visitaaponce.com

API Jateng Beri Sinyal Kebangkrutan Industri Tekstil dan PHK Massal

API Jateng Beri Sinyal Kebangkrutan Industri Tekstil dan PHK Massal
Para praktisi industri tekstil dalam negeri mendiskusikan nasib terpuruk industri TPT di Solo.(MI/Widjajadi)

ASOSIASI Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah memberikan sinyal kebangkrutan industri tekstil dan produk tekstil yang berbuntut PHK massal. Ini seiring munculnya regulasi pemerintah yang melonggarkan keran impor belakangan ini.

Menurut Wakil Ketua API Jawa Tengah, Liliek Setiawan, munculnya kebijakan pelonggaran kran impor yang termaktub dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 sebagai revisi Permendag 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor yang menyederhanakan proses persyaratan pelepasan kontainer bisa menjadi pemicu kebangkrutan industri tekstil dan produk tekstil dalam negeri. 

Permendag baru yang berlaku sejak pertengahan Mei lalu memunculkan pengubahan persyaratan yang hanya bertumpu pada laporan surveyor. Hal itulah yang akan mengakibatkan Indonesia banjir impor 4.000 kontainer TPT. "Pesan kami kepada pemerintah, jangan malah melonggarkan keran impor," papar Lilik Setiawan dalam diskusi pelaku industri tekstil di Kampus AK Tekstil Surakarta, kawasan Jebres, Selasa (25/6).

Baca juga : Kemenperin Dalami PHK Massal di Sritex

Hal sama diungkapkan pelaku industri tekstil, Horison Silaen. Kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mengancam banyak pabrik. Jika pemerintah tidak hadir, dalam waktu dekat akan muncul PHK massal secara masif di sektor pertekstilan. "Bila negara tidak segera hadir melakukan proteksi, PHK ratusan ribu karyawan di industri tekstil yang padat karya itu mengancam di depan mata," kata dia. 

Baik Liliek maupun Horison menyebutkan bahwa praktik predatory pricing yang menjadi bagian strategi ilegal menjual barang di bawah harga untuk tujuan monopoli juga semakin memanaskan pasar TPT. "Secara alamiah konsumen akan mencari penjual yang membanderol barang dengan harga murah. Secara garis besar, perilaku predatory pricing memberikan banyak dampak merugikan bagi semua pihak," imbuh Lilik Setiawan. 

Di Indonesia, praktik perdagangan dengan sistem tersebut sebenarnya sudah mendapatkan peringatan keras dari Kemenkop dan UMKM. Namun di lapangan masih terus terjadi.

Progres relokasi pabrik dari Jawa Barat ke Jateng tidak kunjung terealisasi sejak 2023. Ini masih ditambah ancaman 4.000 kontainer impor TPT. "Ribuan kontainer dari luar yang tertahan di Pelabuhan Tanjuk Priok dan Tanjung Perak dapat segera dirilis. Ini jelas memunculkan dampak yang parah di sektor tektil dalam negeri," ujarnya. 

Sejauh ini, API melihat tidak ada bangunan komunikasi secara utuh antara stakeholders dan industri tekstil. Karena itu mendesak dilakukan komunikasi dan sinergi komprehensif untuk menyelamatkan industri TPT nasional yang sedang dalam situasi kritis pada 2024. (Z-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat