DNA Gurita Ungkap Jejak Dampak Perubahan Iklim di Antartika
Sebuah analisis baru yang diterbitkan Kamis (21/12) di Junal Science menemukan bahwa populasi gurita yang terisolasi secara geografis di Antartika, bebas berkembang biak sekitar 125 ribu tahun yang lalu. Temuan ini menandakan wilayah itu bebas es pada periode ketika suhu global sama dengan saat ini.
Temuan ini menunjukkan Lapisan Es Antartika Barat (WAIS) semakin cepat mencair seperti yang diperkirakan sebelumnya. “Hal ini berpotensi memicu kenaikan permukaan air laut sebesar 3,3-5 meter dalam jangka panjang jika dunia tidak mampu menahan pemanasan yang disebabkan oleh manusia hingga mencapai target 1,5 derajat Celcius,” kata tim penulis.
Penulis utama Sally Lau dari Universitas James Cook di Australia mengatakan kepada AFP bahwa sebagai ahli biologi evolusi yang berfokus pada invertebrata laut, dia memahami dan kemudian menerapkan DNA dan biologi sebagai proksi perubahan di Antartika di masa lalu.
Menurut dia Gurita Turquet menjadi kandidat ideal untuk mempelajari perubahan lapisan es, karena spesies ini ditemukan di seluruh benua dan informasi mendasar tentangnya telah terjawab oleh ilmu pengetahuan, seperti umurnya yang mencapai 12 tahun, dan fakta bahwa ia muncul sekitar empat juta tahun yang lalu.
Dengan panjang sekitar setengah kaki/15 sentimeter ( tidak termasuk lengan) dan berat sekitar 1,3 pon (600 gram), mereka bertelur relatif sedikit, namun tumbuh besar di dasar laut. Ini berarti orang tua harus melakukan upaya yang signifikan untuk memastikan anak mereka menetas -- sebuah gaya hidup yang mencegah mereka bepergian terlalu jauh.
Mereka juga dibatasi oleh arus laut melingkar, atau pusaran air, di beberapa habitat modern mereka.
Titik kritis
Dengan mengurutkan DNA di seluruh genom dari 96 sampel yang umumnya dikumpulkan secara tidak sengaja sebagai sampingan dari penangkapan ikan dan kemudian disimpan di museum selama 33 tahun, Lau dan rekannya menemukan bukti adanya jalur laut trans-Barat Antarktika yang pernah menghubungkan laut Weddell, Amundsen, dan Ross.
Sejarah pencampuran genetik menunjukkan bahwa lapisan es mencair pada dua titik berbeda. Pertama pada pertengahan Pliosen, 3-3,5 juta tahun yang lalu, yang sudah diyakini oleh para ilmuwan, dan yang terakhir pada periode yang disebut Interglasial Terakhir, suatu periode dari 129 ribu hingga 116 ribu tahun yang lalu (lihat peta).
“Ini adalah terakhir kalinya suhu bumi menjadi 1,5 derajat lebih hangat dibandingkan tingkat pra-industri,” kata Lau. Aktivitas manusia, terutama pembakaran bahan bakar fosil, sejauh ini telah meningkatkan suhu global sebesar 1,2C dibandingkan pada akhir tahun 1700-an. (AFP/M-3)
Terkini Lainnya
Peneliti Kembangkan Komputer yang Mampu Pahami Emosi Manusia
Peneliti OceanX Temukan Rangkaian Gunung Bawah Laut Indonesia
Ini yang Harus Diketahui Orangtua Ketika Anak Perempuannya Alami Menstruasi Lebih Awal
Indonesia Berpotensi Jadi Pusat Data Genomik Kesehatan Global
Bea Cukai Gratiskan Bea Masuk Barang Impor untuk Keperluan Penelitian, Ini Prosedurnya
Mengapresiasi Mindfulness
Arti Kemenangan Prabowo Subianto dan Vladimir Putin
Tantangan Pendidikan di Indonesia
Membenahi Pola Tata Kelola PTN-BH
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap