visitaaponce.com

Antisipasi Tren Penurunan Produksi Beras Menghadapi El Niño

Antisipasi Tren Penurunan Produksi Beras Menghadapi El Niño
: Petani menggunakan alat bantu mekanis saat memanen padi di areal persawahan Desa Laeya, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Minggu (9/7)(Antara)

CENTER of Reform on Economics (CORE) Indonesia mengatakan, padi sebagai komoditas yang penting bagi Indonesia, akan menghadapi iklim El Niño pada Agustus 2023. Dia mengatakan kondisi ini perlu diantisipasi, meski peristiwa El Niño memberikan hasil yang berbeda-beda.

Misalnya pada 2006 Indonesia menghadapi El Niño lemah tapi turunnya produksi pertanian relatif tajam, sekitar 5,8%.

Lalu pada 2011, Indonesia menghadapi La Nina, iklim kemarau basah yang kuat, tapi justru sangat besar penurunan produksi pertanian Indonesia sampai 10,5%. Akibat La Nina sejak 2007, proses penanaman padi berlangsung terus-menerus selama hampir 4 tahun. Akibatnya di 2011, produksi padi langsung drop karena serangan hama yang amat besar.

Lalu iklim El Niño datang di 2015 dengan sangat kuat, tapi penurunan produksi padi relatif rendah hanya 0,4%. Di 2019, El Niño kondisinya lemah tapi penurunan produksi padi relatif tinggi 7,7%.

Pada 2020-2022 Indonesia mengalami iklim kemarau basah La Nina kembali, tapi tidak mampu meningkatkan produksi padi. Pada 2020 produksi padi hanya 0,09%, pada 2021 produksi turun 0,42%, dna pada 2022 produksi naik 0,61%.

"Selama pemerintahan saat ini tahun 2015-2022, catatan penting kita produksi padi kita menurun 0,23% per tahunnya," kata Associated Researcher Center of Reform on Economics (CORE) Dwi Andreas, pada Midyear CORE Indonesia 2023, Kamis (27/7).

Produksi padi di kuartal I-2023, dari Januari sampai April, berbasis data perhitungan BPS 1 Maret 2023, dengan panen baru di Januari, sedangkan Februari, Maret, dan April diprediksi dari luas tanam, pada saat itu diprediksi produksi beras Indonesia akan naik 0,56%, dibandingkan 2022.

Tetapi setelah data panen muncul, dari Februari, Maret dan April, angka riilnya ternyata turun. Jadi produksi padi turun sebesar 2,5%. "Lalu bulan Agustus kita akan memasuki El Niño. Jadi beberapa hal itu perlu kita antisipasi," kata Dwi.

Produksi padi justru merosot ketika 3 tahun berturut-turut Indonesia mengalami La Nina. Dia perkirakan penyebab terbesarnya adalah turunnya harga gabah di tingkat pusat tani.

"Dari Agustus 2019, sampai Juni 2022 produksi padi terjun bebas, dan menghasilkan nilai tukar petani (NTP) tanaman rata-rata tahun 2021 sampai 2022 itu hanya 98,5. Artinya tanam padi itu rugi. Ketika menanam padi itu rugi, petani malas juga menanam padi," kata Dwi.

Ini yang membuat mengapa ketika iklim amat menguntungkan, tapi kinerja produksi padi relatif tidak mendukung, dengan tidak ada kenaikan produksi sama sekali.

Sedangkan untuk impor beras, rata-rata tahunannya sekitar 800.000 ton - 1.000.000 ton sepanjang paling tidak 20 tahun terakhir ini.

Pada 2019-2021, pemerintah tidak impor beras sama sekali tapi dampaknya di 2022, stok beras Bulog sangat rendah di Desember 2022, yang akhirnya 2022 pemerintah kembali memutuskan impor beras 500.000 ton.

Di 2023, untuk mengantisipasi El Niño, pemerintah merencanakan mengimpor 2.000 000 ton beras. Sehingga totalnya kalau dihitung dari akhir Desember 2022 dan tahun 2023, direncanakan impor beras 2,5 juta ton, dengan sekitar 1 juta ton beras sudah masuk.

Posisi Bulog per 25 Juli 2023, stok beras bulog 802.428 ton, terdiri atas cadangan beras pemerintah (CBP) 744.454 ton dan stok komerisal 57.974 ton.

CBP ini tersusun dari serapan dalam negeri sebesar 222.075 ton dan stok yang tadi dari impor masih ada sekitar 520.684 ton. "Stok Bulog ini jauh dari harapan," kata Dwi.

Alasannya, untuk serapan dalam negeri, Bulog sebenarnya sudah diminta menyerap 2,4 juta ton pada 2023. Tapi nanti ternyata yang mampu diserap Bulog sekitar 700 ribu ton. Sehingga Bulog sekarang amat sangat tergantung dari stok dari luar negeri.

"Ini yang menjadi masalah bagi kita bersama. Semoga sampai akhir tahun, Bulog memiliki stok minimum 1,5 juta ton. Supaya akhir tahun 2023 dan awal tahun 2024 harga beras tidak akan naik terlalu signifikan," kata Dwi.

Berkaca pada kuartal I-2023, neraca perdagangan komoditas pertanian menunjukan tren penurunan untuk ekspor, turun relatif tajam US$14 miliar ke US$11,2 miliar. Kinerja impor turun namun lebih kecil.

Penurunan ekspor komoditas pertanian kuartal I-2023 terjadi dibandingkan pada 2022, maka tentu pendapatan dari komoditas pertanian juga menurun.

"Tren di kuartal I-2023 akan menjadi cermin kondisi yang sesungguhnya di 2023, dalam arti ekspor akan turun, impor juga akan turun walaupun lebih kecil dan neraca perdagangan juga akan menurun," kata Dwi.

Pada neraca perdagangan komoditas pertanian yang nonperkebunan, tidak ada perubahan yang relatif signifikan, baik terkait impor maupun ekspor dan neraca perdagangannya.

"Jadi besar minus defisit neraca perdagangan tahun 2022 dengan kuartal I-2023 ini hampir mirip," kata Dwi.

Padahal kinerja komoditas dalam pertanian di Indonesia secara keseluruhan sampai 2022, mengalami pertumbuhan yang relatif signifikan. Ekspor sektor pertanian mencapai US$44,27 miliar, lebih tinggi dibanding 2020 maupun 2021 dengan neraca perdagangan yang mencapai US$18,5 miliar surplusnya.

Namun surplus perdagangan komoditas pertanian Indonesia sangat tergantung kepada kelapa sawit sekitar 70%, dan sisanya 30% adalah produk perkebunan.

Namun bila sektor perkebunan dihilangkan, terlihat dalam tempo 10 tahun (2013-2022), terjadi lonjakan impor yang cukup besar dari US$10 miliar ke US$18,6 miliar.

"Ini menyebabkan neraca perdagangan menjadi minus cukup besar dari tahun 2013 yang hanya US$8,9, menjadi minus US$16,2 miliar atau sekitar Rp243 triliun di tahun 2022," kata Dwi. (E-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Heryadi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat