visitaaponce.com

Pakar Perjanjian Ekstradisi tak Terkait Pengembalian Aset dari Singapura

Pakar: Perjanjian Ekstradisi tak Terkait Pengembalian Aset dari Singapura
Indonesia-Singapura(Ilustrasi)

ANGGOTA Dewan Pakar Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia Yunus Husein menegaskan perjanjian ekstradisi yang ditandatangani antara Indonesia dan Singapura tidak berimplikasi dengan pengembalian aset para buronan.

Menurutnya, perjanjian itu hanya untuk mengembalikan seseorang yang disangka atau dipidana melakukan kejahatan dari negara yang meminta.

"Peruntukan ekstradisi bukan untuk mengejar aset," kata Yunus saat dihubungi Media Indonesia, Rabu (2/2).

Hal tersebut juga sudah gamblang dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi. Oleh karena itu, Yunus menyebut pengembalian buronan dari Singapura ke Indonesia tidak otomatis beserta aset-aset yang disembunyikan di sana.

Apalagi jika otoritas Singapura tidak mau menyita aset buronan tersebut dan meyerahkannya ke Indonesia. Di samping itu, Yunus juga mempertimbangkan kemungkinan para buronan mengganti kewarganegaraannya menjadi Warga Negara Singapura.

"Mereka (Singapura) tidak akan menyerahkan warganya sendiri, itu ada pengecualian," jelasnya.

Baca juga:  KBRI untuk Singapura Serahkan Proses Ratifikasi Ekstradisi ke Parlemen

Sebelumnya, Direktur Upaya Hukum Eksekusi dan Eksaminasi (Uheksi) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus) Kejaksaan Agung Andi Herman mengatakan perjanjian ekstradisi akan mempermudah perampasan aset terpidana korupsi yang berada di Singapura.

"Dengan adanya perjanjian ekstradisi akan memberikan kemudahan lah, baik dari terpidana maupun dalam hal penyelesaian aset ya," ujar Andi saat ditemui di Gedung Bundar Kejagung, Jakarta, Rabu (26/1) malam.

Akan tetapi, Yunus menjelaskan, pengembalian aset milik buronan yang berada di Singapura dilakukan jaksa eksekutor melalui bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana atau mutual legal assistance (MLA) in criminal matters, bukan ekstradisi.

Mantan Kepala PPATK itu mengatakan proses MLA cenderung lama karena terlalu birokratis. Sebab, kekuasaan otoritas pusat berada di tangan Kementerian Hukum dan HAM.

"Karena Kemenkum HAM itu enggak punya kekuatan polisional, kekuatan upaya paksa. Tidak seperti polisi, jaksa," tukas Yunus.(OL-5)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat