visitaaponce.com

Stigma dan Diskriminasi pada Pasien Hambat Indonesia Bebas TB 2030

Stigma dan Diskriminasi pada Pasien Hambat Indonesia Bebas TB 2030
Sejumlah pasien penderita Tuberkulosis (TB) antre saat akan menjalani pemeriksaan rutin di Puskesmas Tebet, Jakarta Selatan.(FOTO ANTARA/Dhoni Setiawan)

STIGMA dan diskriminasi terhadap pasien tubercolosis (TB) dalam komunitas dan tempat kerja dapat menghambat tujuan Indonesia bebas TB 2030.
  
Direktur P2PML Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr. Siti Nadia Tarmizi, M. Epid mengatakan bahwa pemerintah memiliki enam strategi pembangunan kesehatan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 sebagai upaya mengeliminasi TB pada 2030.
  
Enam strategi tersebut adalah penguatan komitmen dan kepemimpinan baik pada pemerintah pusat dan daerah, peningkatan akses layanan TB yang bermutu dan berpihak pada pasien, optimalisasi promosi dan pencegahan, memanfaatkan hasil teknologi, peningkatan peran komunitas, mitra dan multisektor serta peningkatan tata kelola program dalam kaitannya peningkatan sistem kesehatan.
  
Akan tetapi, adanya stigma negatif dan diskriminasi dalam masyarakat, membuat strategi keenam strategi tersebut mendapat halangan dan tantangan. Hal ini tentunya harus segera diatasi untuk mencapai eliminasi TB 2030.
  
"Pelanggaran HAM, stigma dan diskriminasi masih juga menghampiri berbagai intervensi dalam upaya kita meningkatkan derajat kesehatan," ujar Nadia dalam seminar virtual 'Stigma TBC dan
Hambatan Lainnya' pada Senin (14/6).

"Stigma dan diskrimtinasi ini tentunya akasen menghambat hak pasien dan parapenyintas TB terutama untuk mengakses layanan dan menerima manfaat dilayani dengan baik," jelas Nadia
  
Nadia mengatakan stigma dan diskriminasi ini, sayangnya justru terjadi di lingkungan terdekat pasien, seperti keluarga, tetangga dan rekan kerja.

Stigma tersebut juga semakin memperburuk kondisi pasien TB sehingga tidak ingin melakukan pemeriksaan dan pengobatan.

"Stigma ini akan semakin memperburuk kondisi pasien sehingga pasien engga melakukan pemeriksaan TB akibat daripada stigma tersebut ataupun kemudian stigma tersebut akan mendorong secara psikologis penderita TB dalam perjuangannya dalam mengobati dirinya," kata Nadia.
  
Di lingkungan kerja, pasien TB cenderung mendapat perlakuan yang negatif,bahkan ada yang sampai diberhentikan karena ketakutan akan menularkan penyakit tersebut pada orang lain. 

Padahal, menurut Nadia, penyakit TB bisa sembuh jika melakukan terapi intensif.
  
"Sering kali yang kita hadapi adalah penderita TB justru dilakukan PHK karena ketakutan terjadinya penularan pada karyawan lain," ujar Nadia.
  
"Seharusnya tempat kerja dapat memberikan izin cuti untuk menyelesaikan intensif pengobatan TB. Karena setelah melakukan pengobatanintensif seorang pasien TB dipastikan tidak akan membawa penularan pada orang lain," imbuhnya.
  
Nadia mengatakan sangat penting untuk memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran serta mendukung upaya pengendalian dan pencegahan TB.
  
Menurut Nadia, masalah ini tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah saja, namun harus ada kolaborasi dari berbagai pihak termasuk masyarakat.

"Kita harapkan selama setidaknya masa fase intensif, penderita TB dapat diberikan cuti khusus untuk menyelesaikan pengobatannya," kata Nadia.(Ant/OL-09)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat