visitaaponce.com

Berkurban untuk Berkorban

HARI Raya Idul Adha merupakan hari ketika umat Islam melaksanakan ibadah berkurban bagi yang mampu sebagai wujud ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ibadah tersebut mengandung makna yang lebih mendalam ketimbang sekadar menyisihkan harta untuk berkurban kambing, sapi, unta, atau hewan ternak lainnya.

Dalam ibadah yang kental dengan spirit pengorbanan itu ada prinsip kesetaraan dan semangat berbagi. Setelah hewan kurban disembelih, sebagian daging hewan akan diserahkan kembali ke orang yang berkurban.

Sisanya, dibagi-bagikan kepada orang-orang di sekitar, khususnya keluarga yang tidak mampu, baik muslim maupun nonmuslim. Semua orang di lingkungan orang-orang yang berkurban bisa bersama-sama menikmati daging hewan kurban.

Prinsip kesetaraan tersebut merupakan kepanjangan dari prinsip serupa yang dijunjung dalam prosesi puncak haji, yakni wukuf di Padang Arafah. Ketika wukuf, semua jemaah bukan hanya memakai pakaian yang serupa dalam kebersahajaan, melainkan juga di hadapan Sang Penguasa Alam, mereka semua setara. Yang membedakan hanya derajat keimanan dan ketakwaan.

Wukuf selalu diikuti dengan pelaksanaan penyembelihan kurban dari dam atau denda berupa hewan kurban yang diserahkan jemaah haji. Di hari yang sama pula hingga batas tiga hari berikutnya, umat muslim di seluruh dunia dianjurkan berkurban.

Spirit pengorbanan idealnya juga tidak lepas dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Berkorban berarti merelakan apa yang menjadi kesayangan atau bahkan mengeyampingkan ambisi pribadi demi kepentingan yang lebih luas.

Para elite semestinya memberikan teladan pengorbanan untuk kemaslahatan rakyat. Bukan malah sebaliknya, menjadikan rakyat sebagai korban dari perilaku yang kerap menuntut privilege atau keistimewaan khusus.

Kita ingatkan kembali, perekonomian rakyat tidak sedang baik-baik saja. Indikator ekonomi makro memang menunjukkan angka-angka yang cukup baik atau jika menurut Presiden Joko Widodo, 'perekonomian nasional sedang segar'. Namun, nyatanya puluhan juta wajah rakyat masih lesu. Jumlah hewan kurban yang disembelih tahun ini di seantero negeri, misalnya, menurun bila dibandingkan dengan Idul Adha tahun lalu. Itu cermin melemahnya daya  beli.

Sebagian masyarakat menengah maupun kelompok ekonomi bawah terimpit oleh pergerakan harga-harga pangan yang bak roller coaster. Ditambah tekanan biaya pendidikan untuk anak-anak yang masih ditambah prospek berbagai potongan upah yang jelas akan semakin menggerus daya beli. Di sisi lain, nyaris tidak ada perbaikan di sisi pendapatan karena penaikan upah minimum yang sangat tipis.

Di tengah kehidupan perekonomian rakyat yang masih berat, seruan berkurban sangatlah selaras. Lewat spirit Idul Adha, masyarakat menguatkan semangat berbagi dan menebalkan toleransi. Dalam spirit itu pula para elite, termasuk penguasa, dituntut lebih peka terhadap potensi kebijakan atau langkah-langkah politik yang mengorbankan rakyat.

Seperti makna Idul dari bahasa Arab yang berarti 'kembali' dan Adha yang artinya 'kurban', spirit pengorbanan dengan segala hikmah yang menyertainya harus kembali dilaksanakan, bahkan terus diulang. Bagi masyarakat, Idul Adha terus mengasah kepekaan sosial dan bagi para pemimpin agar lebih bijak mengelola kepentingan rakyat.  
 



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat