visitaaponce.com

Musyawarah Film Nasional Diusulkan Menjadi Solusi Mengatasi Pengelolaan Perfilman Indonesia

Musyawarah Film Nasional Diusulkan Menjadi Solusi Mengatasi  Pengelolaan Perfilman Indonesia
Kiri ke kanan : Benny Benke, Lola Amaria, Nurman Hakim, dan Akhlis Suryapati.(Ist)

Quo vadis adalah kalimat bahasa latin yang terjemahannya secara harfiah berarti "Ke Mana Engkau Pergi?" Dalam konteks masa bakti Ketua Komite FFI Reza Rahadian yang telah purna tahun 2023 ini, siapa penggantinya ke depan? Quo vadis Komite FFI? Setelah Lukman Sardi, dan Reza Rahadian siapa lagi yang akan duduk sebagai ketua Komite FFI yang dalam penyelenggaraan pesta film tahunan itu? Ada kabar sebuah nama telah disiapkan dan disorongkan oleh Badan Perfilman Indonesia (BPI).

Di mata Akhlis Suryapati selaku Ketua Sinematek Indonesia, BPI sudah mati, karena salah mengartikan semangat awal pembentukannya. Bahkan sejak tahun 2014 saat BPI melakukan interpretasi pada dirinya sendiri yang keliru, dengan membuat aturan-aturan baru, marwah penyelenggaraan FFI menjadi imbasnya. Dan tidak sesuai lagi dengan marwah FFI yang pertama kali diprakarsai oleh Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik pada penyelenggaraan pertama FFI tahun 1955.

Seperti ada klausul di BPI yang mengatakan Komite FFI yang baru harus tunduk dengan komite yang lama. "Kekacauan ini terus dipelihara sampai kini. Hasilnya, apakah penyelenggaraan FFI menjadi lebih baik? Tidak, karena kawan-kawan wartawan diberi "permen" bernama FFWI, sehingga tidak mempunyai daya kritis lagi dengan FFI," katanya dalam dalam diskusi "Quo Vadis Komite FFI" yang dihelat oleh Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Seksi Film dan Musik di The Groove Suite, Kuningan Jakarta, Jum'at (22/12) petang.

Baca juga : Laura Basuki Jadi Duta Festival Film Indonesia 2023

Akhlis Suryapati menambahkan,  terlalu banyak persesengkongkolan dalam sistem perfilman Indonesia. Karenanya, dia meminta semua persengkongkolan dibatalkan, termasuk dalam pengajuan nama tertentu oleh BPI demi mendudukkan nama tersebut sebagai Ketua Komite FFI selanjutnya. "Caranya dengan membentuk komite baru. Karena BPI dari awal adalah sebuah badan yang keliru. Lihat itu AMPAS ( Academy of Motion Picture Arts and Sciences) yang menyelenggarakan piala Oscar adalah swasta murni yang sebenarnya," kata Akhlis Suryapati.

Hal senada diungkapkan Nurman Hakim. Selalu sutradara dan akademisi, Nurman berharap Musyawarah Film Nasional dapat menjadi ajang rembug nasional para stakeholder perfilman Tanah Air. Caranya menghadirkan semua pemangku kepentingan, hingga persona di luar asosiasi demi membuat forum besar. "Orang yang diundang bukan hanya dari BPI juga asosiasinya. Harus ada akademisi di sana, bahkan wartawan hingga budayawan harus dilibatkan, demi merumuskan formula yang paling mustahak," kata Nurman Hakim.

Nurman menjelaskan, banyak film maker yang tidak bergabung dalam sebuah asosiasi perfilman di Indonesia, karena berbagai alasan. "Makanya kawan kawan IKJ sering bercanda, yang menang FFI pasti kawan-kawan jurinya yang tergabung dalam asosiasi yang sama. Atau FFI adalah festival film untuk kawan sendiri," kata dia.

Baca juga : Kolaborasi jadi Kunci Pengembangan Industri Kreatif

Nurman menambahkan, BPI yang dikelola adalah asosiasi asosiasi yang hanya bekerja setahun sekali, saat FFI diselenggarakan. Tapi saat ada keluhan dari anggotanya, seperti para aktor yang mandeg pembayarannya, dan produser yang mumet menghadapi XXI, misalnya. Karena persoalan pembagian dan mendapatkan layar bioskop, BPI ke mana saja? "Harusnya asosiasi asosiasi itu, juga BPI mampu memberikan solusi dan menyelesaikan persoalan iti," kata Nurman.

Lola Amaria, selaku aktris, sutradara, dan produser film mengaku banyak mempunyai pengalaman tidak mengenakkan saat meminta layar ke XXI. Karena harus dan selalu berjuang sendirian, sementara BPI sebagai lembaga yang harusnya menjadi payung insan film tidak melakukan apa-apa.

Seperti saat ini, dia telah mengajukan mendapatkan layar bioskop ke pihak XXI sejak Mei tahun ini, bahkan sampai akhir Desember 2023 ini, permintaannya mendapatkan layar belum mendapatkan lampu hijau. "Kita mempunyai BPI yang katanya menangungi kita, tapi mana kiprahnya. Bagaimana kita mau mendapatkan keadilan layar, karena tidak ada sistem yang jelas. Katakan saya mau ngadu ke BPI, tapi BPI bisa apa (menghadapi XXI)", kata Lola Amaria yang film Exile-nya baru saja mendapatkan Piala Citra pada gelaran FFI 2023.

Baca juga : Reza Rahardian Akui Lakukan Banyak Penyesuaian untuk FFI 2021

"Lalu ada persoalan jam kerja dalam proses produksi, siapa yang mampu melindungi aktor, dan kru film, juga pelecehan seksual selama proses produksi. Untuk apa ada BPI kalau tidak mampu berbuat apa-apa," katanya lagi.

Hal ini ini terjadi karena menurut Lola, posisi BPI dalam perfilman Indonesia tidak jelas. "Apa manfatnya bagi orang film. Mungkin tidak ada. Ada atau tidak ada BPI semu berjalan secara auto pilot," kata Lola masygul. Makanya Lola mengusulkan harus ada optimalisasi BPI, agar manfaat keberadaannya dirasakan pekerja film  Indonesia. Lola mengatakan, BPI juga FFI baik bagi yang punya kepentingan di sana.

Lola Amaria menambahkan, soal pajak film. Menurut dia, pajak film Indonesia sangat besar, tapi pajaknya di ke manakan yang 20 persen itu untuk wilayah Jakarta. padahal tahun ini, sepengamatanya, film Indonesia dapat dikatakan sangat merajai layar film nasional, "Jadi XXI tidak boleh sombong dengan film Indonesia lagi," katanya.

Fitriawan Ginting, wartawan senior film dan pengurus PWI Pusat Sie Musik dan Film mengusulkan, demi mengurai benang kusut persoalan perfilman di Indonesia, perlu dibentuk Satgas Perfilman. (B-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Retno Hemawati

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat