visitaaponce.com

Masih Rendah Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan di Indonesia

Masih Rendah Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan di Indonesia
Ilustrasi.(MI/AGUS MULYAWAN)

RENDAHNYA partisipasi angkatan kerja perempuan pada ekonomi sampai sekarang masih berlanjut. Pernikahan dan melahirkan menurunkan partisipasi perempuan dari sisi penawaran. Diperkirakan lebih dari 46% perempuan tidak bekerja setahun setelah kelahiran anak pertama mereka.

"Kebijakan tempat kerja yang tidak fleksibel dan diskriminasi dapat menurunkan permintaan. Pergeseran dari perekonomian agraris ke perekonomian industri telah mengurangi partisipasi perempuan karena perempuan lebih cenderung bekerja di pertanian keluarga dibandingkan di kota," kata kata CEO S.ASEAN International Advocacy & Consultancy, Shanti Shamdasani, dalam Simposium Perempuan Pra-Kongres III DPP Partai NasDem, Jumat (21/6).

Pada saat yang sama, perubahan norma-norma sosial mungkin telah meningkatkan tingkat partisipasi dan menyeimbangkan dampak transisi industri. "Dulu kalau di sektor pertanian tingkat partisipasi perempuan lebih tinggi dan terjadi perubahan norma sosial. Satu hal yang penting dari sini ialah norma sosial atau budaya patriarki yang belum ada rumus dan strategi mengatasi permasalahan ini yang memengaruhi segala bidang," ungkapnya.

Baca juga : Lisda, Tokoh Perempuan NasDem Sumbar Dijagokan Jadi Cagub

Ketimpangan gender di Indonesia juga belum selesai. Padahal dampaknya bisa terjadi pelanggaran hak asasi pada kelompok perempuan. Dampak lain ialah memengaruhi kualitas pembangunan. Jika dilihat perbandingan pendidikan yaitu laki-laki 42,6% dan perempuan 37,6%.

Kemudian tingkat partisipasi angkatan kerja dari laki-laki berjumlah 84% dan perempuan 54%. Sekitar 64% perempuan tidak masuk di sektor publik atau bekerja. Apalagi ketimpangan disparitas dalam kesetaraan gender masih ada lima daerah tertinggi antara lain Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Papua, Sulawesi Tenggara, dan NTB.

Adapun terobosan kebijakan yang dibutuhkan seperti program yang mengubah budaya patriarki dalam masyarakat di lembaga-lembaga pendidikan, pemerintahan, tempat kerja, dan rumah tangga. Shanti mencontohkan dengan memberikan hak cuti pengasuhan anak pada laki-laki karena peran laki-laki juga dibutuhkan dalam membangun rumah tangga. Selanjutnya penyediaan tempat penitipan anak yang mudah diakses, afirmatif action untuk perempuan di semua bidang pekerjaan.

Baca juga : 5 Cara Menghilangkan Stretch Mark setelah Melahirkan

"Misalnya dalam bentuk proporsi minimal perempuan di semua bidang pekerjaan, kemudahan akses perempuan terhadap kredit/modal/layanan finansial, lahan, ruang usaha, hingga kampanye media secara berkesinambungan. Ini diharapkan dapat mengurangi beban ganda perempuan dan mendorong perubahan pembagian kerja yang lebih adil gender di sektor domestik dan publik," ungkap Shanti.

Di sektor hukum dan kebijakan juga bisa membuat dan memperkuat aturan yang masih lemah dalam menjamin kesetaraan gender. Dengan begitu diharapkan ini dapat meningkatkan akses perempuan terhadap pendidikan berkualitas dengan berbagai program dan kebijakan.

Contohnya, pelaksanaan secara serius wajib belajar 12 tahun, beasiswa bagi perempuan dari kelompok miskin, fasilitas asrama bagi perempuan, program peningkatan keterampilan, dan lainnya. "Sementara itu perlu dibentuk program prioritas/khusus untuk daerah-daerah dengan ketimpangan gender tinggi, termasuk penegakan hukum dan peningkatan hukuman terkait tindak pidana kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual," pungkasnya. (Z-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat