Pertanian Berkelanjutan Indonesia Masih Tertinggal Dibandingkan Ethiopia
PENELITI Center of Reform on Economic Center of Reform on Economics (CoRE), Eliza Mardian menyatakan berdasarkan indikator Food Sustainability Index (FSI), Ethiopia memiliki skor yang baik di salah satu indikator, yakni pertanian berkelanjutan.
"Ethiopia bahkan ranking ke-23 dari 78 negara, sementara Indonesia berada di peringkat 71 dari 78 negara. Sangat jauh dibandingkan Ethiopia, pertanian di Indonesia dapat dikatakan kurang berkelanjutan," ucap Eliza saat dihubungi pada Senin (24/6).
Di Ethiopia, sambung dia, sub indikator pertanian berkelanjutan yang mempunyai nilai yang hampir sempurna atau nilai 100 diantaranya manajemen pengairan atau irigasi, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, biodiversitas dan keberlanjutan lahan.
Baca juga : Antisipasi El Nino, Padi Gogo Dikembangkan di Rejang Lebong
"Water manajemen di Indonesia bahkan skornya 0. Manajemen irigasi ini sangat krusial bagi pertanian karena tanaman membutuhkan air yang memadai," terang Eliza.
Lebih lanjut, Eliza menjelaskan bahwa beberapa sub indikator pertanian berkelanjutan Indonesia yang berada dibawah Ethiopia yakni subsidi pertanian, investasi di pertanian berkelanjutan serta resiliensi terhadap perubahan iklim.
"Ethiopia punya dukungan politik yang kuat untuk bisa menerapkan pertanian berkelanjutan. Kebijakan dan program pemerintahnya yang fokus pada pertanian berkelanjutan membantu meningkatkan adopsi praktek-praktek yang lebih berkelanjutan yang berdampak pada terjaganya keseimbangan ekosistem," ungkap dia.
Baca juga : Dua Hektare Siap untuk Pembibitan Pisang Cavendish di Mamuju
"Berbeda dengan Indonesia yang belum utuh menerapkan praktik pertanian berkelanjutan," sambungnya.
Eliza menyebut, manajemen air atau pengairan menjadi kunci dalam pertanian berkelanjutan, sementara irigasi Indonesia saat ini mayoritas rusak berat akibat kurang terurus, pendangkalan, tersumbat akibat pembangunan infrastuktur atau perumahan dan lain-lain.
"Dari sisi anggaran pun pemerintah untuk merevitalisasi irigasi yang rusaknya sudah sistemik ini kurang memadai, jadi petani kita bergantung kepada air hujan dan air sungai, namun sungai ini ongkosnya mahal karena harus mengeluarkan biaya untuk membeli solar untuk pompa," jelas dia.
Baca juga : Konversi Lahan Tambang untuk Pertanian demi Ketahanan Pangan
Pemerintah, lanjut dia, bisa melakukan kolaborasi antar stakeholder untuk bersama-sama membangun pertanian berkelanjutan. Selain itu, petani juga harus terlibat secara aktif dalam pengembangan teknologi dan praktek pertanian berkelanjutan.
"Hal ini membantu dalam meningkatkan hasil pertanian dan mengurangi biaya produksi. Petani jangan jadi objek, tapi jadi subjek dalam hal pengembangan teknologi. Pemerintah dapat memfasilitasi untuk peningkatan dan penerapan R&D serta mendorong adanya transfer of knowledge kepada petani agar mereka berkembang dan mandiri," pungkasnya.
(Z-9)
Terkini Lainnya
Korban Tewas Banjir di Kenya Mengganda Menjadi 120 orang
Universitas Budi Luhur Gelar Forum Pemuda Indonesia-Ethiopia
Konferensi PBB Gagal Penuhi Target US$7 Miliar untuk Afrika
Amnesty Internasional Sebut 2022 Tahun Perang, Lebih Banyak Orang Ditindas
PBB: Setengah dari Pengemudi WFP yang Ditahan di Ethiopia Sudah Dibebaskan
Kemitraan dan Kualitas Pendidikan
Ketahanan Kesehatan Global
Membumikan Diskursus Islam Indonesia di Inggris Raya
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Huluisasi untuk Menyeimbangkan Riset Keanekaragaman Hayati di Indonesia
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap