visitaaponce.com

Menanti Pembuktian, bukan Keluhan

CITRA buruk sebuah lembaga pemerintahan di mata publik hampir selalu disebabkan oleh kinerja yang buruk atau akibat perilaku tercela pegawainya. Persepsi negatif masyarakat makin tinggi ketika pegawai yang problematik itu makin banyak.

Lebih-lebih bila yang melakukan perbuatan tercela merupakan unsur pimpinan. Ini selaras dengan peribahasa 'karena nila setitik, rusak susu sebelanga'. Pendeknya, hubungan sebab-akibat sosok pimpinan yang mencoreng nama baik dengan citra lembaganya bukan hal yang aneh.

Yang aneh ialah ketika ada pimpinan lembaga yang bersangkutan yang merasa heran citra lembaganya tidak kunjung membaik. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata, misalnya, mengeluh KPK kini ditinggalkan masyarakat. Ia bingung mengapa masyarakat memvonis KPK buruk dalam kinerja hanya gara-gara satu orang.

Bukan hanya menafikan pengaruh pimpinan, Alexander juga lupa bahwa masalah tergerusnya kepercayaan institusi antirasuah itu bukan semata karena ulah satu orang. Publik mudah menebak, satu orang yang ia maksud ialah Firli Bahuri. Mantan Ketua KPK itu sudah genap tujuh bulan menjadi tersangka kasus dugaan pemerasan terkait dengan penanganan perkara korupsi oleh KPK.

Kita perlu ingatkan lagi kepada Alexander bahwa dalam kepemimpinan komisioner KPK periode saat ini bukan hanya Firli yang berulah. Ada Lili Pintauli yang diproses ke sidang etik karena diduga menerima gratifikasi. Sungguh beruntung Lili terhindar dari vonis sidang etik sekaligus jerat pidana karena cepat-cepat mengundurkan diri dari KPK.

Selain keduanya, setidaknya satu komisioner yang juga problematik. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menggugat anggota Dewas Albertina Ho ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta karena tidak terima ia diproses dalam perkara dugaan pelanggaran etik.

Ghufron disebut menggunakan pengaruh untuk mengintervensi mutasi pegawai di lingkungan Kementerian Pertanian. Ghufron yang sempat beberapa kali mangkir dari sidang pemeriksaan Dewas juga melaporkan sejumlah anggota Dewas KPK ke Bareskrim Polri.

Ia 'terselamatkan' oleh putusan sela PTUN yang memerintahkan penundaan pemeriksaan Dewas KPK terhadap Ghufron sampai gugatan di PTUN berkekuatan hukum tetap. Sangat mungkin Ghufron terhindar dari vonis Dewas karena proses sidang di PTUN bisa melampaui sisa masa jabatannya di KPK yang akan berakhir pada Desember mendatang.

Walau begitu, tidak bisa dimungkiri ulah Ghufron turut menambah panjang catatan buruk KPK. Jadi, mestinya tidak perlu heran bila kepercayaan publik terhadap KPK tidak kunjung terangkat. Di satu sisi, internal KPK begitu kuat diterpa persoalan integritas. Di sisi lain, bisa dibilang tidak ada gebrakan signifikan kinerja lembaga itu dalam pemberantasan korupsi.

Setelah serentetan hasil survei dari berbagai lembaga, survei terbaru yang dirilis Litbang Kompas pekan lalu masih menempatkan KPK di posisi terbuncit. KPK, meski masih dipercaya oleh separuh responden, merupakan lembaga yang mendapat kepercayaan paling rendah, di bawah DPR RI.

KPK juga belum bisa membalikkan anggapan telah menjadi alat penguasa dan dipandang pilih-pilih target penindakan. Persepsi publik yang sudah telanjur melekat tentu saja tidak mudah diluruhkan. Namun, ketimbang menangkis sana-sini, lebih baik KPK bekerja lebih keras mengangkat kembali citra lewat kinerja yang luar biasa.

KPK perlu memulainya dengan benar-benar menangkap Harun Masiku, tersangka kasus suap komisioner KPU yang telah empat tahun menjadi buron KPK. Bukan sekadar menggertak atau mengumbar janji. Alex Marwata sendiri yang sempat berharap Harun Masiku bisa ditangkap dalan kurun sepekan. Publik mencatat harapan itu setara janji.

Publik juga menantikan operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang menjerat koruptor kelas kakap tanpa tebang pilih. OTT semacam itu bukan hiburan, malah bisa jadi satu-satunya bentuk pembuktian KPK yang dapat merebut kembali kepercayaan publik.

 



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat