visitaaponce.com

Seperti Apa Stereotip di Film Indonesia

Seperti Apa Stereotip di Film Indonesia?
Medcom.id(Ist)

KURATOR Festival Film Indonesia (FFI) 2020, Prima Rusdi, mengaku selama dua tahun belakangan ini pihaknya bekerja keras untuk mempertahankan integritas FFI supaya mendapatkan film yang terbaik untuk bisa masuk dalam seleksi awal. 

Pihaknya menyayangkan masih banyak film yang dibuat tanpa riset yang mendalam sehingga justru yang tampil adalah sebuah asumsi yang tidak kuat dengan fakta di lapangan.

"Tidak hanya bicara asumsi tapi yang standar saja, seperti kredit title masih banyak yang kacau banget. Tahun lalu yang lolos ada 30-an. Tahun ini ada 12 plus rekomendasi ada 10," ujarnya dalam program Nunggu Sunset bertajuk Film yang Inklusif dan Berperspektif Gender yang tayang pada Jumat (13/11).

Menurut dia, berbahaya apabila sesuatu dikerjakan hanya berbasis asumsi tanpa melibatkan dirinya langsung kepada apa yang mau dibuat. "Itulah perlunya riset dan observasi," sambungnya

Menurut Prima, cara-cara dalam membongkar stereotip adalah dengan melakukan pengamatan atau observasi dan melakukan riset. Ia bahkan berujar, sesederhana membuka ruang diskusi antar teman saja juga merupakan suatu upaya untuk memperkaya wawasan agar membuat film tidak berlandaskan asumsi semata. Sebab, film merupakan sebuah karya multidisipliner yang membutuhkan perspektif tidak hanya dari seni juga mencakup sosial budaya bahkan politik.

"Apalagi kita sudah di tahap kelebihan informasi, jadi bukan susah cari informasi. Ini pentingnya diskusi antar kawan. Berkawan itu belajar juga. Kita buka wawasan untuk saling jaga bahwa konteksnya ini masuk ke sesuatu yang mau kita buat. Jadi tidak dari asumsi," terangnya.

Dampaknya, kata Prima, film yang dibuat menjadi kurang beragam ceritanya dengan menampilkan formulasi-formulasi aman yang selalu diasumsikan laku di pasaran. Padahal menurut Prima, wajar jika sebuah karya film membutuhkan waktu yang cenderung tidak singkat.

"Kalau pun ditunda dulu 1 tahun kan tidak apa-apa, kan karyanya akan ada terus selamanya. Jangan kayak mau ngawinin orang udah dapet tanggal baru berpikir bikin acara apa. Aku tidak mau menyalahkan atau menggurui ya, itu pilihan. Tapi tidak ada salahnya untuk berpikir mana tahu ada cara yang lebih baik," terangnya.

Senada dengan Prima, Kurator FFI 2020, Hera Diani juga mengatakan pentingnya pembuat film untuk selalu menambah wawasan dan haus ilmu karena asumsi justru menimbulkan stereotip dan bias konten.

"Selama ini banyak formula yang diasumsikan laku di pasaran selalu diulang-ulang. Tapi penonton tuh cukup pintar sehingga pada mati suri seperti film horor yang menampilkan seksual akhirnya toh ditinggalkan. Formula yang diasumsikan laku, tidak laku juga," paparnya.

Kalau ini dibiarkan terus menerus, menurut Hera, dampak buruknya bisa berbalik menimpa industri perfilman.

"Tapi yang bikin saya prihatin justru malah meremehkan profesi industri film itu sendiri," pungkasnya. (OL-6)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Astri Novaria

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat