visitaaponce.com

Bahayakan Kesehatan, Dibutuhkan Regulasi Bisphenol A yang Inklusif

Bahayakan Kesehatan, Dibutuhkan Regulasi Bisphenol A yang Inklusif
Ketua Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), Nia Umar.(FOTO/Dok,Pri/Twitter)

PLASTIK kemasan pangan yang mengandung Bisphenol A (BPA) disinyalir berbahaya bagi usia rentan yaitu, bayi, balita dan janin pada ibu hamil. Edukasi masyarakat secara massif mengenai bahaya BPA terus menerus disosialisasikan.

Selain itu, dukungan terhadap pemerintah dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk membuat regulasi mendesak dilakukan. 

Pandangan itu mengemuka dalam dialog publik daring bertajuk 'Mendesain Regulasi Bisphenol A (BPA) yang Tepat' yang digelar oleh Centre for Public Policy Studies (CPPS), Rabu (12/10).

Ketua Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), Nia Umar, berpendapat isu mengenai resiko BPA sudah lama dibahas di beberapa negara Eropa. Namun, di Indonesia gaungnya belum terlalu luas. 

“Dengan dialog ini kita berharap bisa mengangkat kesadaran masyarakat bahaya BPA bagi kesehatan, serta mengajak pemerintah mengatur regulasi ini,” kata Nia Umar pada keterangan pers, Kamis (14/10).

Nia Umar menambahkan, banyak merek botol susu bayi mengandung BPA, seperti halnya gelas plastik, peralatan makan, dan lapisan sebagian besar kaleng dan kaleng makanan dan minuman.

Menurut Nia Umar, pemanasan berulang dari plastik polikarbonat dapat menyebabkan ‘larutnya’ BPA ke dalam pangan. Bagi bayi yang diberi makan secara artifisial dapat menelan BPA dosis ganda, mulai botol susu dan dari lapisan timah kaleng susu ke dalam susu bubuk yang dikonsumsi anak.

“BPA berbahaya ketika ada pemanasan berulang dari plastik. Jadi, memang BPA ini problematis karena ada dimana-mana. Di Eropa, barang mengandung BPA sudah jelas tidak boleh sama sekali. Tidak hanya di botol dot bayi, tetapi juga di wadah makanan,” katanya.

Nia Umar mengingatkan bahwa BPA bisa menunjukkan sifat seperti hormon, dan bisa hadir dimana-mana pada lingkungan kita karena penggunaannya yang leluasa, seperti penggunaan kemasan air galon.

“Bayangkan, air galon ini melalui rantai pengiriman yang panjang, dan jika di jalan cuaca panas, maka kandungan BPA bisa larut dalam air yang kita konsumsi,” imbuhnya.

Bagaimana peran kita sebagai individu, masyarakat? Apa yang seharusnya kita lakukan mengingat BPA adalah polusi yang tidak terlihat. Nia Umar memberikan tiga tips bagi masyarakat. Pertama, kita berupaya menghindari BPA. Kedua, tidak mengkonsumsi makanan kalengan. Ketiga, tidak memanaskan plastik kemasan.

Nia berharap Pemerintah bisa tegas dalam mengatur kemasan yang mengandung BPA. 

“Harus ada aturan yang tegas dan kampanye resmi yang ditayangkan di semua media yang berisi edukasi tentang BPA, dan BPOM perlu mengkaji ulang regulasinya,” tutup Nia. 

Dokter spesialis anak, sekaligus anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Irfan Dzakir Nugroho mengatakan, saatnya Indonesia memiliki regulasi terkait BPA. Pasalnya, di Eropa beberapa negara sudah menerapkan regulasi BPA. Diantaranya, Uni Eropa dan Kanada melarang BPA dalam produk bayi, di Perancis melarang penggunaan BPA secara total, demikian pula European Food Safety Authority (EFSA). 

Menurut dr. Irfan Dzakir, bahwa toksisitas BPA telah menjadi perhatian, terutama di negara-negara Eropa dan Amerika. Toksisitas BPA menimbulkan berbagai penyakit.

“Efeknya sangat luas di berbagai kelompok. Sudah banyak studi yang membuktikan hal tersebut, dan untuk mencegahnya dibutuhkan regulasi preventif yang menjauhkan masyarakat dari bahaya BPA,” tambahnya.

Sementara, Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, berpendapat dampak kesehatan BPA harus diinformasikan kepada masyarakat, khususnya dampak bagi anak.

Hal itu selaras dengan Konvensi PBB dan UU No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan anak, mengenai hak anak untuk sehat dan hak anak untuk hidup.

“Hak itu adalah hak yang sangat fundamental yang dimiliki anak. Apalagi tadi disebutkan hampir 50% anak-anak di Indonesia belum menikmati air susu ibu (ASI),” katanya.

Bagaimana memformulasi regulasi yang selaras dengan hak anak atas kesehatan dan hak anak untuk hidup yang harus dilakukan oleh regulator. 

“BPOM sebagai wakil Pemerintah memilki kewenangan untuk melindungi masyarakat. Kalau kita ingin mendesain regulasi BPA yang tepat, maka kita harus kembalikan ke pemerintah,” tegasnya.

Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas, Pungkas Bahjuri Ali berpandangan keberadaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tentang kesehatan ibu dan anak menjadi prioritas pemerintah meski secara spesifik Bappenas tidak menangani BPA. 

“Adanya kandungan yang berbahaya berupa BPA harus kita antisipasi. Regulasi detail seperti kandungan/komposisi itu ada di masing-masing Kementerian/Lembaga yang terkait,” katanya.

Karena itu, menurut ia, ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, edukasi berupa promotif preventif. Edukasi bisa dilakukan oleh siapa saja. 

“Di RPJMN, untuk pengendalian penyakit, kita punya prioritas, terutama melihat seberapa besar prevalensinya,” tambahnya.

Kedua, gerakan hidup sehat. Di dalamnya tidak hanya edukasi, namun misalnya perluasan pengenaan cukai bagi makanan yang beresiko tinggi bagi kesehatan karena produk pangan tersebut beresiko tinggi terhadap kesehatan.

Bahjuri mengatakan bahwa perlu membuat dan menerapkan regulasi yang memang bisa diterapkan di Indonesia. 

“Namun kita juga perlu mempertimbangkan pertanyaan lain, seperti apakah ada alternatif selain BPA, apakah bahannya mudah dan lain sebagainya. Ada banyak kandungan kimiawi yang harus diperhatikan,” tegasnya. (Nik/OL-09)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat