradisi tersebut, ada 31 jenis kejahatan yang disepakati antara lain tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme, serta korupsi. Tak hanya itu, perjanjian juga bersifat dinamis karena kedua negara sepakat untuk menggunakan prinsip open ended dalam menentukan jenis tindak pidana yang dapat diekstradisi. 

Prinsip itu disebut untuk mengantisipasi kejahatan lainnya di masa mendatang yang disepakati kedua pihak sehingga mekanisme ekstradisi dapat tetap dilaksanakan. Selain itu, dengan ketentuan retroaktif yang diperpanjang menjadi 18 tahun, ekstradisi dapat dimohonkan untuk para pelaku yang melakukan tindak pidana di masa lampau. 

"Jika perjanjian ekstradisi ini selesai diratifikasi dan disahkan dengan undang-undang, penegak hukum dapat langsung memanfaatkan mekanisme ini untuk mengejar pelaku tindak pidana. Tentunya, kami selaku central authority dari ekstradisi akan memberikan upaya terbaik untuk membantu menangani permohonan yang disampaikan," ujar Yasonna. (OL-6)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Astri Novaria

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat