visitaaponce.com

Catatan Orang-Orang yang Diasingkan

Catatan Orang-Orang yang Diasingkan
Kartaprawira, salah seorang eksil yang kini menetap di Belanda(Dok. Lola Amaria Production)

KETIKA hadir sejak awal Februari di sejumlah layar bioskop nasional, film dokumenter Eksil garapan sutradara Lola Amaria menguak kembali ingatan kolektif bangsa ini: Indonesia pada 1965.

Kemunculan Eksil menambah deretan film yang menjadi catatan seputar tragedi yang terjadi pada masa tersebut. Satu dasawarsa lalu, ada Senyap (2014, Joshua Oppenheimer), dokumenter yang berpusar pada peristiwa pembantaian massal pada 1965. Di ranah film fiksi, ada Surat dari Praha (2016, Angga Dwimas Sasongko) yang juga dijadikan sebagai materi Simposium 1965. Lainnya, dokumenter eks tahanan politik Pulau Buru Tanah Air Beta (2016, Rahung Nasution) yang dalam perilisannya mendapat represi dari negara.

Eksil, yang berdurasi sekitar 2 jam, lebih dulu tayang dan menang di program Kompetisi Panjang Indonesia di Festival Film Dokumenter 2023. Ia juga memenangi anugerah kategori film dokumenter panjang terbaik di Festival Film Indonesia 2023. Eksil menjadi sumber baru bagi publik untuk menelusuri arsip-arsip yang tak terpublikasikan tentang apa yang terjadi pada 1965 dan setelahnya, cerita dari para mahasiswa Indonesia yang pada masa itu diasingkan dan terpaksa hidup di negeri orang tanpa memiliki status kewarganegaraan sebab paspor mereka dicabut pemerintah Indonesia.

Baca juga : Pesta Uji Coba Mobil dan Motor Terkini Meriahkan IIMS 2024

Eksil berbicara dari sudut pandang si pembuat, dengan masuknya narasi sang sutradara. Titik berangkat yang dipilih sekaligus juga turut menjadi cara untuk mendekatkan ke audiensnya yang mungkin masih asing dengan catatan tak tertulis pada kronik sejarah negara kita. Sudut pandang si pembuat itu lalu berangsur menepi untuk memberikan ruang penceritaan oleh subjeknya.

Film dibuka dengan nukilan puisi salah seorang eksil, Chalik Hamid. 'Kuburan kami ada yang berbatu nisan, ada yang tanpa batu pengenal, ada pula yang hilang lenyap ditelan hujan'. Dari Ceko ke Belanda, dari Swedia lalu pulang ke Sumatra. Eksil, seperti beberapa film-film tentang para korban kekerasan 1965 lainnya, menggunakan metode partisipatoris. Bagaimana si pembuat film datang sebagai pewawancara sekaligus peneliti subjek-subjek yang dihadirkan ke dalam kamera.

Lola mendatangi 10 eksil yang menetap di beberapa negara, utamanya di Eropa, untuk merekam cerita kehidupan mereka. Mereka ialah sebagian mahasiswa yang menjadi exile, terasing, akibat kebijakan Orde Baru yang merepresi siapa pun yang punya kedekatan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan simpatisan Presiden Pertama RI Sukarno. Para mahasiswa itu, di antaranya selain memang ada yang kader PKI, berangkat ke luar negeri karena program beasiswa di era Sukarno.

Baca juga : 21 Rekomendasi Film Semi Korea dengan Adegan Panas yang Menggoda

Selama 2 jam, gambar-gambar dijahit dari penuturan para eksil tersebut. Narasi Lola hanya sekali-sekali muncul. Meski metode yang dipilih ialah partisipatoris, susunan gambar yang disunting Shalahuddin Siregar (Negeri di Bawah Kabut, Pesantren) menunjukkan gaya dokumenter kreatif lewat sekuens-sekuens yang meski sedikit, memanfaatkan rekaman latar tempat para eksil tersebut tinggal, hingga penggunaan metode observasional untuk mengintip rutinitas yang dilakoni subjek.

Penggunaan arsip lama seperti penunjukan Jenderal Soeharto sebagai menteri oleh Sukarno, kerusuhan ‘65 juga ‘98, serta gabungan animasi memperkaya gaya tutur dokumenter ini. Hasilnya gambar yang muncul bukan sekadar komposisi orang yang diwawancara.

Ada satu catatan yang cukup ekspresif ketika film masuk ke bagian tentang seberapa lama para eksil tersebut tidak pulang ke Indonesia dan akhirnya tiba waktunya masing-masing dari mereka berkesempatan pulang ke Tanah Air. Shalahuddin menyusun gambar dengan gaya penyuntingan ala konten media sosial seperti tren reels A Day in My Life atau rangkuman yang terjadi selama setahun, yang biasanya dibagikan para pengguna medsos pada akhir atau awal tahun. Cara tersebut dipilih tampaknya untuk menunjukkan waktu berjalan begitu cepat, tetapi sebenarnya begitu panjang, hingga para eksil akhirnya bisa kembali pulang.

Baca juga : Nuon Jajaki Bisnis Baru dalam Hiburan Digital

 

Keping sejarah untuk digelorakan

Kemunculan film-film tentang narasi ‘65 tidak jarang disertai kontroversi di luar filmnya, seperti yang terjadi pada film-film yang disebut pada bagian awal tulisan ini. Eksil, mungkin juga karena keterbatasan jumlah layarnya, rilis dengan cukup aman. Konteks tentang penerimaan suatu karya juga menjadi penting untuk mengiringi perjalanan film tersebut. Terlebih bagi film-film yang berbicara perihal kronik sejarah dan situasi politik Indonesia.

Baca juga : Episode Perdana 'Chuang Asia Thailand' Disambut Antusias Penonton

Film ini masuk di jaringan bioskop nasional beberapa hari jelang pelaksanaan Pemilu 2024. Di salah satu bagian, salah satu eksil bertutur, Orde Baru masih ada sampai saat ini, hanya jasnya yang berbeda. Menarik mencermati bagaimana komentar itu masih terasa relevan dengan kondisi saat ini kendati pernyataan tersebut direkam bertahun-tahun lalu, saat film itu diproduksi medio 2015. Keping sejarah dalam film Eksil tersebut menjadi catatan untuk terus digelorakan.

Dengan masa produksi yang begitu panjang, beberapa eksil yang muncul di film itu telah wafat. Sardjio Mintardjo, salah satunya, wafat tiga bulan sebelum film diproduksi. Asahan Aidit, juga Kuslan Budiman, wafat sebelum film sempat tayang publik.

Kebijakan tentang pemulangan dan pemulihan nama baik eksil sesungguhnya sudah berjalan sejak era Presiden Gus Dur meski, menurut eksil Hartoni Ubes, upaya pemerintah tidak seperti harapan. Puluhan tahun mereka hidup dalam status tidak memiliki kewarganegaraan. Akibatnya, mereka harus hidup dalam serba ketidakpastian. Pekerjaan hingga kehidupan domestik rumah tangga turut terdampak. Walakin, para eksil tersebut dengan setia menabung harapan untuk tetap bisa meraih kembali status warga negara Indonesia meski ada pilihan untuk mengambil kewarganegaraan lain.

Baca juga : Teror Kecantikan Keabadian di Film Horor Lampir

Eksil menjadi catatan yang patut untuk diselamatkan sebagai upaya merawat ingatan dan menagih negara meminta maaf atas pelanggaran HAM terdahulu. Upaya rekonsiliasi yang tak kunjung hadir, perampasan hak yang menceraiberaikan kehidupan para individu, trauma generasional yang diwariskan, dituturkan begitu emosional dengan jalinan cerita dan gestur yang meremukkan pemikiran untuk merefleksikan tentang sejarah yang terasing dari narasi utama negara.

Presiden Jokowi, meski telah mengakui 12 pelanggaran HAM berat masa lalu, belum menyentuh pelaku kekerasan peristiwa ‘65. Pengakuan pelanggaran HAM berat pada masa itu tampak akan diselesaikan secara parsial. Lalu, bagaimana dengan calon pemimpin negara selanjutnya? Apa akan kembali meminggirkan catatan-catatan yang diasingkan itu?

Film Eksil tayang di jaringan bioskop Indonesia. Media Indonesia menonton di Festival Film Dokumenter dan di bioskop. Film Eksil tayang perdana di Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2022. (M-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat