visitaaponce.com

Momen Medali Emas

Momen Medali Emas
Suprianto Annaf Redaktur Bahasa Media Indonesia(Dok. Pribadi)

MEMBANGGAKAN. Greysia Polii dan Apriyani meraih medali tertinggi. Mereka mempersembahkan prestasi ini untuk negeri. Euforia kemenangan pun menyebar ke seantero negeri, termasuk ke hati politisi. Serta-merta pun mereka memasang strategi. Foto sang juara menjadi latar tempat politisi berdiri. Ya, mereka ikutan melabeli.

Secara tanda, baliho politikus mengirimkan pesan khusus. Foto yang terpampang berkorelasi dengan target politik yang digadanggadang. Implikatur pesannya pun menjadi bebas dan tak terbatas. Suara sumir publik pun meradang tanpa bisa dihadang.

Momen medali memang tidak datang saban hari. Dia hadir seperti oase setelah atlet berjuang. Sang juara pun akan menjadi idola untuk selamanya dikenang. Di momen inilah politisi pun beraksi. Mereka berjibaku agar diri dan partai bisa laku. Asumsi bahwa mereka berkontribusi dengan prestasi atlet menjadi pesan yang hendak dimiliki.

Laku politisi seperti ini kerap saja terjadi. Di setiap kesempatan mereka selalu saja menimpali. Apalagi, momen medali Gresyia dan Apriyani ini bergaung tinggi dan diapresiasi. Pucuk partai pun melihat peluang untuk menjadi fokus semua orang yang memandang. Salahkah mereka?

Sebagai tanda, baliho tidak memiliki hubungan langsung dengan makna di baliknya. Interpretasi masyarakat hanya reaksi saat menanggapi. Karena Greysia dan Apriyani atlet yang dimiliki negeri ini, siapa pun boleh mengapresiasi ketika keduanya meraih medali. Artinya, sah-sah saja politisi memberi apresiasi. Rasa bahagia karena Indonesia meraih satu emas boleh dimiliki siapa saja. Di media sosial seperti Facebook pun, banyak warganet memajang foto pribadi berlatar sang juara: Gresyia dan Apriyani.

Peristiwa bahasa, yakni antara tanda dan makna, di atas muncul karena memanfaatkan momentum dan peristiwa. Antara pengirim dan penerima pesan akan sejalan bila mereka berada dalam pengalaman yang sama. Artinya, tujuan politikus memasang fotonya berlatar belakang Greysia dan Apriyani akan sepaham dengan masyarakat bila keduanya memiliki dasar yang sama. Bila tidak, tentu saja akan berbeda. Di satu sisi, bisa saja politikus dengan tulus ikhlas ingin mengapresiasi Greysia dan Apriyani, tetapi di sisi lain ini sekadar sensasi untuk mendapat simpati.

Setidaknya politikus memanfaatkan momentum ini untuk menunjukkan eksistensi, mereka peduli, dan menyemangati atlet untuk selalu berprestasi. Apriori atas kehadiran pucuk partai di baliho saatnya dibuang jauh-jauh. Apa pun yang mereka perbuat tentunya menghadirkan manfaat. Pajangan spanduk di sepanjang jalan menandakan bahwa mereka masih ada. Masih ingin dipilih walaupun mereka bukan pilihan.

Dari baliho itu, memang tidak ada pesan yang eksplisit. Semua hanya serupa implikatur dengan makna menimpali. Kekuatan interpretasi hanya sebagai respons yang bersifat pribadi. Komentar dari masyarakat muncul sematamata respons spontan bahwa kehadiran baliho petinggi partai ada di luar arena.

Biasanya bendera partai muncul di saat tahapan kampanye, saat milad partai, atau saat rakernas. Di luar itu, akan menjadi ramai dikomentari bila identitas partai muncul di saat nebeng bantuan banjir, di saat vaksinasi, atau mengekor kesuksesan orang lain yang notabene tidak terkait langsung. Namun, itulah, antara momen dan peristiwa menjadi celah untuk semua bisa unjuk bahwa ‘partaiku ada’.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat